Tabumania, pernahkah melihat seseorang memperoleh keistimewaan karena tampang mereka dianggap cakep; bisa tampan atau cantik? Misalnya saat di sekolah atau di tempat kerja mereka memperoleh keistimewaan dengan memperoleh keramahan, keringanan ketika mengerjakan tugas sekolah maupun pekerjaan. Inilah yang dinamakan beauty privilege atau hak istimewa cantik atau berkah kecantikan.
Selain itu tidak sedikit orang-orang yang merasa memiliki penampilan menarik kemudian menggunakannya demi keuntungan sendiri. Misalnya mereka menggunakannya untuk menggoda orang lain, berselingkuh atau melakukan penipuan terhadap orang lain dengan sikap ramah dan meyakinkan. Orang pun teperdaya dan tertipu.
Hak istimewa cantik ini banyak terjadi di sekitar kita sehingga kata-kata “jangan menilai buku dari sampulnya” kerap tidak berlaku sepenuhnya. Kalsey P. Yonce dari Smith College dalam penelitiannya yang berjudul “Attractiveness Privilege: the Unearned Advantages Physical Attractiveness” menyebutkan bahwa kemolekan fisik sebagai sebuah karakteristik yang memberikan hak istimewa terhadap orang yang lebih atraktif (menarik) dan menekan orang yang kurang atraktif (menarik). Sementara itu Yonce juga mengatakan bahwa hak istimewa kemolekan didefinisikan sebagai keuntungan-keuntungan yang diterima dan diberikan kepada orang yang memiliki penampilan fisik sesuai standar sosial tentang fisik menarik. Yonce juga mengatakan dalam beberapa penelitian menyebutkan orang yang dinilai lebih menarik memperoleh perlakuan lebih baik (positif) dan lebih difavoritkan dibandingkan orang yang dinilai kurang menarik (Yonce, 2014: hal. 1). Yonce menjelaskan bahwa pada umumnya orang memiliki kecenderungan untuk menilai secara positif orang yang atraktif dibandingkan orang yang kurang atraktif. Selain itu orang juga memiliki kecenderungan untuk bergaul dengan orang yang memiliki fisik menarik. Tidak hanya itu saja, mungkin karena orang lebih menyukai untuk memperlakukan dan merasakan orang-orang yang atraktif dengan lebih baik hal ini membuat orang yang menarik kecenderungan memiliki hidup yang lebih baik dibandingkan orang yang kurang menarik (atraktif).
Hak istimewa cantik ini memang tidak banyak dibicarakan secara mendalam karena dianggap bahwa kemolekan wajah merupakan kuasa Tuhan sehingga tidak bisa diganggu gugat. Masalahnya adalah sudah seharusnya kemolekan wajah tidak menjadi sesuatu yang spesial sehingga berhak memperoleh keistimewaan dalam perlakuan atau keuntungan lainnya. Hal ini bisa memicu terjadinya diskriminasi terhadap seseorang. Misalnya pada lowongan kerja salah satu persyaratannya adalah penampilan menarik. Penampilan menarik menurut siapa? Persyaratan ini tentu saja membuat pelamar kerja merasa minder terlebih dahulu bahkan sebelum mencoba untuk memasukkan lamaran kerja. Markus M. Mobius, dkk dari Universitas Harvard, dalam penelitian yang berjudul Why Beauty Matters, menjelaskan bahwa orang yang secara fisik dianggap atraktif dinilai memiliki hidup lebih baik, berkompeten, dan pintar dibandingkan orang yang dinilai tidak atraktif. Hal inilah yang menjadikan orang-orang yang memiliki penampilan menarik cenderung lebih mudah memperoleh pekerjaan.
Media pun memiliki peranan dalam melanggengkan beauty privilege ini. Contohnya di Amerika Serikat ada seorang pembunuh berantai bernama Theodore Robert Bundy atau Ted Bundy yang menculik, memerkosa, dan membunuh 30 perempuan dari 1974-1978. Karena wajahnya yang tampan ia memperoleh banyak simpati dan banyak diliput media. Media pop ramai mengangkat kasus tersebut dalam film lepas Extremely Wicked, Shockingly Evil, and Vile (2019). Kemudian Netflix menyiarkan film dokumenter berjudul Conversations with a Killer: The Ted Bundy Tapes. Selanjutnya pada 2002 dibuat film berjudul Ted Bundy yang diperankan oleh Michael Reilly Burke. Profesor bidang psikologi forensik, Katherine Ramsland mengatakan bahwa ketertarikan berlebihan pada pembunuh berantai seperti Ted Bundy terjadi karena penggambaran media. Media menggambarkan Bundy sebagai seseorang yang tampan, pandai bicara, kharismatik, lembut, dan perhatian. Hal ini menimbulkan ketertarikan secara emosional dan seksual pada beberapa perempuan. Masalahnya, pesan tersebut terjadi secara berulang dan diyakini sebagai kebenaran bersama di media sosial. Pesan bahwa apapun kesalahan pelaku karena tampang yang rupawan, ia layak untuk memperoleh maaf secara berjamaah.
Adanya berkah kecantikan ini juga membuat orang yang merasa cantik atau tampan hanya mementingkan penampilan mereka. Seperti yang dikatakan profesor hukum Universitas Stanford, Deborah Rhode dalam bukunya The Beauty Bias, ia mengkritik para perempuan yang mementingkan penampilan sebagai bagian dari citra diri (self image). Menurutnya semakin banyak perempuan yang lebih mementingkan penampilan diri maka semakin sedikit perempuan yang akan memikirkan orang lain. Itulah sebabnya diskriminasi berdasarkan penampilan perlu dihentikan karena bisa membatasi setiap orang untuk memperoleh kesempatan yang sama. Selain itu juga bisa membatasi setiap orang yang ingin berekspresi sesuai dengan keinginannya.
Pihak lain yang diuntungkan beauty privilege ini adalah industri kecantikan. Mengutip dari thebodyisnotapology.com industry kecantikan memperoleh keuntungan melimpah dengan meyakinkan kita (perempuan) bahwa kita terlalu gendut, berdada (berpayudara) rata, atau kita tidak memiliki kulit yang cerah. Apapun pada intinya ingin mengatakan bahwa kita tidak cukup menarik sehingga kita butuh membeli “sesuatu” agar penampilan kita menarik. Dan industry kecantikan ini merupakan industri yang akan terus berkembang pesat dan memanfaatkan orang-orang yang lebih mementingkan paras atau penampilan.
Nah, bagaimana pendapat Tabumania terkait beauty privilege ini? Pada dasarnya cantik itu relatif. Hal yang paling utama adalah bisa memperlakukan orang secara adil apapun latar belakangnya, gender, orientasi seksual, dan sebagainya. Setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan, setiap orang juga memiliki keunikan dan setiap orang memiliki daya tarik masing-masing.
0 comments on “Berkah Kecantikan, Punya Siapa?”