Konferensi iklim global yang tahun ini bertempat di Glasgow, dikenal dengan COP26 (Conference of the Parties 26), menghasilkan kesepakatan iklim pertama dengan pengurangan batu bara dinyatakan secara eksplisit. Aktivis lingkungan Greta Thunberg menyatakan bahwa konferensi ini sekedar bussiness as usual dan tak lain merupakan konferensi bla-bla-bla. Bayangkan saja, draf kesepakatan yang awalnya mengajak negara-negara untuk mempercepat menghapuskan batubara, diganti menjadi ‘mengurangi batu bara secara bertahap’. Hal ini dinyatakan oleh China dan India, dua dari empat negara pengguna batu bara tertinggi di dunia selain Jepang dan Amerika Serikat. Negara-negara pun menyatakan rencana penutupan operasi PLTU batu bara sebelum 2040, namun tidak ada target spesifik dan terukur. Indonesia menjadi salah satu dari 23 negara yang menandatangani Global Coal to Clean Power Transition atau transisi batubara global menuju energi bersih dengan adanya dukungan pendanaan dari internasional.
Catatan-catatan apa saja yang harus jadi perhatian bagi masyarakat luas dari paska COP 26 di tengah krisis iklim yang dampaknya sudah dirasakan kita?
Saya mewawancarai Melissa Kowara, steering committee dari Jeda Iklim dan Presidium DKI Jakarta Partai Hijau Indonesia. Berikut kutipan wawancara tersebut.
Bagaimana kamu memandang hasil dari COP 26? Apakah konferensi ini sebuah kegagalan atau harapan?
Kegagalan dan harapan itu tergantung ekspektasi. Sedari awal aku nggak punya ekspektasi tinggi terhadap COP karena yang pergi adalah orang-orang yang merepresentasikan industri fossil fuel, sponsor dari fossil fuel, industri ekstraktif dan pertambangan. Sejak awal aku tidak menganggap konferensi ini dapat memberikan jawaban terhadap apa yang kita butuhkan untuk krisis iklim.
Apakah pemerintah gagal atau berhasil untuk menyelamatkan manusia? Ya jelas gagal. Karena sudah dikaji oleh Climate Action Tracker bahwa semua negara akan membawa kita pada pemanasan global 2,4 derajat Celsius suhu rata-rata pra industri. Dan ini malapetaka ya karena batas ambang aman dunia adalah 1.5 derajat.
Disisi lain (COP26) juga membawa harapan karena menjadi momentum warga dunia dan masyarakat sipil berdiri bersama, menggabungkan suara, merumuskan apa yang kita butuhkan. Masyarakat diberikan platform, kejahatan terhadap masyarakat adat di-highlight. Salah satu kemenangan juga Menteri Lingkungan hidup bisa memberi tweet seperti itu, yang bisa dibilang membuka aib: menjabarkan kepada masyarakat Indonesia bahwa prioritas Indonesia bukan keselamatan rakyat. Jadi COP 26 ini pemicu yang bagus untuk semua orang (agar) bisa lebih menyuarakan dan berteriak terhadap keselamatan dan nyawa masing-masing.
Dalam COP 26, Jokowi menyampaikan tentang laju deforestasi yang turun signifikan, terendah dalam 20 tahun. Selain itu, Jokowi menyebutkan bahwa Indonesia dapat mencapai carbon net sink pada 2030. Bagaimana kamu menilainya?
Ini agak lucu. Yang dikatakan deforestasi terendah dalam duapuluh tahun itu, di tahun 2020 dan jumlahnya 115.000 ha per tahun. Indonesia punya nationally determined contribution (NDC) yaitu dokumen komitmen yang diserahkan ke PBB sebagai bagian dari Paris Climate Agreement. Indonesia juga menyerahkan Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience 2050. Di kedua dokumen ini tertulis deforestasi kita yang direncanakan atau jatah deforestasi itu berapa. Di jatah deforestasi ini saja kita naik lagi. Kita masih menjatahkan 6,8juta ha sampai 2050. Kalau dibagi dalam satu tahun, maka jatahnya 200.000 ha per tahun. Jadi yang kemarin terendah itu hanya kebetulan karena kita akan tetap naik. Secara komitmen, Indonesia tidak ada komitmen untuk menghilangkan deforestasi.
Dan carbon net sink adalah titik dimana hutan itu menyerap emisi lebih banyak dibandingkan mengeluarkan emisi. Hutan memang tugasnya menyerap emisi dan mengeluarkan oksigen makanya disebut paru-paru dunia. Tapi kenyataannya hutan Indonesia sudah lama menjadi cerobong asap dunia. Jadi kalau Indonesia mengatakan akan menjadi carbon net sink tahun 2030, itu seperti bilang begini: Oke, hutan kita akan berfungsi sebagai hutan baru di tahun 2030, tapi (hutan) tetap akan dibabat dan pembabatannya masih bisa mengimbangi fungsi hutan yang sebelumnya. Target tersebut miris sekali. Harusnya yang kita bicarakan bukan lagi deforestasi tapi tentang net reboisasi, bahwa kita perlu lebih banyak hutan. Kalau kita masih menjatahkan deforestasi, ya kita masih membabat hutan intinya.
Diluar komitmen itu sendiri, kita bisa lihat bukti nyatanya lewat kebijakan. Kebijakan yang dikeluarkan sekarang mendukung percepatan banyaknya deforestasi, mulai dari food estate yang diperbolehkan untuk membabat hutan lindung agar ditanami singkong, sampai proyek strategis nasional yang mayoritas sifatnya ekstraktif dan akan membabat hutan. Belum lagi tidak ada pengesahan Undang-Undang Masyarakat Adat yang melindungi hutan itu sendiri, moratorium kelapa sawit yang dibiarkan kadaluwarsa begitu saja tanpa perpanjangan, adanya UU Omnibus yang menghilangkan keperluan 30% dari pulau untuk konservasi hutan.
Langkah-langkah apa yang harus segera dilakukan komunitas dan masyarakat untuk menyikapi energi kotor yang makin membahayakan kehidupan?
Energi kotor jadi masalah terbesar dari segi kontribusi terhadap emisi gas rumah kaca. Indonesia sudah kelebihan pasokan listrik 40-60%. Udah tahu kelebihan listrik, kenapa harus bangun PLTU batu bara baru. Masyarakat nggak bisa diam aja karena pembangunan PLTU batu bara baru merugikan negara karena PLN punya perjanjian kerjasama dengan pembangkit PLTU ini. Berapapun listrik yang dibangkitkan, harus dibayarkan secara full ( skema take or pay). Kalau kita hemat listrik, tagihan kita berkurang tapi kerugian PLN bertambah. Jadi dengan pembangunan PLTU batu bara baru dan take or pay ini malah memperburuk situasi.
Jangan gunakan masyarakat sebagai alasan bahwa masih banyak yang belum ada listrik murah. Listrik dari PLTU ini nggak murah lagi dibandingkan listrik dari panel surya. Teknologi sekarang sudah lebih maju dan listrik dari sumber-sumber energi bersih itu lebih murah. Lagi pula (sesuatu itu) murah karena tentunya berasal dari subsidi dengan sumber pajak dari rakyat. Jadi kita harus selalu menyuarakan hal ini, menuntut adanya transisi energi yang benar, yaitu dengan stop semua pembangunan baru dan mulai phase-out dari nol.
Selain bergabung dalam organisasi, bikin kajian dan karya seni untuk mengisi seluruh ruang kehidupan dengan semua informasi ini, masyarakat bisa melakukan disrupsi keseharian dengan turun ke jalan. Berdasarkan theory of change, hanya dibutuhkan 3,5% dari populasi setempat yang menyuarakan hal yang sama secara sistemis melalui aksi langsung tanpa kekerasan secara terus menerus untuk berhasil membawa perubahan yang besar bahkan menggulingkan kediktatoran yang brutal. Berarti 3.5% penduduk Indonesia ini adalah 9juta. Mungkin terdengar banyak, tapi mahasiswa saja sudah 7 juta. Jadi sangat mungkin. Kita sebagai masyarakat harus bisa bersolidaritas totalitas untuk menyuarakan hal yang sama, menuntut keadilan dan perubahan sistem yang sama.
Selain menyurakan terus menerus, masyarakat bisa membangun kedaulatan karena salah satu solusi dari krisis iklim ini adalah kedaulatan air, kedaulatan energi, kedaulatan pangan di level komunitas. Bayangkan kalau desa sudah punya listrik sendiri lewat mikro hidro atau panel surya yang terdesentralisasi, maka kita nggak butuh lagi PLTU batu bara. Dengan situasi krisis iklim yang makin parah, maka bencana akan makin sering. Dan kalau sudah ada bencana, maka listriknya akan putus karena listriknya tersentralisasi. Sebagai bentuk sebagai adaptasi dan mitigasi dari krisis iklim, kita juga butuh membangun kedaulatan. Sama halnya dengan kedaulatan pangan; kalau di perkotaan ada urban farming, community gardening, hidroponik maka kita tidak perlu lagi food estate.
Untuk segi kedaulatan, kita perlu bersolidaritas untuk membangun kedaulatan satu sama lain dan menuntut pendanaan dari pemerintah dimana dana dapat digunakan oleh ekonomi masyarakat secara langsung yang mendorong kedaulatannya, yakni ekonomi pemenuhan kebutuhan secara mandiri dan berkelanjutan.
Nah Tabumania, hasil COP26 jadi negosiasi politik para pemimpin global ditengah krisis iklim yang tidak bisa lagi dinegosiasi. Gimana dengan kamu? Apa sudah mulai bersolidaritas mengupayakan keadilan iklim?
0 comments on “Janji Deforestasi hingga Pengurangan Batubara? Masa Iya??”