Buka Layar

Bahasa cong bagi sekutu, buat apa?

Tabumania, pernah nggak mengetahui seorang cis laki-laki, cis perempuan dan cis heteroseksual  yang turut mendukung perjuangan komunitas LGBT untuk mendapatkan hak-haknya? Misalnya Anggun C. Sasmi, melalui akun Instagramnya pernah menuliskan “Gays, Lesbians, Bisexuals, Transgenders, I’m with you” dengan hastag #StopHomophobia,  #LoveIsLove , dan #May17

Nah, mereka yang melakukan tindakan tersebut biasa dikenal dengan sebutan allies/ally atau sekutu. Kita bisa mengetahui mereka sekutu dengan melihat keterlibatan mereka dalam aksi/tindakan melawan homophobia/biphobia/transphobia yaitu ketakutan terhadap orang-orang LGBT. Namun, ada juga cis laki-laki, cis perempuan dan cis heteroseksual yang tidak mau disebut sebagai sekutu orang-orang LGBT, walau melakukan tindakan yang mirip dengan teman-teman sekutu LGBT. Ada pertimbangan yang membuat mereka memutuskan hal tersebut, misalnya mereka tidak mau pekerjaan/popularitas mereka terancam apabila terlihat mendukung LGBT. Cara-cara yang mereka lakukan biasanya di belakang layar dan tidak disorot publik misalnya membantu dana untuk kegiatan LGBT apabila mereka hendak membuat pertemuan.

Sementara, teman-teman yang menjadi sekutu melakukan berbagai cara untuk menunjukkan bahwa dirinya memiliki keberpihakan dengan komunitas LGBT.  Mulai dari melakukan kampanye di media sosial, hadir dalam pertemuan komunitas LGBT, bahkan ikut turun ke jalan untuk aksi damai.

Hadirnya teman-teman sekutu dalam perjuangan komunitas LGBT membawa dinamika yang semakin beragam. Teman-teman sekutu hadir dengan berbagai latar belakang; ada yang sudah menikah, masih single, seorang ibu, seorang ayah, keluarga, sahabat, teman kerja, dan lain sebagainya. Kehadiran mereka turut memecahkan pelabelan bahwa LGBT itu menular, karena nyatanya teman-teman sekutu yang terus berinteraksi dengan komunitas LGBT tetap menjadi dirinya sendiri.

Tabumania, berbicara mengenai interaksi antara teman-teman sekutu dan komunitas LGBT, ada yang menarik nih, yaitu mengenai penyerapan bahasa binan/cong yang diadopsi oleh para sekutu. Selama ini bisa jadi kita mengetahui bahwa bahasa binan/cong lekat dengan komunitas LGBT dan dikenal melalui dunia entertainment/hiburan, tapi nyatanya teman-teman sekutu juga turut menggunakan dan memopulerkannya lho. Lalu, sejauh apa sih mereka memahami dan menggunakannya?

Seorang cis laki-laki bernama YD (26 tahun) yang sehari-hari tinggal di Bogor mengatakan pertama kali mengenal bahasa binan/cong itu dari kakaknya yang seorang transpuan. “Tahunya ya dari dia (kakak), nggak tahu juga itu namanya bahasa binan, tahunya ya bahasa-bahasa bencong.” Menurutnya bahasa cong lebih familiar di telinganya dibanding bahasa binan. Hal tersebut merujuk identitas kakaknya seorang transpuan yang kerap menggunakan bahasa tersebut dalam kesehariannya ketika berinteraksi dengan keluarga. Sejak tiga tahun terakhir YD mengaku cukup memahami bahasa cong meskipun lupa kapan persisnya mulai mengenal bahasa cong. “Sebelumnya kan nggak tinggal di rumah, ngekost, jadi nggak merhatiin. Pas tinggal di rumah terbiasa dengar dia ngomong pakai bahasa itu.”

Ketika ditanya bahasa binan/cong digunakan atau tidak oleh YD dalam kesehariannya, YD mengatakan  bahasa tersebut digunakan hanya ketika berinteraksi dengan kakaknya atau ketika teman-teman kakaknya berkunjung ke rumah. Ia menggunakan bahasa binan/cong karena menurutnya dia sudah memahami. “Kalau udah paham ya dipakai, kalau belum ya diam aja, kayak pakai Bahasa Inggris gitu.” Selama ini kosakata yang ia pahami masih terbatas seperti rempong, makarena, panasonic, duta (repot, makan, panas dan duit). Selain itu, lingkungan kerja YD di kantor juga tidak memahami bahasa tersebut jadi ia tidak terlalu menggunakannya.

Berbeda dengan pengalaman YD, sekutu lain yang akrab dipanggil Pheo menuturkan bahwa dia pertama kali mendengar bahasa binan/cong dari salon semasa kuliah. “Waktu itu cuma cyin-cyin itu aja”. Pheo, seorang feminis yang saat ini tinggal di Jakarta dan aktif di Purple Code Collective menuturkan bahwa ia mendengar bahasa binan/cong itu dari temannya yang gay “Karena juga sahabat gw sejak SMP gay, dan sahabat gw yang lain kerja di salon. Jadi udah akrab banget sama bahasa cong, begitu.”

Pheo menambahkan bahasa binan/cong yang semakin dikenal sebagai bahasa populer di sebagian masyarakat umum justru semakin bagus dan tidak masalah. Menurutnya sebuah bahasa itu berkembang maka penggunanya juga turut berkembang. “Aku sih melihatnya juga banyak teman-teman cis aku baik dari kalangan feminis dan yang bukan  (termasuk yang ga terlalu akrab sama komunitas) banyak juga yang pakai bahasa cong.” Pheo mengaku juga merasa nyaman menggunakan bahasa binan/cong sebagai bahasa yang umum digunakan sehari-hari. Ia sering menggunakan  kata-kata seperti tinta, perez, utila, mekong (tidak, bohong, hutang, makan) dan masih banyak kosakata lain yang ia pahami. Menurutnya  bahasa binan/cong masih bisa digunakan asalkan sesuai dengan situasi dan kondisi. Salah satunya, tidak menggunakan bahasa binan/cong dengan orang yang baru kenal karena bisa jadi orang tersebut tidak memahami/justru kurang nyaman.

Sebagai seorang sekutu bagi komunitas LGBT, ketika ditanya tentang penggunaan bahasa binan/cong sebagai bentuk rasa solidaritas atau agar diterima di dalam komunitas LGBT, menurut Pheo bahasa binan/cong merupakan bahasa yang sudah jadi kebiasaannya sehari-hari dan sudah familiar dengan istilah-istilah yang digunakan. Ketika berbicara menggunakan bahasa binan/cong bersama komunitas LGBT membuat interaksi lebih enak (luwes) karena sudah sama-sama memahami sehingga bisa saling memberikan tanggapan.

Tabumania, bahasa binan/cong memang sudah hadir menjadi bagian cara masyarakat Indonesia untuk berkomunikasi sehari-hari. Pengalaman mengenal dan menggunakan bahasa binan/cong yang dimiliki para sekutu ini pun berbeda-beda. Dari kedua kisah di atas, kita bisa mengetahui bahwa dalam berbahasa juga perlu mempertimbangkan situasi dan kondisi, misalnya kepada siapa kita berkomunikasi dan di mana kita seharusnya menggunakan bahasa tersebut.

Bahkan dalam penggunaannya, kita juga bisa melihat bahwa ada perbedaan penggunaan bahasa binan/cong oleh para sekutu dan dari selebriti. Para selebriti menggunakan bahasa binan/cong sebagai bahasa yang lucu-lucuan, sementara para sekutu menggunakannya sebagai bentuk kebersamaan dan persaudaraan. Para sekutu mempelajari bahasa tersebut langsung dari saudara dan sahabat yang LGBT, dan mereka memastikan hadir dan ada ketika diperlukan. Oleh karenanya, kita juga bisa membedakan bahwa orang yang memahami dan menggunakan bahasa binan/cong tidak semua lantas dapat disebut sebagai seorang sekutu, kita perlu menanyakan lagi makna bahasa binan/cong tersebut kepada yang bersangkutan.

About Ino Shean

Ino Shean, bukan nama yang sebenarnya. Menurut weton terlahir sebagai orang yang ambisius, urakan tapi mempesona dan penuh kasih sayang. Aktif dalam gerakan, komunitas dan organisasi di isu seksualitas sejak usia 18 tahun. Suka membaca novel, olahraga dan masih bercita-cita menjadi vegetarian. Pecinta film Marvel and DC! Dapat dihubungi lewat IG @ino_shean

0 comments on “Bahasa cong bagi sekutu, buat apa?

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: