Buka Perspektif

Sahkan RUU PKS, Hapuskan Kekerasan Seksual Dalam Rumah Tangga!

Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) pertama kali ditetapkan sebagai RUU inisiatif DPR pada Februari 2017. Pengajuan RUU ini membawa angin segar bagi upaya perlindungan korban kekerasan seksual yang semakin meningkat setiap tahunnya. Apalagi, Komnas Perempuan telah menyatakan Indonesia darurat kekerasan seksual sejak tahun 2014 (Riana, 2018). Sayangnya, hingga saat ini, pemerintah belum juga mengesahkan RUU ini. Padahal, sejak diajukannya RUU PKS, kekerasan seksual terus meningkat. Laporan terbaru Komnas Perempuan menyatakan bahwa sebanyak 4.877 kasus kekerasan seksual terjadi sepanjang tahun 2019 (Komnas Perempuan, 2020). Oleh karena itu, penting untuk terus mendesak pemerintah agar segera mengesahkan RUU ini.

Pembahasan yang berlarut-larut di DPR menyebabkan RUU PKS belum juga disahkan hingga sekarang. Hal ini karena tidak ada kesepakan bulat dari semua fraksi sebab Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menolak beberapa pasal dalam RUU ini. PKS menyampaikan bahwa mereka mewakili kelompok masyarakat yang kontra dengan RUU PKS dengan alasan bahwa RUU ini berpotensi melegalkan LGBT dan perzinahan (Sopian, 2019). Alasan lain yang disampaikan pihak kontra adalah bahwa RUU PKS mengusung marital rape yang berarti bahwa definisi kekerasan seksual juga mencakup kekerasan seksual yang terjadi dalam rumah tangga antara suami dan istri (Zulkarnain, 2019). Penting untuk meluruskan semua kesalahpahaman ini. Namun, dalam tulisan ini, pembahasan akan berfokus pada masalah marital rape.

Konsep marital rape dalam RUU PKS ditunjukkan pada pasal 11 yang berbunyi “Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi peristiwa kekerasan seksual dalam lingkup relasi personal, rumah tangga, relasi kerja, publik, dan situasi khusus lainnya.“ Kekerasan seksual dalam rumah tangga ini bukan hanya mencakup hubungan inses, namun juga antara suami dan istri. Artinya, jika seorang suami melakukan hubungan seks secara paksa kepada istri, maka suami dapat dipidana sebab hal itu termasuk kategori kekerasan seksual.

Hadirnya konsep marital rape dalam RUU PKS sebenarnya adalah bentuk kemajuan hak asasi manusia dalam hukum Indonesia, khususnya perlindungan perempuan. Sebab, hal ini berarti bahwa tidak ada satu hal pun yang bisa membolehkan perkosaan, termasuk pernikahan. Sayang sekali, hal ini justru mendapat tentangan. Bahkan, ketika konsep yang sama juga dipakai di dalam RKUHP, masyarakat ramai menolak. Padahal, peraturan mengenai marital rape sebenarnya sudah ada dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) No.23 Tahun 2004 pasal 5 dan 8. Hanya saja, kata yang digunakan bukanlah “perkosaan” melainkan “kekerasan seksual.” Maka seharusnya, hal ini tidak lagi menjadi masalah. Namun, sisi baiknya adalah momen ini bisa dijadikan kesempatan untuk semakin meluaskan wawasan kepada masyarakat bahwa perkosaan juga bisa terjadi antara suami dan istri. Sebab, hal yang lebih penting dari sekedar menghadirkan peraturan dalam hukum yaitu menghadirkan nilai-nilai di dalam masyarakat.

Penolakan terhadap pasal marital rape sebenarnya adalah bukti kekerasan seksual sudah sangat membudaya di dalam masyarakat. Tentunya tidak sulit menemukan komentar seperti “Istri wajib melayani suami. Jika tidak, maka jangan salahkan jika suami mencari perempuan lain.” Sangat banyak juga komentar yang mencerminkan bahwa masih banyak masyarakat yang tidak tahu definisi pemerkosaan. Contohnya dalam foto dokumentasi protes penolakan terhadap RUU PKS, seorang ibu membawa spanduk yang berbunyi “Saya ikhlas diperkosa suami saya kapan pun suami saya minta. Jujur enak!!! Dapat pahala lagi.” Komentar ini mengindikasikan bahwa masih banyak masyarakat yang tidak paham arti perkosaan. Padahal, batas antara seks dan pemerkosaan adalah persetujuan (consent) kedua belah pihak. Jika ada salah satu pihak yang tidak memberikan persetujuan dalam hubungan seksual, itu adalah pemerkosaan.

Masyarakat perlu diberi edukasi mengenai kekerasan seksual dalam rumah tangga. Salah satu caranya adalah dengan menunjukan fakta-fakta kasus marital rape yang telah terjadi. Kejadian di Denpasar, Bali pada tahun 2014 menggambarkan seorang perempuan meninggal karena mengalami patah tulang rusuk, memar di dada, dan infeksi di kemaluan. Luka-luka tersebut disebabkan oleh suaminya, M. Tohari yang memaksa untuk melakukan hubungan badan padahal saat istrinya sedang tidak enak badan, sesak nafas, serta mengalami masalah jantung (Putri, 2019). Kasus ini hanyalah salah satu contoh kekerasan seksual yang terjadi pada istri yang dilakukan suaminya sendiri. Menurut Laporan Komnas Perempuan, terdapat 100 kasus marital rape yang terjadi sepanjang tahun 2019. Angka ini hanya menunjukan jumlah kasus yang dilaporkan. Sementara, kasus marital rape masih sangat jarang dilaporkan sebab masyarakat belum memiliki kesadaran tinggi terhadap kasus seperti ini. Ditambah lagi dengan doktrin bahwa istri memang harus melayani hasrat seksual suami kapanpun dan dimanapun (Komnas Perempuan, 2020). 

Hal di atas menunjukan betapa gentingnya pengesahaan RUU PKS yang mengakomodir banyak jenis kekerasan seksual, termasuk marital rape. Dengan disahkannya RUU P-KS, maka bukan hanya bahwa hukum akan mengalami kemajuan dalam hal perluasan definisi kekerasan seksual, namun juga karena masyarakat akan terdidik dari hukum yang berlaku tersebut. Hal ini karena RUU P-KS juga mencakup pencegahan terkait kekerasan seksual, mulai dari sekolah, lingkungan pemerintah, lingkungan korporasi, dan masyarakat secara luas. Substansi ini tercantum dalam bab IV pasal 5 sampai 10. 

Dalam pasal 6 ayat (1) dipaparkan bentuk-bentuk pencegahan kekerasan seksual di ranah pendidikan. Salah satunya yaitu “Memasukkan materi Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai bahan ajar dalam kurikulum, non-kurikulum, dan/atau ekstra kurikuler pendidikan usia dini sampai perguruan tinggi.” Dengan memasukkan materi penghapusan kekerasan seksual sebagai bahan ajar, maka diharapkan generasi penerus bangsa akan lebih sadar terhadap kekerasan seksual. Kelak, generasi penerus ini akan berumah tangga dan diharapkan mampu membangun keluarga yang sehat. 

Masyarakat yang sehat berawal dari rumah tangga yang sehat. Keluarga adalah lembaga pendidikan pertama bagi anak. Jika anak tumbuh di keluarga yang penuh kekerasan, maka anak juga bisa tumbuh dengan pemikiran bahwa tidak apa-apa untuk menggunakan kekerasan. Apalagi, seorang suami yang melakukan kekerasan seksual pada istri juga cenderung melakukan kekerasan pada anak-anaknya, terutama anak perempuan. Maka, kekerasan hanya akan menjadi lingkaran setan yang terus turun-temurun (DVPC, 2020). Oleh karena itu, penghapusan kekerasan dalam rumah tangga sangat penting dan genting. Namun, dibutuhkan peraturan yang secara rinci memuat langkah pencegahan hingga pemulihan korban. KUHP sekarang tidak memuat hal tersebut, begitupun dengan UU PKDRT. Maka, RUU PKS adalah harapan bagi perempuan, anak perempuan, serta masyarakat secara umum, yang sangat genting untuk segera disahkan.

Referensi

DVPC. (2020). Domestic Violance Prevention Centre Gold Coast Inc. Retrieved from Impact of Domestic Violence on Children and Young People: http://www.domesticviolence.com.au/pages/impact-of-domestic-violence-children-and-young-people.php

Komnas Perempuan. (2020). Kekerasan Meningkat: Kebijakan Penghapusan Kekerasan Seksual Untuk Membangun Ruang Aman Bagi Perempuan dan Anak Perempuan.Jakarta: Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.

Putri, A. W. (2019, November 3). Perkosaan dalam Perkawinan Itu Nyata dan Bisa Membunuhmu. Retrieved from Tirto.id: https://tirto.id/perkosaan-dalam-perkawinan-itu-nyata-dan-bisa-membunuhmu-ejBL

Riana, F. (2018, November 24). Darurat Kekerasan Seksual dan Pembahasan RUU-PKS yang Lambat. Retrieved from Tempo.co: nasional.tempo.co/read/1149125/darurat-kekerasan-seksual-pembahasan-ruu-pks-yang-lambat

Sopian, P. (2019, Februari 7). Tarik Ulur RUU Penghapusan Kkerasan Seksual. (C. Indonesia, Interviewer)

Zulkarnain, T. (2019, Maret 8). Ustaz Tengku Zulkarnain Tolak Keras “Hubungan Suami Istri Tak Boleh Ada Paksaan”. (O. iNews, Interviewer)

Artikel ini ditulis oleh Resty. Ia adalah Juara 2 Lomba Nulis dengan tema “Kenapa Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual Harus disahkan?” yang diadakan oleh Qbukatabu.

Portal pengetahuan dan layanan tentang seksualitas berbasis queer dan feminisme. Qbukatabu diinisiasi oleh 3 queer di Indonesia di bulan Maret 2017. Harapannya, Qbukatabu bisa menjadi sumber rujukan pengetahuan praktis dan layanan konseling yang ramah berbasis queer dan feminisme; dan dinikmati semua orang dan secara khusus perempuan, transgender, interseks, dan identitas non-biner lainnya.

0 comments on “Sahkan RUU PKS, Hapuskan Kekerasan Seksual Dalam Rumah Tangga!

Leave a comment