Tabumania, saat ini semua komponen masyarakat diharapkan mendukung, memantau, dan mengawal pembahasan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) sehingga bisa segera disahkan menjadi Undang Undang. Koordinator Advokasi Nasional LBH APIK Indonesia Ratna Batara Munti menyampaikannya ketika menjelaskan hal-hal yang perlu dilakukan setelah disahkannya RUU TPKS menjadi RUU inisiatif DPR pada 18 Januari lalu. Ratna sangat mengapresiasi dan menunggu untuk segera disahkan RUU TPKS tersebut karena memang selama ini di lapangan banyak sekali hambatannya. “Mulai dari perlindungannya, lalu proses hukumnya, pemulihannya, dan juga pencegahannya itu kan masih belum diatur secara komprehensif sehingga tentunya RUU TPKS sangat dinantikan dan memang tidak ada alasan untuk menunda.” tegasnya.
Masyarakat dapat mendukung, memantau dan mengawal pembahasan dengan memberikan masukan-masukan terkait RUU TPKS, terlebih surat perintah presiden (suppres) RUU TPKS ini belum turun. Suppres ini nantinya akan menunjuk kementerian yang akan memimpin pembahasan bersama DPR, setelah keduanya sepakat atau menyetujui maka Undang-Undang akan disahkan. “Kita berharap semoga (suppres) cepat turun sehingga nantinya kelihatan siapa kementerian yang ditunjuk. Lalu ada anggota-anggota kementerian dan lembaga yang membahas dengan DPR. Nah, sebelum disusun masukan-masukan, dari kelompok sipil perlu didengarkan sehingga nantinya Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang dibawa ke DPR sudah memuat masukan-masukan dari kelompok masyarakat sipil. Seperti yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan beberapa waktu lalu yang menampung masukan dan aspirasi dari kelompok masyarakat sipil yang mengawal advokasi.” jelasnya.
Setelah menyusun DIM, pemerintah akan membahas DIM tersebut di DPR. Di tahap ini, menurut Ratna, publik harus benar-benar memantau apalagi tidak semua fraksi di DPR mendukung RUU TPKS. “Perlu kita kawal, kita pantau dan kalau ada kampanye negatif ya kita counter (lawan). Kampanye lewat medsos, komik, video tetap harus dilakukan sepanjang pembahasan di DPR supaya semakin melibatkan dukungan masyarakat lebih luas dan melalui kampanye di media kita bisa menekankan apa yang harus diperkuat dari RUU tersebut.”urainya.
Dalam kesempatan yang sama Ratna juga menyinggung dikeluarkannya 5 bentuk Kekerasan Seksual (KS) dari RUU TPKS. Lima bentuk KS tersebut adalah perkosaan/pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan aborsi, pemaksaan pelacuran, pemaksaan perkawinan, dan perbudakan seksual. Menurutnya lima bentuk KS itu perlu dipertimbangkan masuk kembali dalam RUU TPKS saat ini karena akan memberikan dampak bagi korban ketika lima bentuk KS itu tidak dimasukkan ke dalam RUU TPKS. Misalnya dalam kasus pelacuran dan perbudakan seksual. Kasus ini memang telah diatur dalam RKUHP Pasal 599 huruf d. Namun, pasal ini lebih mengatur kekerasan seksual tersebut sebagai perbuatan yang merupakan bagian dari serangan yang meluas, sistematis (terencana dan terorganisir) yang ditujukan pada penduduk sipil (misalnya saat terjadi konflik bersenjata atau perang). Dengan kata lain pasal ini tidak mengatur bentuk kekerasan seksual yang terjadi di saat tidak perang. Masyarakat sipil bisa mengumpulkan data-data yang menguatkan bahwa bentuk-bentuk kasus lima jenis KS itu harus dijangkau oleh RUU TPKS. “Kita harus mengumpulkan dokumen-dokumen yang menunjukkan bahwa aturan perundang-undangan yang ada gak bisa menjangkau semua. Misalnya aborsi yang dianggap sudah ada di RKUHP.” tegasnya.
Sementara itu terkait dengan pemulihan bagi korban kekerasan seksual dalam RUU TPKS menurut Ratna masih ada yang perlu penegasan lagi. Misalnya dalam bab tentang pemulihan di RUU TPKS, terdapat penjelasan tentang layanan Unit Penanganan Terpadu (UPT) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) yang juga menjangkau disabilitas. “Di dalam UPT PPA dijelaskan bahwa layanan ini termasuk layanan pemulihan dan penanganan terpadu, tetapi tidak terlalu kelihatan terpadunya seperti apa. Ini yang harus diperkuat.” jelasnya.
Selain itu menurut Ratna, layanan terpadu dan terintegrasi tersebut membutuhkan sistem satu pintu seperti yang ia lihat saat memperoleh kesempatan studi banding ke Minnesota, Amerika Serikat. Disana sistem layanan Women Rape Crisis Center adalah satu atap atau satu pintu. Ia melihat tiga kamar untuk penegak hukum, ada CCTV lalu di bagian tengah ada kamar untuk konseling dengan psikolog yang berjaga. Lalu ada kamar medis untuk pemeriksaan dan penanganan kesehatan dengan cepat. Penegak hukum tidak perlu lagi bertanya kepada korban, tetapi mendapatkan keterangan dari psikolog dan dokter yang memeriksa serta juga bisa melihat secara langsung melalui CCTV. Selain itu ada kamar khusus untuk anak- anak dan kawan-kawan LGBT yang jadi korban. “Dan (semua layanan) itu di satu bangunan sehingga korban gak perlu kemana-mana. Yang paling penting dari tiga kelompok (kamar) ini; ada penegak hukum agar segera bisa menangkap pelakunya dan mengamankan barang bukti atau alat-alat buktinya. Kemudian peran dari psikolog harusnya bisa cepat (ditangani) untuk pemulihan psikis korban yang traumatis dan satu lagi pihak medis atau dokter yang langsung bisa memulihkan kalau ada luka-luka karena pemerkosaan atau luka-luka lainnya. Hal ini (pemeriksaan medis) terkait visum et repertum, ketika polisi bisa langsung terlibat sejak awal dan akhirnya apa yang dilakukan oleh dokter itu sudah menjadi proses hukum.” jelasnya.
Sementara yang terjadi di Indonesia, ketika korban melaporkan kasusnya belum tentu diterima. Kalau pun polisi sudah mendapat laporan, korban masih memerlukan pengantar dari polisi baru bisa memperoleh visum et repertum. “Bagaimana dengan korban yang sudah mengalami luka-luka secara fisik? Belum sempat lapor polisi tapi luka-lukanya sudah diobati oleh dokter. Kalau dokternya gak paham, dia tidak membuat rekam medis. Nah, yang tadi dilakukan dokter itu belum (disebut) sebagai proses hukum. Ketika sudah ada surat pengantar untuk pembuatan visum maka proses yang dilakukan dokter baru disebut sebagai proses hukum dan hasil pemeriksaan dokter itu menjadi visum et repertum. Kalau korban trauma berarti dia harus ke psikolog dulu, karena dia gak bisa tuh melakukan pemeriksaan di polisi karena trauma berat. Nah, hal inilah yang bisa membuat korban tidak mau meneruskan laporan. Makanya seringkali pendamping korban itu menyiapkan kronologis laporan ke dalam satu file lalu diberikan kepada polisi agar tidak mengulang-ulang. Proses tersebut bisa membuat trauma. Makanya itu butuh layanan satu atap, yang mana proses tidak perlu berulang dan langsung karena polisi terlibat langsung sejak awal.” tegasnya.
Substansi lain yang perlu dicermati adalah soal restitusi. Di dalam RUU TPKS, jika pelaku tidak mampu membayar restitusi untuk korban maka hukumannya dikurung. Ratna menyatakan ketidaksetujuannya karena restitusi merupakan tanggung jawab pelaku sehingga perlu diupayakan. “Restitusi beda dengan denda. Restitusi merupakan hak bagi korban, apa yang sudah diderita korban baik materiil maupun imaterial harus diganti oleh pelaku.” katanya. Selain itu substansi lain yang perlu dicermati adalah peranan dari keluarga dan masyarakat. Tidak hanya untuk pencegahan tetapi juga dalam mendukung penanganan maupun pemulihan korban. Masyarakat dan keluarga harus menjadi garda terdepan untuk membantu korban mendapatkan hak-haknya, jangan hanya dibatasi pada peran pencegahan. “Jadi tiga aspek, yaitu pencegahan, penanganan dan pemulihan. Mereka harus terlibat memberikan bantuan dan dukungan.” katanya.
“Hukum acara juga masih ada persoalan. Hukum acara masih membebankan kepada korban yang harus bersaksi seolah-seolah kalau korban gak bersaksi, maka gak akan diproses. Bobotnya itu terlalu dibebankan kepada korban. Harusnya (hukum acara) memungkinkan korban tidak bersaksi dan (penegak hukum) bisa memaksimalkan alat-alat bukti lain. Scientific based evidence artinya pembuktian yang harus memanfaatkan perkembangan teknologi harus diakomodir. Misalnya korban sudah meninggal tetap bisa dicari, dimungkinkan dengan ilmu forensik, bahkan kasus-kasus lama bisa diungkap. Jadi, scientific based evidence ini diharapkan bisa muncul di RUU TPKS ini.” tegasnya.
Ratna berharap proses pembahasan RUU TPKS baik di pemerintah maupun saat dibahas bersama DPR harus transparan. Pembahasan ini juga penting mengakomodir berbagai masukan dan membuka ruang bagi kelompok masyarakat, terutama dari pengada-pengada layanan, psikolog, dokter, forensik, kriminolog, pendamping, konselor, aktivis bantuan hukum, advokat, dan paralegal. “Mereka yang selama ini bekerja bersama korban, harapannya bisa didengarkan suaranya, masukannya nanti bisa dihadirkan sepanjang proses pembahasan. Nah, itu harapan dari segi proses supaya transparan, partisipatif dan mengakomodir masukan-masukan dari mereka yang memang bekerja untuk korban. Terus juga kita berharap tidak ada upaya-upaya intervensi yang memasukkan ketentuan-ketentuan atau rumusan-rumusan yang tidak relevan dengan tujuan RUU TPKS ini. ”katanya.
Ratna juga berharap agar teman-teman LGBT juga bersuara. “Menurut saya ya sudah saatnya kita bagian dari warga Indonesia (juga) bagian dari yang dilindungi RUU TPKS ini, bukan malah dikriminalkan. Jangan sampai ketika menjadi korban kekerasan seksual mereka tidak mendapatkan pelayanan, hanya karena mereka dianggap berbeda. Sehingga (yang terjadi) mereka menjadi korban stigma bukan (diberikan) layanan. Kita berharap tujuan RUU TPKS ini melindungi semua warga. Tidak boleh ada yang didiskriminasi sehingga tidak bisa mendapatkan layanan yang komprehensif dari RUU ini ya.” tutupnya.
0 comments on “Dukung dan Kawal Pembahasan RUU TPKS”