Buka Perspektif

RUU PKS : Macet di Pengesahan, Keadilan Puan Dikerdilkan

Data menohok dari Komnas Perempuan menyatakan dalam kurun waktu 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan meningkat 792 persen. Berangkat dari fakta tersebut, Indonesia memerlukan jerat payung hukum mujarab yang tak lain adalah RUU PKS. Sayang, pengesahannya macet di perjalanan, lantas bagaimana nasib puan bangsa ini?

Kala itu masih teringat jelas seruan Vany saat menyuarakan keadilan dan kesetaraan untuk kaumnya (baca : perempuan). “Undang-undang yang memihak investor kenapa segera disahkan, sedangkan kenapa undang-undang untuk kesejahteraan masyarakat dikesampingkan,” tanya Vany heran. Pertanyaan bernada sindiran itu sudah lama terucap dari bibir wanita bernama lengkap Ni Kadek Vany Primaliraning. Dalam sebuah Aksi Woman March Bali pada Minggu (8/3) silam, di Monumen Perjuangan Bajra Sandhi, dengan semangat juang tinggi Vany memimpin aksi. Bukan semata-mata karena kedudukannya sebagai Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali, namun semua yang dilakukan perempuan hitam manis ini adalah untuk kaumnya yaitu perempuan.

Menunjuk pada seruan Vany, yang dimaksud undang-undang memihak investor adalah Omnimbus Law. Ibarat gorengan yang baru matang, Omnimbus Law amatlah hangat diperbincangkan sebab aturan ini dinilai tak memihak rakyat kecil. Belum lagi pemerintah yang ngebut untuk merampungkan dan mengesahkan Omnimbus ditengah pandemi, semakin meresahkan masyarakat khususnya para pekerja. Pasal-pasal bermasalah dalam Omnimbus Law salah satunya menyangkut persoalan cuti haid yang diputus, jam kerja berlebih, dan pasal lainnya yang dinilai berdampak negatif terhadap tumbuh kembang kesetaraan gender di Indonesia. Tak hanya Omnimbus, Rancangan Undang-Undang Ketahanan Rumah Tangga turut serta menuai kritikan. Pada Pasal 25 mengutarakan bahwa laki-laki adalah kepala keluarga dan perempuan hanya mengurus urusan domestik. “Dalam RUU itu kalau perempuan bekerja dianggap tidak baik, kalau hal ini mau dilegitimasi ke aturan hukum justru akan memperparah posisi perempuan dalam budaya patriarki,” terang Vany kritis.

Lantas bagaimana dengan nasib undang-undang yang dinilai mampu menyejahterakan rakyat? Jelas, hingga saat ini terhambat prosesnya. Salah satunya Rancangan Undang – Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) sebagai payung hukum untuk kaum perempuan dalam menuntaskan kasus kekerasan seksual. Bak jalanan di Jakarta, perjalanan pengesahan RUU PKS terjebak macet dapur pemerintahan pusat. Malang nian nasib perempuan dan anak-anak sebagai kaum rentan kekerasan seksual yang hanya mendapat atensi “prihatin” dari Presiden Joko Widodo. Berdasarkan pemberitaan dari Tirto.id, pada 9 Januari 2020 Jokowi yang memimpin rapat terbatas di Istana Negara berbicara soal penanganan kasus kekerasan. Dalam pembicaraan itu, Jokowi mengungkapkan keprihatinannya atas kasus kekerasan seksual yang kian marak di Indonesia, baik itu yang dialami perempuan maupun anak-anak. Himbauan untuk melangsungkan kampanye hingga reformasi penanganan kasus agar cepat dan tepat pun dilayangkan. Namun, kenyataannya kasus kekerasan seksual kian mengganas dan menghancurkan harapan para korbannya.

Buramnya kepekaan pemerintah terhadap isu gender, seperti diskriminasi gender yang kerap merugikan perempuan menjadi catatan kelam bagi negeri yang konon katanya akrab dengan keadilan dan demokrasi. Merujuk pada Catatan Tahunan (CATAHU) 2020 yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan, sepanjang tahun 2019 tercatat ada 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan. Secara rincinya terdiri dari 421.752 kasus yang ditangani Pengadilan Agama, 14.719 kasus yang ditangani Lembaga Mitra Pengada Layanan di Indonesia, dan 1.419 kasus dari Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR) Komnas Perempuan. Menurut Peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati, keberadaan RUU PKS merupakan bentuk reformasi kebijakan perlindungan korban kekerasan seksual dalam sistem peradilan. Sehingga jika RUU PKS segera disahkan, Maidina optimis bahwa RUU PKS mampu menjadi jawaban atas problematik kekerasan seksual yang menghantui perempuan di Indonesia.

RUU PKS sendiri lahir dari buah pengaduan atas untaian kasus kekerasan seksual yang kian mengganas. Kala RUU ini merekah dan muncul ke masyarakat Indonesia, sambutan positif pun bermunculan khususnya dari kalangan rentan kekerasan seksual yaitu perempuan. Sejatinya RUU PKS adalah primadona untuk memukul mundur segala persoalan kekerasan seksual di negeri ini. Sebab, apabila disahkan RUU PKS dapat menjadi payung hukum dengan substansi tepat dan cermat guna melindungi kaum yang rentan terhadap kekerasan seksual dan lagi-lagi kaum rentan itu jatuh kepada perempuan. Sehingga, terhadap kasus kekerasan seksual di ruang privat yang pelakunya adalah orang terdekat korban seperti orang tua, pacar, pasangan, atasan, guru, atau tokoh agama dapat diusut dengan jelas tanpa adanya unsur pelemahan yang diakibatkan status si pelaku sebagai orang terdekat korban.

Memahami lebih dalam RUU PKS, keadilan dan kesetaraan juga diperuntukkan kepada kaum laki-laki maupun kaum transpuan. Salah satunya yang diutarakan Afrizal Hafizt, “RUU PKS sangat rinci dalam membahas segala bentuk kekerasan seksual, janganlah dianggap tabu dan angin lalu saja,” ujarnya. Lelaki yang pernah bekerja di Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI) Bali ini mengungkapkan, kepedulian masyarakat terhadap isu gender di Indonesia mutlak ditingkatkan. Sebab, Hafizt meyakini bahwa masih ada masyarakat yang tabu untuk bersuara dan berbicara terhadap persoalan ini.

Mengupayakan keadilan dalam gender, membutuhkan produk hukum yang mampu melepas jerat ketidakadilan yang dialami perempuan. Aksi Woman March Bali menuntut agar RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual segera disahkan. “Kasus kekerasan perempuan di Indonesia, khususnya di Bali seperti fenomena gunung es, perempuan bangkit baru sebatas cerai, namun jerat pelaku untuk tidak melakukan kekerasan masih belum karena perempuan masih merasa kasihan,” jelas Vany. Menyambut peradaban yang cemerlang, sudah sepantasnya hak-hak perempuan menjadi seruan penuh daya juang. Macetnya pengesahan RUU PKS adalah cermin keadilan untuk perempuan di negeri ini telah dikerdilkan. Sudah selayaknya pemerintah tersadar betapa pentingnya mendengar suara perempuan, karena perempuan adalah tiang peradaban dan tiang peradaban itu bernama perempuan. Teramat penting dari segala pergolakan ini, perjuangan kaum puan bukan milik perempuan semata. Perjuangan ini adalah sinergi bersama yang senantiasa ada dan abadi.

Kebut Pengesahan RUU PKS!!!

Hidup Perempuan!!! Panjang Umur Perjuangan!!!

Artikel ini ditulis oleh Ni Komang Yuko Utami. Ia adalah Juara 1 Lomba Nulis dengan tema “Kenapa Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual Harus di Sahkan?” yang diadakan oleh Qbukatabu.

Portal pengetahuan dan layanan tentang seksualitas berbasis queer dan feminisme. Qbukatabu diinisiasi oleh 3 queer di Indonesia di bulan Maret 2017. Harapannya, Qbukatabu bisa menjadi sumber rujukan pengetahuan praktis dan layanan konseling yang ramah berbasis queer dan feminisme; dan dinikmati semua orang dan secara khusus perempuan, transgender, interseks, dan identitas non-biner lainnya.

0 comments on “RUU PKS : Macet di Pengesahan, Keadilan Puan Dikerdilkan

Leave a comment