Buka Cerita

Qbukatabu Ikut Proses Review Beijing+25 di Bangkok

Halo Tabumania! Tau gag kalo bulan November 2019 lalu, Vica (Direktur Qbukatabu), mendapatkan kesempatan mengikuti rangkaian kegiatan dari proses review implementasi Beijing+25 di Bangkok, lho! Bersama dengan feminis muda, pembela hak asasi manusia, aktivis akar rumput serta perwakilan pemerintah, Qbukatabu memaparkan situasi terkini penegakan dan pemenuhan hak perempuan, trans, interseks dan identitas non-biner pasca komitmen pemerintah di Asia dan Pasifik terhadap Deklarasi dan Platform Aksi Beijing.

Nah, sebelum membagikan pengalaman Qbukatabu selama mengikuti kegiatan di Bangkok kemarin, ada baiknnya kita kenalan dulu sama Deklarasi dan Platform Aksi Beijing atau Beijing Declaration and Platform for Action

Jadi, apa itu Deklarasi dan Platform Aksi Beijing?
Beijing Declaration and Platform for Action (BPFA) atau Deklarasi dan Platform Aksi Beijing 1995 merupakan dokumen yang dianggap paling progreso untuk kerja memajukan hak perempuan. Dokumen ini dihasilkan dan disepakati perwakilan negara-negara anggota PBB, termasuk Indonesia; dalam Konferensi Perempuan Sedunia ke-4 atau 4th World Conference on Women di Beijing tahun 1995.

foto diambil dari dokumentasi UN Women

Perwakilan negara-negara yang hadir juga menandatangani dan/atau sudah meratifikasi konvensi PBB yang fokus menjamin pemenuhan hak perempuan yakni Convention on Elimination of All Forms Disciminations Againts Women (CEDAW) atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.

Sebagai kerangka kerja untuk perubahan, BPFA membuat komitmen komprehensif dalam 12 bidang penting, yakni: 1) Perempuan dan kemiskinan; 2) Perempuan dalam pendidikan dan pelatihan; 3) Perempuan dan kesehatan; 4) Kekerasan terhadap perempuan; 5) Perempuan dalam  situasi konflik bersenjata; 6) Perempuan dalam ekonomi; 7) Perempuan dalam kekuasaan dan pengambilan keputusan; 8) Perempuan dalam mekanisme institusional untuk pemajuan perempuan; 9) HAM perempuan; 10) Perempuan dan media; 11) Perempuan dan lingkungan hidup; 12) Anak perempuan. Sebagai bagian dari komitmen, negara yang meratifikasi CEDAW dan menyepakati BPFA, termasuk Indonesia, akan memberikan laporan pemenuhan dan penegakan hak perempuan setiap lima tahun. Laporan ini merupakan bagian dari proses review implementasi BPFA dan proses ini berlangsung, mulai level nasional, regional dan global.

Trus Beijing+25 itu artinya apa?
Secara singkat, Beijing+25 memaknai 25 tahun pelaksanaan kesepakatan global BPFA yang jatuh di tahun 2020. Nah, seperti yang disampaikan diatas; bahwa setiap lima (5) tahun akan ada review terhadap komitmen negara-negara dalam melaksanakan kerja pemenuhan hak perempuan.

Nah, di tahun 2019 ini, proses review berlangsung di semua wilayah di dunia – dimulai di level nasional dan berlanjut ke level regional. Proses review Beijing+25 akan mencapai puncaknya dalam Sesi ke-64 Komisi Status Wanita (CSW) pada Maret 2020 di Markas Besar PBB di New York. CSW 64 akan menyoroti pencapaian dan hambatan untuk implementasi Deklarasi dan Platform Aksi Beijing (1995) sekaligus menandai peringatan 40 tahun Konvensi tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW).

Namun, dikarenakan situasi dan kondisi penyebaran COVID-19 di seluruh dunia, pelaksanaan CSW ke-64 ditunda. Tapi tetep loh Tabumania, proses diskusi untuk memajukan hak perempuan terjadi secara online.

Makin penasaran kan? yuk lanjut baca lagi karena setelah di paragaraf selanjutnya, Vica bakalan cerita lebih banyak tentang 3 kegiatan yang diikuti di Bangkok.

Forum Feminis Muda Asia dan Pasifik untuk Beijing+25 (22-23 Nov 2019). Forum ini merupakan kegiatan pertama yang diikuti oleh Qbukatabu dari rangkaian proses review 25 tahun implementasi BPFA. Forum Feminis Muda ini baru pertama kali diadakan tahun ini. Secara khusus, forum ini melihat kembali pelaksanaan pemenuhan hak perempuan muda di Asia dan Pasifik pasca Beijing 1995. Sebanyak 75 feminis muda (perempuan, anak perempuan, trans, non-biner, interseks dan orang-orang yang termasuk dalam spektrum SOGIESC) dari negara di Asia dan Pasifik bersama-sama berkumpul dan berbagi pengalaman.

Dalam obrolan santai, diskusi dan refleksi, para feminis muda ini menyadari bahwa kesetaraan gender tidak hanya membutuhkan penanganan diskriminasi terhadap perempuan dan anak perempuan, tetapi juga pembongkaran struktur, norma sosial dan institusi cis-heteronormatif, feminitas dan maskulinitas yang biner, serta pandangan yang fokus mewujudkan masyarakat yang bahagia dan bermartabat. Kondisi inilah yang meresahkan karena persoalan dasar yang dihadapi perempuan muda tahun 1995 ternyata sama dengan persoalan perempuan muda jaman now. Ya, tidak bisa dipungkiri ada perubahan baik, tapi tidak signifikan. Buktinya masih banyak hak perempuan, anak perempuan, trans, non-biner, interseks dan orang-orang yang termasuk dalam spektrum SOGIESC yang masih dibatasi atau dihilangkan.

Forum ini menghasilkan call-for-action tentang pernyataan politik terhadap 25 tahun implementasi BPFA dan sejumlah rekomendasi tuntutan penegakan hak perempuan muda berdasarkan delapan (8) area fokus, yakni 1) Perempuan dengan disabilitas; 2) Pembangunan inklusif dan pekerjaan; 3) Kemiskinan, proteksi dan layanan sosial; 4) Partisipasi, dialog sosial, akuntabilitas dan lembaga yang responsif gender; 5) Keadilan iklim, konservasi lingkungan, aksi iklim dan pembangunan ketahanan; 6) Aktivisme SOGIESC; 7) Perdamaian positif, dan kebebasan dari kekerasan, stigma, stereotip, dan norma sosial yang berbahaya; dan 8) Perawatan kesehatan universal dan akses terhadap Hak dan Kesehatan dan Seksual dan Reproduksi (HKSR). Nah, Tabumania yang penasaran sama dokumen lengkapnya bisa diunduh disini

Forum Masyarakat Sipil Regional Asia dan Pasifik Beijing+25 (24-26 November 2019). Kegiatan ini terlaksana sagera setelah Forum Feminis Muda berakhir. Kegiatan ini diikuti lebih dari 230 organisasi masyarakat sipil, termasuk pembela hak asasi manusia dan aktivis akar rumput dari Asia dan Pasifik berkumpul dalam pertemuan ini. Forum CSO Region Asia dan Pasifik berfungsi mengonsolidasikan masukan masyarakat sipil dalam proses review di level regional dan global yang akan ditindaklanjuti di CSW64 pada Maret 2020 di New York. Kegiatan ini berkelanjutan dari Forum Feminis Muda, dokumen call-for-action disampaikan kawan muda dari Nepal dan Kepulauan Solomon di acara pembukaan Forum CSO.

Seorang panitia pengarah Forum CSO Regional Asia dan Pasifik menyampaikan bahwa pertemuan ini merupakan ruang feminis yang inklusif karena beragam suara perempuan dari seluruh Asia dan Pasifik didengar, diakui, dan divalidasi. Struktur Forum CSO Asia Pasifik Beijing +25 mengikuti kerangka kerja ‘Kemarahan, Harapan, Tindakan’ dan menekankan permintaan kelompok feminis terhadap perubahan sistemik untuk mencapai hak asasi perempuan. Di hari kedua pelaksanaan forum, Qbukatabu menjadi salah satu narasumber dalam diskusi panel tentang Bridging Generations for Feminist Collaborations: Dialogue and Action Planning & Intergenerational Dialogue – The Future of Feminisms. Dalam diskusi ini, Qbukatabu memaparkan cara untuk menjembatani gap yang muncul dalam gerakan perempuan pada masa sekarang dan di masa lalu.

Forum CSO berakhir dengan penyusunan dan kesepakatan atas pernyataan sikap masyarakat sipil terhadap implementasi 25 tahun Deklarasi Beijing dan Platform Aksi yang akan dibacakan dalam pembukaan Asia-Pacific Ministerial Conference on the Beijing+25 Review. Dalam pernyataan tersebut, masyarakat sipil mendesak pemerintah di Asia dan Pasifik untuk menindaklanjuti 13 rekomendasi upaya pemajuan hak perempuan dan anak muda.

Asia-Pacific Ministerial Conference on the Beijing+25 Review. Kegiatan terakhir yang diikuti Qbukatabu adalah Konferensi Pemerintahan Asia dan Pasifik yang diadakan di kantor PBB di Bangkok yang juga adalah markas besar Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia dan Pasifik (UN ESCAP).  Kegiatan ini diadakan dari tanggal 27-29 November 2019.

Pada acara pembukaan konferensi, perwakilan Qbukatabu mendapat mandat untuk membacakan pernyataan Forum CSO. Selain Vica, ada Armida Alisjahbana (Sekjen UN ESCAP), Dubravka Simonovic (Pelapor Khusus Kekerasan terhadap Perempuan— KtP) dan Anita Bhatia (Direktur UN Women)

Anita Bhatia, Direktur UN Women juga menjelaskan ada 41 national review dari regional Asia Pasifik yang terkumpul; beberapa yang menjadi sorotan adalah kebijakan diskriminatif yang meningkat dan keterwakilan perempuan di Asia Pasifik yang rata-rata hanya 25%. Walaupun demikian, Anita menyampaikan bahwa akses pendidikan bagi anak perempuan meningkat. Anita juga mengingatkan bahwa di tahun 2020 akan banyak acara peringatan di PBB, termasuk UNSCR 1325 dan BPFA + 25.

Dalam pernyataan sikap masyarakat sipil, Vica menyampaikan kemarahan perempuan dan anak muda karena 25 thn setelah implementasi BPFA, fakta lapangan menunjukkan bahwa kesetaraan gender masih sangat jauh dan ruang pelibatan perempuan untuk pemajuan hak ternyata menyusut. Di akhir pertemuan ini, masyarakat sipil juga menyampaikan harapan agar perwakilan pemerintah Asia dan Pasifik dapat mengambil langkah berani dalam menerjemahkan komitmen Beijing dan 13 rekomendasi yang disampaikan menjadi tindakan yang secara fundamental akan mengubah hidup perempuan dan anak muda. Jika Tabumania ingin membaca secara lengkap dokumen pernyatan sikap, bisa lihat disini

Dalam pertemuan ini, perwakilan pemerintah Indonesia menyampaikan beberapa hal yang sudah dilakukan dalam rangka pemajuan hak perempuan dan anak muda serta beberapa hal yang harus ditingkatkan. Jika Tabumania ingin membaca secara lengkap dokumennya bisa lihat disini

Pertemuan ini secara khusus mendiskusikan empat (4) isu prioritas untuk peningkatan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di Asia dan Pasifik yang ditinjau ulang dalam Beijing+25. Adapun keempat isu tersebut yakni,

  1. Mewujudkan kesetaraan gender untuk perempuan dan anak perempuan di bidang tematik pengembangan inklusif, berbagi kemakmuran, dan pekerjaan yang layak
  2. Mewujudkan kesetaraan gender bagi perempuan dan anak perempuan di bidang tematik kebebasan dari kekerasan, stigma dan stereotip
  3. Mewujudkan kesetaraan gender bagi perempuan dan anak perempuan di bidang tematik akuntabilitas, partisipasi, dan lembaga yang responsif gender
  4. Mewujudkan kesetaraan gender bagi perempuan dan anak perempuan di bidang tematik konservasi lingkungan, aksi iklim, dan pembangunan ketahanan

Pertemuan ini dilakukan secara tertutup (terbatas untuk perwakilan pemerintah) dan secara terbuka (terbuka untuk semua peserta, media, dan observer). Dalam pertemuan ini, Qbukatabu dan masyarakat sipil lainnya berperan sebagai observer, berbeda dengan peran di dua kegiatan sebelumnya sebagai peserta aktif dalam diskusi dan perumusan hasil pertemuan. Walaupun demikian, dalam sesi diskusi terbuka tentang empat (4) isu prioritas serta dalam acara penutupan konferensi, perwakilan masyarakat sipil diberikan waktu 1 menit untuk menyampaikan intervensinya. Jika Tabumania mau tahu apa aja isi intervensinya, silahkan klik disini

Lewat artikel ini, Tabumania diajak untuk mengetahui bagaimana pemerintah Indonesia di level Internasional menyatakan komitmennya dalam pemenuhan hak perempuan. Nah, kalo di level lokal dan nasional, bagaimana sih Tabumania menilai komitmen pemerintah Indonesia untuk memajukan hak perempuan dengan segala keberagaman identitas & latar belakangnya…? Tulis di komentar bawah ya.

Salah satu penggagas dan tim manajemen di Qbukatabu. Sudah berpindah tempat tinggal, menghabiskan masa kecil di Bandung dan Jakarta. Suka bermain air di pantai, laut dan kolam renang. Senang makan dan memasak. Suka mengabadikan moment atau ekspresi wajah. Bisa diajak ngobrol melalui e-mail ke vklarasati@gmail.com

0 comments on “Qbukatabu Ikut Proses Review Beijing+25 di Bangkok

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: