Buka Perspektif

Indonesia Darurat akan Kekerasan Seksual

Ketika saya seharusnya melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) dengan lancar dan menyenangkan, tetapi malahan saya mendapatkan pelecehan oleh teman kelompok saya dan lebih mirisnya lagi diabaikan oleh tempat kuliah saya (Agni)

Jika saya ingin mendapat nilai bagus, saya harus pergi ke ruangan dosen dan mendapatkan pelecehan. Ketika saya melakukan zoom dengan teman rekan kerja saya untuk pekerjaan, saya mendapatkan pelecehan seksual dengan kata-kata yang melukai psikis saya. Ketika saya sedang berjalan di taman sendirian atau sedang berjalan pada malam hari, saya mendapat banyak sekali siulan dari orang-orang sekitar (catcalling).

Ketika saya mendapatkan SMS pelecehan seksual dan saya menyebarkannya, malahan saya yang ditahan dan dianggap bersalah karena menyebarkan SMS yang tidak bermoral tersebut (Baiq Nuril)

Peristiwa-peristiwa kekerasan seksual diatas, baik verbal maupun non – verbal, menempatkan Indonesia sudah darurat akan kekerasan seksual. Peristiwa di atas seringkali terjadi di lingkungan Indonesia, tetapi masih belum adanya tindakan pemerintah yang secara tegas untuk menindak kekerasan seksual di Indonesia. 

Pemerintah sudah mulai dengan melakukan perancangan terhadap Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) dari tahun 2016 dan sudah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Namun, sampai tahun 2020 RUU PKS ini juga belum disahkan. 

Terdapat beberapa hal yang sangat mendesak untuk disahkan RUU PKS ini, selain dengan angka jumlah kekerasan seksual yang terus meningkat setiap tahunnya. RUU PKS ini memperluas jenis-jenis kekerasan seksual yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dimana di dalam RUU PKS jenis kekerasan seksual dibagi menjadi pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual dan/ atau penyiksaan seksual (pasal 11 RUU PKS). Dengan diperluasnya lingkup kekerasan seksual dalam rumah tangga atau pernikahan dan dunia kerja, diharapkan RUU PKS ini dapat menurunkan angka kekerasan seksual di Indonesia. 

Di RUU PKS ini juga mengatur tentang hal-hal yang belum pernah diatur di KUHP, seperti mengatur tahapan awal sampai akhir jika terjadi kekerasan seksual, mulai dari pencegahan kekerasan seksual sampai pemulihan korban kekerasan seksual. Dimulai dari pencegahan, penanganan, perlindungan, dan pemulihan korban. Dengan diaturnya tahap-tahap seperti di atas, membuat korban kekerasan seksual berani untuk melaporkan tindakan kekerasan yang dialami kepada pihak berwajib. Seperti yang kita tahu, jika terjadi pemerkosaan atau pelecehan seksual, KUHP menganut delik aduan, dimana diharuskan adanya laporan terlebih dahulu baru kasusnya ditindaklanjuti. Karena delik aduan ini, banyak korban kekerasan seksual yang takut untuk melaporkan kepada pihak berwajib. Dengan adanya RUU PKS ini, korban dapat terlindungi dan berani untuk melaporkan kepada pihak berwajib untuk kekerasan seksual yang dialami. 

RUU PKS ini juga tidak terbatas kepada satu gender saja yaitu perempuan, tapi ini juga berlaku kepada laki-laki yang mengalami kekerasan seksual. Kekerasan seksual tidak hanya dialami oleh kaum perempuan, tetapi laki-laki juga dapat mengalami kekerasan seksual. Dilansir dari data aware.org singapore, prosentase pelecehan yang diterima oleh laki-laki 21%. Namun, di KUHP sendiri pemerkosaan masih terbatas kepada perempuan saja yaitu bisa dilihat di pasal 285 KUHP 

Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”

Dengan adanya RUU PKS, maka tidak hanya melindungi perempuan, tetapi juga melindungi laki-laki yang mendapatkan kekerasan secara seksual.

RUU PKS ini juga tidak hanya menyangkut tentang kekerasan seksual secara non verbal saja, tetapi juga mengatur kekerasan seksual secara verbal, seperti catcalling yang sering dialami di tempat-tempat publik. Catcalling ini termasuk ke dalam kategori pelecehan seksual. Lebih mirisnya lagi, pada saat Women’s March tahun ini (2020), masih adanya pelecehan seksual yang dialami oleh aktivis atau demonstran pada saat woman march. Seharusnya demonstran saling mendukung antar sesama. Dengan adanya peristiwa miris ini, Pemerintah seharusnya bisa melihat bahwa RUU PKS ini sangat mendesak untuk disahkan. 

Di dalam RUU PKS ini juga ada pencegahan kekerasan seksual dengan cara memasukan materi penghapusan kekerasan seksual dalam kurikulum, non kurikulum dan ekstrakurikuler pendidikan usia dini sampai perguruan tinggi (pasal 6 RUU PKS) . Pencegahan yang dilakukan dengan memasuki aspek pendidikan sangat dibutuhkan karena di Indonesia sendiri masih merupakan hal yang tabu tentang seks maupun kekerasan seksual. Dengan adanya kurikulum ini, masyarakat dapat tahu apa itu seks dan apa saja yang termasuk kekerasan seksual. 

Sering kali korban kekerasan seksual atau pelecehan tidak meninggalkan bukti fisik sehingga pelecehan atau pemerkosaan sulit untuk diselidiki. Pembuktian terhadap pemerkosaan atau pelecehan sering terhambat karena kondisi mental korban yang sedang tidak baik. Ini terjadi karena selama ini, kasus pemerkosaan mesti dibuktikan dengan adanya sperma laki-laki di dalam vagina perempuan, sehingga sangat sulit untuk membuktikan adanya pemerkosaan. Dengan adanya RUU PKS, korban tidak perlu membuktikan hal tersebut karena dapat dibuktikan dengan pengakuan korban atau rekam medis dan keterangan psikologi (pasal 44 dan 45 RUU PKS). Hal ini memudahkan korban dan pihak berwajib untuk menindak kasus kekerasan seksual. 

Dengan alasan-alasan di atas, RUU PKS ini penting didesak untuk disahkan. Di tengah pandemi sekarang, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diam-diam membahas RUU lain yang sangat kontroversial seperti RUU KUHP, Omnibus Law, dan RUU Pemasyarakatan. Seharusnya, jika ingin dibahas, bahaslah RUU PKS! Sudah lebih dari satu periode RUU ini dibengkalai dan tak kunjung disahkan, padahal kekerasan pelecehan seksual di Indonesia meningkat setiap tahunnya.

Artikel ini ditulis oleh Erika Halim. Ia adalah Juara Favorit 3 Lomba Nulis dengan tema “Kenapa Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual Harus disahkan?” yang diadakan oleh Qbukatabu.

Portal pengetahuan dan layanan tentang seksualitas berbasis queer dan feminisme. Qbukatabu diinisiasi oleh 3 queer di Indonesia di bulan Maret 2017. Harapannya, Qbukatabu bisa menjadi sumber rujukan pengetahuan praktis dan layanan konseling yang ramah berbasis queer dan feminisme; dan dinikmati semua orang dan secara khusus perempuan, transgender, interseks, dan identitas non-biner lainnya.

0 comments on “Indonesia Darurat akan Kekerasan Seksual

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: