“Kita hanya memiliki waktu 12 tahun untuk mencegah bencana global dari perubahan iklim” (IPCC, 2018)
Saya tersentak membaca pernyataan yang dikeluarkan oleh IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), sebuah lembaga di PBB terdiri dari berbagai ilmuwan yang melakukan pengkajian tentang perubahan iklim. Mereka menegaskan perubahan mendesak dilakukan sesegera mungkin agar risiko pemanasan ekstrim, kekeringan, banjir dan kemiskinan dapat diminimalisir. Kini waktu dihitung mundur. Tinggal sembilan tahun lagi. Bencana itu sudah terasa dekat. Ketika Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres membaca laporan terbaru IPCC di tahun ini, ia mengatakan laporan tersebut sebagai kode merah, seperti bunyi alarm tanda bahaya yang memekakkan telinga.
Pandemi datang dan menghantam keamanan negara, kehidupan masyarakat dan tatanan dunia. Segalanya berguncang, mulai dari krisis ekonomi dan pangan hingga hubungan personal dengan orang-orang tercinta ketika terpaksa mengisolasi diri saat positif terkena Covid-19. Ternyata, ada ancaman lebih parah lagi dibandingkan situasi pandemi. Emisi gas rumah kaca yang berasal dari batu bara, gas alam, minyak bumi serta deforestasi telah membuat bumi kita tercekik hampir kehabisan napas. Tragisnya, ancaman terhadap bumi dan miliaran manusia terjadi karena kesalahan manusia sendiri.
Mengulas tentang deforestasi, saya ingat sebuah momen. Tepat tanggal 7 Agustus lalu, Hari Hutan Indonesia (HHI) dirayakan. Tahun ini adalah perayaan tahun kedua. HHI merupakan gerakan masyarakat untuk memastikan kelestarian hutan.Terlebih hutan Indonesia merupakan hutan hujan tropis terluas ketiga di dunia. Tema tahun ini adalah “Kita Jaga Hutan, Hutan Jaga Kita.”
Bagaimana faktanya?
Di tanggal yang sama, Extinction Rebellion (XR) Indonesia, sebuah gerakan yang berfokus pada isu krisis iklim, dalam akun Instagram-nya “memberikan selamat” untuk Hari Hutan Indonesia. XR menyebut bahwa penghancuran hutan besar-besaran akan terus terjadi hingga 2030. Senada dengan XR, Forest Watch Indonesia (FWI) di tahun 2019 menginformasikan selama periode 2013-2017, hutan alam Indonesia telah berkurang seluas 5,7 juta hektar. Artinya setiap menit, hutan alam dengan luas lebih dari 4 kali luas lapangan sepak bola hilang!
Indonesia termasuk negara keempat yang kehilangan hutan tropis terbanyak. Banjir bandang di Kalimantan Selatan di sepanjang tahun ini menjadi dampaknya karena sebagian besar hutan, telah hilang dan berganti dengan perkebunan kelapa sawit. FWI mencatat hampir setengah dari total 32 juta hektar hutan alam yang digunakan untuk ijin usaha berada di Kalimantan, baik usaha sawit maupun tambang. Alhasil, hutan tak lagi sanggup menampung banyak air.
Di tengah kondisi hutan yang terus hilang dengan sangat cepat, masyarakat adat melakukan sebaliknya. Lewat proses kolektif dan cara hidup yang lebih lambat, masyarakat adat terus mempertahankan budaya dalam mengelola hutan sebagai bagian tak terpisahkan dalam kehidupan. Dalam sebuah diskusi daring di awal Agustus tentang RUU Masyarakat Hukum Adat, Yerhana, Ketua Pengurus Harian Daerah Perempuan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Barito Timur menyatakan tentang ritual khusus yang dilakukan masyarakat adat sebelum memanfaatkan hutan menunjukkan ikatan sosial yang erat antara manusia dan alam: seperti satu pohon yang berasal dari akar yang sama.
Darurat iklim ini tentunya bukan hanya menjadi perjuangan sehari-hari masyarakat adat. Ia menjadi perjuangan setiap orang, tidak terkecuali orang-orang queer dan trans*. Orang-orang queer dan trans* pun terkena dampak akibat bencana yang terjadi. Kerap kali saat penanganan, pemberian bantuan darurat serta pemulihan, orang-orang queer dan trans* kesulitan mendapatkan berbagai akses tersebut. Kesulitan terjadi karena konsep penanganan paska bencana yang sangat terfokus pada pemahaman yang cis-hetero. Kesulitan dalam akses ini juga muncul karena stigma yang dikukuhkan bahwa sebuah bencana terjadi karena dosa dan kesalahan dari orang-orang queer dan trans*. Alhasil, peminggiran semakin kuat padahal kebutuhan mendasar paska kondisi krisis harus segera dipenuhi. Orang-orang queer dan trans* semakin dimiskinkan dan dituntut untuk bangkit dan memulihkan diri sendiri di tengah kondisi fisik dan mental yang buruk, situasi kehilangan tempat tinggal, bahkan orang-orang yang dicintai.
Layaknya masyarakat adat yang dicerabut dari akarnya, yaitu hutan, situasi serupa dihadapi orang-orang queer dan trans*. Masyarakat adat menghadapi berbagai tantangan dalam menjaga sistem pangan dan juga ritual kesehariannya yang sangat lekat dan terhubung pada hutan, pada bumi. Begitu pun orang-orang queer dan trans* yang dicerabut keterhubungannya pada hutan, pada bumi. Padahal hutan memiliki ragam makhluk hidup yang menjadi bagian dari ekosistemnya; sama halnya dengan keragaman seksualitas manusia.
Hari Hutan Indonesia bisa menjadi langkah awal bagi siapapun untuk kembali memperbaiki keterputusan dirinya sebagai manusia dengan hutan, serta hubungan eksploitatif yang didoktrinkan kepada manusia tentang alam sekitarnya. Selain itu, desakan masyarakat agar negara mendeklarasikan darurat iklim terus dilakukan, mulai dari petisi, diskusi, hingga kampanye di jalan dan digital. Potensi bencana sudah semakin nyata dan manusia sudah seharusnya menjaga hutan, menjaga bumi. Itu berarti menjadi orang-orang yang menolak punah.
0 comments on “Seruan Darurat Iklim bagi Semua, pun Para Queer dan Trans*”