Tabumania, tahu dong kalau Papua, khususnya Jayapura, masuk sebagai salah satu zona merah pandemi? Tingkat penyebaran virus Corona di Papua terbilang cukup tinggi karena aktifitas bepergian lintas kabupaten dan kegiatan di ruang publik masih kerap dilakukan. Jarak antar lokasi yang jauh untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari serta desakan ekonomi menjadi faktor mereka mengambil risiko kesehatan dengan menempuh perjalanan tersebut.
Meski saat ini sudah diberlakukan normal baru, bukan berarti situasi sudah benar-benar membaik. Ada cerita yang mungkin sebagian dari kita belum ketahui, yaitu tentang kepemimpinan perempuan Papua di masa pandemi. Cerita ini menjadi penting, karena di Indonesia anggapan kepala keluarga itu menjadi tugasnya laki-laki, padahal tidak sedikit perempuan menjadi pemimpin di keluarganya. Berangkat dari hal tersebut, beruntung sekali di artikel kali ini, Qbukatabu berkesempatan melakukan wawancara kepada seorang perempuan dari Papua yang bersama anggota jemaat di gerejanya membangun kepemimpinan perempuan di masa pandemi.
Adalah Kaka Rode Wanimbo, ibu dari dua orang anak yang sekaligus menjabat sebagai Ketua Departemen Perempuan Gereja Injil di Indonesia (GIDI), gereja yang sudah lama berdiri sejak tahun 1962. Berdasarkan cerita Kaka Rode, anggota jemaat GIDI mayoritas perempuan dengan 90% bekerja sebagai petani dan pencari nafkah utama. Lalu, apa aja sih yang diobrolin antara tim Qbukatabu dengan Kaka Rode Wanimbo? Yuk kita simak!
Kaka, terimakasih untuk waktunya, sebelum mulai, boleh kenalin diri Ka untuk pembaca Qbukatabu?
Nama lengkap saya Rode Wanimbo, kegiatan sehari-hari seorang penolong bagi teman hidup (anggota jemaat) dan juga seorang mama bagi dua orang anak. Aktifitas sebagai mama bagi dua anak, dan kepercayaan yang saya terima untuk pelayanan sebagai Ketua Departemen Perempuan GIDI.
Ka, boleh diceritain nggak, apakah ada yang berubah di lingkungan terdekat saat ini dari masa sebelum dan sesudah pandemi?
Sebelum pandemi, banyak aktifitas anak-anak bermain di setiap jalur jalan, tapi semasa pandemi yang saya amati di lingkungan sekitar menjadi agak tenang, semua anak beraktifitas di dalam rumah. Kalau ibu-ibu Papua yang pada umumnya itu bermata pencaharian sebagai petani, itu saat pandemi ini tidak ada perubahan besar karena aktifitasnya tetap ke pasar setiap hari karena untuk melangsungkan hidup menjual hasil kebun. Memang ada batasan waktu dari pemerintah kalau di luar sampai jam 2 siang, jadi suasana di pasar hanya sampai jam 2 siang dan sepi selama 4 bulan. Sekarang sudah normal baru, sudah berlaku sampai jam 5 sore.
Boleh diceritakan Ka, bagaimana perempuan sebagai pencari nafkah utama harus bertahan di masa pandemi ini?
Jadi, dari pagi sudah jual hasil kebun di pasar, mereka pulang capek dan harus siapkan makan untuk keluarga, mereka berfikir untuk anak-anaknya yang sekolah, mengerjakan PR. Banyak yang berbagi dengan pemberlakuan online learning mengharuskan orangtua beli handphone. Di Papua harga handphone mahal.
Jadi, perempuan mendapatkan peran dan tanggungjawab lebih di dalam keluarga ya, Ka?
Ya, bapak-bapak ya hanya kebanyakan di rumah, ada juga sebagian yang bantu istri berkebun tapi peran lebih banyak perempuan dari kebun bawa ke pasar, pulang lagi berfikir soal anak. Untunglah ada sekolah yang mempunyai fasilitas, ada tugas dan pilihan untuk orangtua murid yang tidak memiliki akses HP dan komputer itu bisa di sekolah.
Kan banyak anggota jemaat yang datang ke Kaka untuk bercerita ya, lalu, langkah apa yang sudah dilakukan GIDI?
Pas pandemi Covid bagi saya menguji iman tapi juga menantang kepemimpinan di Departemen Perempuan karena perempuan menjadi kelompok berisiko karena harus ada di pasar, tidak ikut social distancing. Jadi kita sebagai Ketua Departemen hubungi tim kerja karena pemerintah Jayapura agak lambat sediakan air bersih di pasar, jadi kami langsung berfikir harus sediakan masker, pembersih tangan, sarung tangan. Jadi ada dana dari kami membeli sanitary kit, ada handuk dalam ukuran kecil dan sarung tangan, lalu dibagikan sebanyak 700 paket.
Oh, ada penggalangan dana yang dilakukan juga, Ka?
Awalnya mulai dengan dana yang ada di kas, itu mampunya 100 paket, setelah dibagi 100 paket itu banyak ibu-ibu di pasar tidak kebagian. Lalu kita buat poster dan share lewat WhatsApp, Facebook, dan ke teman-teman semua di media sosial, jadi ada yang menyumbang dalam bentuk barang, dan ada ibu yang menjahit sendiri. Kami juga ada kegiatan bersama dan coba dengan membersihkan angkat sampah di pantai.
Nah, bagaimana akses untuk mengetahui status kesehatan di masa pandemi ini, Ka? Misalnya, akses untuk rapid test/swab test?
Sangat kesulitan, pemerintah sudah alokasikan dana dengan jumlah besar, tapi layanan itu di puskesmas atau di RS tertentu yang gratis, tapi terlalu banyak yang pergi maka harus antri berjam-jam bahkan bisa berhari-hari untuk rapid test, jadi layanan kesehatan masih kurang. Tidak semua puskesmas dan RS juga sediakan layanan rapid test, hanya tertentu. Kalau di apotik ada, bayarnya 300 ribu, sangat mahal untuk mayoritas masyarakat yang hidup bergantung dari hasil kebun.
Ada tantangan lain selain akses yang terbatas dan biaya yang tinggi, Ka?
Sekarang kalau lintas kabupaten harus rapid test, mau tidak mau harus ke apotik dan bayar, tapi ada faktor kedua yaitu masih ada stigma, mereka belum siap rapid test. Stigma seperti takut tahu hasilnya, jadi masyarakat masih kurang pemahaman. Penyuluhan pemerintah di Papua, khususnya kabupaten, belum kasih penyuluhan yang tepat dan dengan sederhana agar mudah dimengerti oleh masyarakat.
Tabumania, rasanya kurang deh ngobrol asyik selama hampir enam puluh menit bersama Kaka Rode Wanimbo. Banyak informasi berharga dari beliau yang sayang banget untuk dilewatkan. Selain bicara tentang kepemimpinan perempuan Papua di masa pandemi, dari Kaka Rode Wanimbo, tim Qbukatabu juga mengetahui bahwa GIDI turut menjadi pelopor menciptakan perdamaian lho! Setiap bulan GIDI mengadakan kegiatan diskusi buku yang diikuti oleh perempuan muda dan dewasa. Mereka diharapkan dapat mengambil peran untuk ciptakan perdamaian, khususnya di Papua.
Di Papua, menurut Kaka Rode Wanimbo, perempuan masih hidup dalam lingkar kekerasan, baik kekerasan langsung, verbal, budaya dan kekerasan sistematik. Salah satu contoh ya di masa pandemi ini, perempuan sudah menjadi pencari nafkah utama, namun masih harus dibebankan pada pekerjaan-pekerjaan domestik. Oleh karenanya, salah satu prioritas GIDI yaitu membuat program bercerita dalam lingkaran sebagai upaya merespon trauma healing dengan harapan bercerita sebagai proses untuk pulih.
Tabumania, Kaka Rode Wanimbo mempunyai harapan agar diskusi dan menceritakan pengalaman lewat tulisan tidak hanya satu kali dilakukan karena informasi terus berkembang dan kita perlu belajar tentang perkembangan tersebut. Jadi, mau nulis tentang apalagi kita?
0 comments on “Meski Pandemi, Mama Mama di Jayapura terus Pimpin Keluarga”