Buka Layar

Membaca Buku Queer etc

Mendobrak ketabuan, menjelajahi makna kebertubuhan

Tabumania, tak terasa trimester pertama telah kita lewati di tahun 2022 ini. Pada beberapa sektor, kehidupan terasa sudah kembali hampir ke titik semula seperti sebelum terjadinya pandemi. Pada sisi lainnya, tembok peraturan New Normal ditegakkan setinggi-tingginya dan memaksa kita untuk mengubah banyak hal dalam cara hidup manusia. 

Layaknya oase di antara hiruk-pikuk pandemi, pada 2021 lalu hadir sebuah buku berjudul Queer etc yang mewarnai kita dengan kisah-kisah yang berotasi pada identitas seksualitas queer. Buku ini berbentuk antologi atau kumpulan cerpen yang di dalamnya memuat beragam kisah, mulai dari perjalanan seseorang dalam pencarian identitas seksualnya, hingga bagaimana kelas sosial dan ekonomi berkelindan dengan identitas seksual dan agama, lalu berpengaruh besar dalam kisah kehidupan seseorang. 

Disajikan dengan hangat dan sangat terbuka, buku Queer etc menjadi salah satu rekomendasi untuk menemani aktivitas sehari-hari Tabumania.

“Pernahkah kamu lihat ilustrasi kepingan puzzle, dimana semua orang adalah potongan puzzle yang pas untuk membentuk sebuah gambar besar bernama masyarakat? Masing-masing potongan biasanya dapat mengisi kekosongan ruang dengan pas. Nah, ada satu kepingan puzzle yang tidak muat dimanapun. Dia pun memutilasi dirinya sendiri agar membentuk potongan puzzle yang sesuai dan klop dengan sekitarnya. Dia memutilasi diri demi diterima sekitarnya. “

Nukilan di atas merupakan paragraf dalam tulisan yang menjadi favorit saya yang berjudul Mutilasi Diri karya Ardhana Rishvara. Ardhan menceritakan pengalaman hidupnya yang menarik dan tidak dapat dipungkiri, membuat orang bingung dan bertanya-tanya. Hidup dibawah tekanan dan ekspektasi yang tinggi dari keluarga dan masyarakat sekitarnya membuat Ardhan berusaha menjadi diri lain yang bukan dirinya untuk dapat diterima masyarakat. 

Persis dengan kisah puzzle yang diutarakannya, Ardhan pun sempat menjalani pernikahan dengan seorang laki-laki dan mengalami kehamilan setelahnya. Sepanjang kehamilan, depresi menghantuinya dan membuat Ardhan merasa terpisah dengan tubuhnya. Ia mengalami disforia tubuh. Hingga pada suatu hari, sebuah video mengenai transisi seorang transgender Female to Male (FTM) ditemukannya pada dunia maya, yang lantas mengubah hidupnya. Apakah dengan melakukan transisi dan mengubah penampilannya sebagai seorang laki-laki lantas membuat seseorang harus berpasangan dengan seorang perempuan yang kini menjadi lawan jenisnya? Tidak. Dengan keterbukaan, Ardhan, yang setelah perceraiannya kembali menjalin relasi romantis dengan seorang laki-laki membuka mata kita bahwa sekali lagi, seksualitas sifatnya sangat cair dan tidak dapat dipenjara oleh dinding tebal norma sosial dan pelabelan itu sendiri. 

Esai ini secara menakjubkan telah “mengobrak abrik” status quo dan apa yang disebut dengan normal oleh masyarakat. Ia telah meretas batas kaku antar masing-masing label lesbian, biseksual, gay, transgender dan lainnya yang sebelumnya turut mengkotakkan pun membatasi kedinamisan kebertubuhan itu sendiri. 

Tidak hanya berputar pada arus gender dan seksualitas, beberapa tulisan pada buku Queer etc secara berani juga membahas wacana-wacana lain yang erat kaitannya dengan seksualitas, seperti kelas ekonomi, politik, hingga agama. 

Pada tulisan favorit saya lainnya yang berjudul Dad Bod, Hendri Yulius Wijaya dengan sangat apik menceritakan sejarah hidupnya yang dimulai dari seorang anak dari keluarga keturunan Tionghoa dengan konteks kehidupan yang tidak mudah pada masanya. Pada masa itu, konflik politik yang terjadi di negara ini menjadikan banyak warga keturunan Tionghoa bahkan harus menafikkan nama sebagai identitas dasar manusia, dan menggandakan jika tidak menggantinya dengan nama yang dirasa lebih “Indonesia”. Alhasil, ayahnya pun memiliki dua nama yakni Hendra dan Hauw, yang dikemudian hari menjadi pelik ketika berurusan dengan perihal administrasi negara. 

Masih pada tulisan yang sama, kisah lamunan singkatnya pada suatu siang sangat menggelitik pikiran saya. Saat itu, Hendri Yulius sedang menunggu pesanan makanannya diantarkan oleh ojek daring. Sang sopir datang terlambat, membuat Hendri hampir murka dan mengirimkan keluhan resmi kepada pihak kantor ojek tersebut. Namun saat akhirnya hadir di hadapan, sang bapak sopir rupanya tersesat ke gedung apartemen sebelah. Ia berjalan beriringan dengan menggandeng anak lelaki kecil yang mengenakan kaus lusuh dan sandal jepit. Sementara tanganku, tulisnya, beserta dengan ponsel pintar berlumur privilese dan kendali sebagai konsumen yang sanggup menghancurkan pekerjaan si Bapak dalam sekejap. Ia seorang gay, tetapi juga bisa menjelma menjadi penindas pada situasi tertentu. Hendri mewujud sebagai kelas atas dengan kuasa lebih, sementara identitas seksualitasnya bersembunyi di balik celana. 

Benar saja, bahwa identitas yang melekat pada tubuh tidak hanya satu. Ia bisa menjadi papan jungkat-jungkit: ada yang menempatkanmu di bawah, ada yang melemparmu ke atas. 

Dengan plot yang apik dan jenius Hendri Yulius telah melebarkan sayap wacana seksualitas dan menjembataninya dengan wacana relasi kuasa yang tentu memiliki kaitan erat satu sama lain. 

Adalah satu esai pada bagian akhir buku ini yang juga saya gemari berjudul “Pakaian, Iman, dan Identitas” yang ditulis oleh Kolektif As-Salam. Membaca nama penulisnya yang bernuansa Islami saja sudah menciptakan intrik di kepala saya. Apakah bisa, ketabuan seksualitas ini disilangkan dan didiskusikan secara damai dengan religiusitas? Jawabannya yang saya temukan pada tulisan ini adalah sangat bisa. Komunitas As-Salam dengan dengan perspektif agamanya membahas hal-hal yang lebih tabu lagi, seperti betulkan dalam Islam perempuan lebih rendah daripada laki-laki? Atau bisakah perempuan menyukai perempuan dan tetap menjadi muslim yang baik? Melalui tulisan ini, kita digiring untuk berpikiran kritis dan mempertanyakan kembali latar belakang historis, politik, dan budaya dalam pemunculan tafsir agama tertentu.  

Pada satu lagi esai favorit saya berjudul “Kafilah Menggonggong, Anjing Berlalu” karya Rizal Iwan, kita diajak untuk melihat kehidupan sepasang laki-laki yang dipanggil Papa dan Daddy dari perspektif anjing peliharaannya. Sembari menceritakan kehidupan sehari-harinya sebagai seekor anjing yang berkutat pada makan, tidur dan bermain, secara paralel jalan cerita juga mengisahkan tentang bagaimana masyarakat merasa resah dan keberatan dengan adanya dua orang laki-laki yang tinggal serumah. Rizal Iwan menceritakan kepada kita konflik sosial yang masih kerap terjadi akibat intoleransi terhadap identitas yang berbeda dengan gaya penulisan yang segar dan sama sekali berbeda. 

Kalau dipikir-pikir, banyak juga ya, tulisan favorit saya. Sebab pada buku ini, semua tulisan rasanya sangat menarik dan menjungkirbalikkan pikiran juga perasaan. Membaca buku Queer etc membuat saya merasa seperti sedang menyelami dunia baru di bawah laut dengan keberagaman kisah hidup individu-individu yang sangat indah dan unik, namun tak jarang berkarang tajam dan berbahaya. Sesekali, saya diajak menyelam lebih dalam dan melihat lebih dekat konteks sosial ekonomi yang melingkupinya. Namun tak jarang, saya tergoda dan terjebak pada palung-palung rahasia kisah hidup para penulis yang berliku dan dingin, yang membuat hati saya merinding tentang bagaimana beridentitas queer dapat menciptakan situasi yang sangat sulit pada konteks tertentu. 

Akhirnya, mengutip epilog dari Hendri Yulius Wijaya yang lagi-lagi menjadi favorit saya pada antologi ini, bahwa label seharusnya bukan diberlakukan sebagai penjara, melainkan justru titik tolak untuk berangkat dan menjelajahi kemungkinan lain, apalagi ketika bahasa selalu terbuka untuk dikomunikasikan guna menciptakan makna baru. 

0 comments on “Membaca Buku Queer etc

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: