Tabumania, kasus pemerkosaan sangat merugikan korban. Pelaku seringkali memperoleh vonis hukuman lebih ringan bahkan dibebaskan. Relasi kuasa yang timpang memiliki kontribusi dalam kasus ini. Situasi ini terlihat jelas pada kasus pemerkosaan anak di bawah umur berinisial PU (15) oleh Amri Tanjung (21), anak anggota DPRD Kota Bekasi dan kasus pemerkosaan yang dilakukan DP (35) terhadap keponakannya yang berusia 10 tahun di Aceh. Mahkamah Syar’iyah Aceh memberikan vonis bebas terhadap DP.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Yang Berhadapan Dengan Hukum mengatur bahwa relasi kuasa adalah relasi yang bersifat hierarkis, ketidaksetaraan dan/atau ketergantungan status sosial, budaya, pengetahuan/pendidikan dan/atau ekonomi yang menimbulkan kekuasaan pada satu pihak terhadap pihak lainnya dalam konteks relasi antar gender sehingga merugikan pihak yang memiliki posisi lebih rendah. Konteks relasi ini dapat terjadi pada hubungan orang tua dan anak, guru dan murid, dosen dan mahasiswa, suami dan istri, pacar (pasangan) dan lain-lain.
Kasus terbaru yaitu kasus Amri Tanjung (AT), yang telah ditetapkan sebagai tersangka sejak 6 Mei 2021. Mengutip kompas.com berdasarkan hasil gelar perkara, AT diduga memerkosa PU di sebuah kamar kos di daerah Kelurahan Sepanjang Jaya, Bekasi Timur. Dalam kasus ini relasi bersifat hierarkis ditunjukkan dari AT, yang merupakan pacar korban, melarang korban untuk tidak pulang ke rumah. Selain itu, AT juga sering mengancam korban untuk melakukan hubungan seksual. Orang tua korban telah melaporkan tindakan AT ke polisi. Pelaku juga mengancam korban dan keluarganya untuk mencabut laporan pemerkosaan tersebut. Parahnya, AT juga menyalahgunakan keadaan dengan menjual korban yaitu memaksa korban melayani lelaki hidung belang 4-5 orang per harinya.
Celakanya lagi, dalam perkembangan kasus tersebut, tersangka berniat menikahi korban. Hal ini disampaikan kuasa hukum tersangka, Bambang Sunaryo. Mengutip kompas.com, menurut Bambang, tersangka mengaku sayang terhadap korban dan tulus berniat menikahi korban. Niatan ini tentu saja memperoleh kritik keras dari berbagai pihak karena dinilai merugikan korban. Alih-alih fokus pada penanganan trauma pada korban, tetapi malah muncul niatan pelaku untuk menikahi korban. Korban pun masih berusia anak. Apabila dinikahkan, hal ini justru melanggar Undang-Undang Perkawinan karena batas usia pernikahan minimal 19 tahun. Pemerkosaan yangberakhir dengan pernikahan antara pelaku dengan korban berdampak besar bagi korban. Trauma masih terjadi dan sama sekali tidak terjadi pemulihan terhadap korban. Pernikahan bukan jalan keluar kasus pemerkosaan, melainkan jalur hukum. Pihak keluarga pun menolak niatan tersebut. Mengutip dari tirto.id ayah korban, D (42) mengatakan bahwa hanya orang tua bodoh dan telah menjadi korban kemudian menerima tawaran menikah saat proses hukum berjalan.
Sementara itu proses penanganan perkara yang sarat relasi kuasa ditunjukkan pada kasus DP. Ia divonis bebas oleh Mahkamah Syar’iyah Aceh setelah sebelumnya Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut terdakwa dengan hukuman 200 bulan kurungan penjara karena bersalah melakukan jarimah pemerkosaan terhadap orang yang memiliki hubungan mahram (keluarga) dengannya. Kemudian Mahkamah Syariah menjatuhkan vonis sesuai tuntutan JPU atau setara dengan 16,6 tahun penjara pada 30 Maret 2021. Namun, pada 20 Mei 2021 terdakwa bersama kuasa hukumnya mengajukan banding ke Mahkamah Syar’iyah Aceh. Dan sayangnya Mahkamah Syar’iyah Aceh membebaskan terdakwa dari vonis sebelumnya. Adapun salah satu pertimbangan majelis hakim memberikan vonis bebas terhadap pelaku yaitu ketika menyaksikan video yang diajukan pembanding/penasihat hukum terdakwa terlihat korban menyampaikan keterangannya dengan ceria sambil tertawa. Selain itu tidak terlihat adanya beban psikologis yang dialaminya.
Koalisi Masyarakat Sipil Aceh untuk penghapusan kekerasan seksual seperti yang ditulis voaindonesia.com menilai vonis bebas tersebut sangat prematur. Mereka menyayangkan karena majelis hakim Mahkamah Syar’iyah Aceh mengeluarkan putusan tersebut tidak menggunakan perspektifhak dan mengabaikan prinsip perlindungan anak. Masih mengutip voaindonesia.com menurut Putri Aliya dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, saat memberikan vonis bebas pada tingkat banding, ada yang salah dari pertimbangan hukum Mahkamah Syar’iyah Aceh. Putri menganggap majelis hakim Mahkamah Syar’iyah Aceh tidak memahami tentang psikologis dan bahasa tubuh korban. Pada persidangan tingkat pertama di Mahkamah Syar’iyah Jantho beberapa fakta telah terungkap. Namun, Putri menilai majelis hakim pada sidang tingkat banding di Mahkamah Syar’iyah Aceh telah salah menyimpulkan. Korban yang menjawab pertanyaan dengan anggukan dan gelengan kepala saat persidangan tidak digunakan maupun dipertimbangkan sebagai pembuktian. Selain itu, Putri juga menyesalkan minimnya perlindungan kepada korban pemerkosaan selama proses peradilan berlangsung. Pemerintah Aceh membiarkan korban berada dalam kekuasaan dan pengaruh keluarga pelak sehingga patut diduga upaya memengaruhi dan intimidasi terhadap korban telah berlangsung pada masa-masa tersebut. Hingga artikel ini dituliskan, Jaksa Penuntut Umum telah mengajukan kasasi atas putusan Mahkamah Syar’iyah Aceh yang telah membebaskan DP tersebut.
Tabumania,kasus pemerkosaan tidak hanya meninggalkan luka fisik bagi korban, tetapi juga luka batin dan trauma yang sulit untuk disembuhkan. Selain itu korban pemerkosaan juga sulit untuk mengakses keadilan. Hukum selama ini masih timpang dan belum memihak korban. Masih banyak pekerjaan rumah untuk mengawal kasus-kasus pemerkosaan maupun kekerasan seksual lainnya.
0 comments on “Kasus Pemerkosaan Sarat Relasi Kuasa”