Buka Layar

Ngobrolin BPFA Bareng PEKKA dan Kalyanamitra

Siapa yang nggak hafal bunyi Pancasila? Woles, sekarang zamannya kalau nggak hafal Pancasila bakal dijadikan duta! Nah, Tabumania, Pancasila memiliki nilai-nilai yang dijadikan landasan negara, sayangnya nilai-nilai tersebut memang hanya hafalan tanpa implementasi nyata. Paling menonjol tentu saja di butir ke lima Pancasila yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, yang terjadi adalah keadilan masih milik mayoritas saja, konon mayoritas agama dan mayoritas heteroseksual. Contoh lainnya nih, di dalam dunia kerja upah yang diterima laki-laki kerap lebih besar dari upah yang diterima perempuan. Laki-laki banyak mendapatkan tunjangan, sementara perempuan dibatasi. Adanya anggapan bahwa laki-laki adalah satu-satunya kepala keluarga, dan perempuan berperan sebagai ibu rumah tangga adalah satu penyebab ketimpangan sosial tersebut.

Dikarenakan ada ketimpangan tersebut, makanya aktivis dari gerakan sosial berupaya agar Indonesia maksimal untuk mengadopsi nilai-nilai yang sudah disepakati melalui BPFA (Beijing Platform for Action) atau bisa juga disebut Deklarasi dan Platform Aksi Beijing 1995. Berdasarkan wawancara yang dilakukan Qbukatabu dengan narasumber yang berkesempatan hadir di BPFA, nilai-nilai tersebut menjadi sangat penting karena dirasa komprehensif sebagai referensi untuk memastikan hak perempuan dan anak dihormati, dipenuhi dan dilindungi oleh negara. Bahkan bagi gerakan sosial, BPFA juga menjadi nafas untuk pemajuan hak asasi perempuan dalam menjalankan kerja-kerja organisasi.

Tabumania bisa kepoin lebih detail terkait sejarah dari BPFA di tautan berikut: https://qbukatabu.org/2020/04/03/kenalan-dengan-platform-aksi-beijing-yuk/

Nah, tahu nggak Tabumania, Qbukatabu berkesempatan mewawancarai tiga narasumber kece yang hadir pada BPFA. Keduanya ialah Nani Zulminarni dari Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) dan Lilis Sulistyowati serta Ika Agustina dari Kalyanamitra.

Nani Zulminarni mengisahkan pada saat Deklarasi dan Platform Aksi Beijing 1995, ia turut berpartisipasi pada proses tersebut. Kala itu Nani mewakili LSM Perempuan bernama Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita. Melalui ceritanya, Nani Zulminarni juga berkesempatan hadir pada konferensi Beijing di Huario mewakili jaringan Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK). Nani Zulminarni merasa sangat antusias, senang. dan bersemangat saat mengenang masa itu. “Saya masih sangat muda dan baru di arena ini,  sehingga berkesempatan membagi pengalaman kerja dan cerita dari akar rumput dalam arena-arena diskusi yang baru pertama saya ikuti.”

Nani Zulminarni menceritakan, pada saat pembahasan tingkat Asia Pasifik – Ministrial Meeting, di Jakarta sebelum konferensi Beijing, untuk pertama kali beliau ikut berdiri di depan arena pertemuan bersama aktivis lain untuk menyampaikan isu dengan cara menuliskannya di poster-poster. “Situasi Indonesia pada zaman itu tidak bebas, jadi cara kami sangat halus hanya berdiri saja berjajar di area pintu keluar masuk delegasi.  Saya masih ingat poster yang saya pegang judulnya “hak ekonomi perempuan miskin”.

Nani Zulminarni sudah mulai aktif di isu pemberdayaan perempuan sejak 1987. Menurutnya mengikuti BPFA sangat berpengaruh pada kerja-kerja ke depan yang dilakukan. Ada beberapa area keprihatinan dalam deklarasi Beijing yang pada saat itu diikuti olehnya, seperti; Perempuan dan Kemiskinan (Women and poverty), Perempuan dan Pendidikan serta perlatihan (Education and training of women), Perempuan dan Kesehatan (Women and health), Kekerasan terhadap perempuan (Violence against women), Perempuan dan Ekonomi (Women and the economy).  Dan beliau juga fokus pada Perempuan dalam kekuasaan dan pengambilan keputusan (Women in power and decision-making) serta Anak Perempuan (The girl child).

Menurut Nani Zulminarni, semua agenda yang disebutkan berkaitan secara langsung dengan kelompok perempuan di akar rumput dalam menjalankan kerjasama dan pengorganisasian. Nani bekerja bersama perempuan miskin di desa maupun kota menggunakan kegiatan ekonomi sebagai pintu masuk, Nani Zulminarni juga melakukan banyak kegiatan pelatihan dan pendidikan, membahas tentang kesehatan reproduksi, serta mengorganisir dan membantu korban kekerasan. Ia memperkuat perempuan untuk terlibat aktif dalam proses pengambilan keputusan dan meningkatkan kemampuan mereka mengambil keputusan. Saya juga fokus pada anak perempuan karena cukup banyak kasus anak perempuan dari ibu-ibu yang kami organisir harus kawin muda karena kemiskinan.” Imbuhnya.

Ketika ditanya lebih jauh mengenai capaian menarik sejak deklarasi pada tahun 1995, ada berbagai poin penting yang disampaikan oleh Nani Zulminarni. Salah satunya adalah koperasi simpan pinjam yang masih berjalan hingga kini. Koperasi tersebut melayani anggota dalam hal keuangan. Capaian lainnya, ribuan perempuan miskin di basis yang didampingi dan dilatih kepemimpinannya telah menjadi pemimpin-pemimpin, kader, organiser yang secara berkelanjutan mengorganisir di lapangan.

Nani juga menceritakan tiga tantangan birokrasi (kekuasaan) yang dihadapi. Pertama di tataran sistem formal yaitu pemetintahan, kebijakan dan pengambil keputusan; masih banyak kebijakan yang bias gender, stereotyping dan tidak tepat terhadap persoalan perempuan. Kedua dalam sistem non-formal; masih kuatnya patriarki dalam sistem sosial kultural yang menghambat kemajuan perempuan.  Misalnya peran-peran kelembagaan sosial kultural dan agama yang menempatkan perempuan sebagai subordinasi laki-laki.  Ketiga dalam pola fikir masyarakat – termasuk perempuan yang menginternalisir norma sosial diskriminatif dan subordinasi perempuan sebagai landasan memperlakukan dan tuntutan terhadap perempuan.

Cerita seru lainnya juga disampaikan oleh Lilis Sulistyowati dan Ika Agustina dari Kalyanamitra dalam pengalamannya di BPFA. Pendiri Kalyanamitra saat itu yakni Sita Aripurnami dan Direktur Kalyanamitra yaitu Ita F Nadia bahkan hadir dan menjadi pembicara pada konferensi di Beijing tahun 1995. Dalam penuturannya, Kalyanamitra berdiri pada tahun 1985 dan memiliki fokus pada isu hak perempuan serta kesetaraan dan keadilan gender. Sehingga BPFA menjadi sangat penting untuk pengetahuan dan dijadikan acuan dalam kerja-kerja Kalyanamitra. Di dalam BPFA terdapat 12 bidang kritis yang mencakup isu perempuan dan anak perempuan saat itu, bahkan anak perempuan menjadi bidang tersendiri. BPFA menjadi terobosan bagi organisasi-organisasi perempuan di seluruh dunia dan juga menjadi landasan aksi untuk pelaksanaan CEDAW (Convention on Elimination of All Forms of Discrimination Against Women).

Dari 12 bidang kritis, Kalyanamitra memiliki fokus pada 8 bidang, yaitu:

  • Perempuan dan kemiskinan
  • Perempuan dalam pendidikan dan pelatihan
  • Perempuan dan kesehatan
  • Kekerasan terhadap perempuan
  • Perempuan dalam ekonomi
  • Perempuan dalam kekuasaan dan pengambilan keputusan
  • HAM perempuan
  • Anak perempuan

“Salah satu strategi kerja kami saat ini yaitu dengan pendampingan komunitas perempuan desa. Dan 8 bidang kritis tersebut kami berupaya untuk dijadikan dalam landasan kerja-kerja kami melalui berbagai bentuk aktifitas seperti peningkatan kapasitas, advokasi dan kampanye.” Hal yang menjadi latar belakang bekerja di bidang kritis tersebut karena menjadi bagian dari mandat organisasi yang pada awal pendiriannya berfokus pada isu hak perempuan. “Selain itu, melihat juga program kerja yang kami lakukan dengan terlebih dahulu mencermati dan menganalisis situasi sosial, politik, dan budaya di wilayah dampingan kami.” Tambahnya.

Menurut teman-teman Kalyanamitra, di Indonesia ada beberapa hal yang bisa dianggap sebagai capaian menarik gerakan perempuan dikaitkan dengan konteks BPFA, misalnya dari sisi kebijakan ada Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Peraturan Presiden Pengarusutamaan Gender, kebijakan terkait peningkatan partisipasi politik perempuan, yang terbaru yaitu revisi Undang-Undang Perkawinan, Peraturan Presiden Kesehatan Reproduksi, dan dicabutnya Peraturan Menteri tentang sunat perempuan. “Terlepas dari berbagai kontroversi dan ketidaksempurnaan kebijakan tersebut, namun isu-isu itu telah membangun kesadaran masyarakat kita. Memang masih ada beberapa isu yang sampai saat ini masih dianggap kontroversi dan perlu advokasi lebih masif seperti aborsi aman, SOGIESC, SRHR.”

Sedangkan tantangan dari kacamata Kalyanamitra tergambar dari dua level, sisi eksternal dan sisi internal. Sisi eksternal berbicara faktor dinamika sosial politik, dan budaya yang masih menjadi tantangan terbesar karena saat ini konstruksi sosial dan politik masih lekat dengan nilai-nilai yang patriarkis dan misoginis. Di samping itu perkembangan gerakan berbasis konservatisme dan ekstrimis bangkit dengan berbagai aspek. Tidak hanya ditanamkan di masyarakat namun juga merasuki ke struktur pemerintah seperti usulan RUU Ketahanan Keluarga.

Sedangkan dari sisi internal, ini menjadi salah satu isu yaitu terkait feminism antar generasi. “Kita bisa lihat saat ini ada gap tersendiri di sana, mulai dari strategi kampanye dan advokasi yang mungkin berbeda dari gerakan feminis tahun 1995. Namun saya yakin ruh dan cita-citanya sama, sehingga tantangannya adalah bisa menyinergikan dua spektrum ini agar kolaborasi secara efektif.”

Baik PEKKA maupun Kalyanamitra memiliki pesan serupa terhadap generasi milenial saat ini untuk mengenalkan dan mengkampanyekan BPFA. Yaitu dengan memfasilitasi dialog antar generasi secara reguler. Dalam dialog tersebut bisa membahas berbagai persoalan yang bisa digunakan sebagai bahan menyusun advokasi dan kampanye nasional dengan turut mengulasi CEDAW dan SDGs (Sustainable Development Goals). CEDAW dan SDGs merupakan komitmen Indonesia untuk pemenuhan hak asasi manusia dan upaya yang dilakukan untuk mencapai kesetaraan agar tidak ada lagi ketimpangan dan kekerasan yang dialami oleh perempuan.

Hal lainnya yang menjadi upaya di PEKKA maupun Kalyanamitra untuk menyebarluaskan BPFA ialah dengan keterlibatan aktif di berbagai jaringan dengan berdiskusi dan mengintegrasikan di dalam kegiatan. BPFA turut digunakan sebagai acuan/referensi kerja-kerja organisasi bersama dengan dampingan. Tak lupa juga untuk turut terlibat dalam penyusunan review pelaksanaan BPFA bersama organisasi perempuan lainnya.

Nah, Tabumania, sekilas tadi merupakan bincang-bincang manjyah dari Qbukatabu dengan tiga narasumber yang memiliki pengalaman di BPFA. Dari penjelasan tersebut, sudah ada gambaran kan tentang pentingnya nilai-nilai dari BPFA yang harus segera diimplementasikan dan tidak hanya sekadar diadopsi untuk pemajuan hak perempuan. Sebagai generasi milenial, generasi Z, atau generasi Alpha sekalipun, penting bagi kita semua agar ke depan tidak ada lagi ketimpangan yang disebabkan dari ketidakadilan gender, karena pemajuan hak perempuan merupakan hak asasi manusia.

 

About Ino Shean

Ino Shean, bukan nama yang sebenarnya. Menurut weton terlahir sebagai orang yang ambisius, urakan tapi mempesona dan penuh kasih sayang. Aktif dalam gerakan, komunitas dan organisasi di isu seksualitas sejak usia 18 tahun. Suka membaca novel, olahraga dan masih bercita-cita menjadi vegetarian. Pecinta film Marvel and DC! Dapat dihubungi lewat IG @ino_shean

7 comments on “Ngobrolin BPFA Bareng PEKKA dan Kalyanamitra

  1. Semoga, segera eksekusi

    Like

  2. Semoga cepat eksekusi

    Like

  3. Nilai-nilai yang terkandung dlm BPFA itu yg segera dieksekusi dlm catatan praksis secara baik. Jgn sampai hnya indah dlm kalimat Atau tataran teori namun minim praksisnya.

    Like

  4. Yg paling penting juga adalah mengubah Cara pandang. Acapkali sikap negatif dipengaruhi oleh Cara pandang negatif. Semoga BPFA, dapat berdampak pada perubahan Cara pandang masyarakat ke arah yg positif. Memang ini tugas berat, tapi Kita harus bergerak. Terima kasih untuk Tulisan di atas sungguh menginspirasi

    Like

    • Perubahan cara pandang adalah kerja setiap hari yang berkelanjutan, waktunya mungkin lebih lama tapi bukan berarti tidak bisa dilakukan. Terima kasih untuk apresiasinya 🙂

      Like

Leave a comment