Tabumania, kuatnya heteronormativitas di masyarakat menyebabkan hanya dua seks yang diakui yaitu penis untuk laki-laki dan vagina untuk perempuan. Begitu juga dengan orientasi seksual yang hanya mengakui hubungan heteroseksual (laki-laki dan perempuan). Lalu ketika seseorang mengidentifikasikan maupun mengekspresikan jendernya tidak sesuai dengan norma masyarakat akan dianggap menyimpang. Keberagaman seksualitas dan berbagai permasalahannya ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Konferensi Feminis Global yang berlangsung di Cape Town, Afrika Selatan pada 6-9 Juli 2019 lalu membicarakan keberagaman seksualitas dan menjadi ruang untuk bertemu bagi para peserta dari berbagai negara (dari Benua Amerika, Eropa, Afrika, dan Asia), termasuk Indonesia.
Konferensi tersebut diselenggarakan 22 aktivis perempuan dari Vietnam, Kyrgystan, Nigeria, Kamerun, Kenya, El Salvador, Meksiko, USA, Swiss, Fiji, Pakistan, Armenia, Belanda, Bahamas, New Zealand, Tunisia, Serbia, Crea, dan Libanon. Konferensi ini bertujuan memberikan ruang aman bagi perempuan dengan beragam identitas seksual, menyediakan forum untuk berjejaring lintas gerakan dan bidang, meningkatkan keterwakilan dan kepemimpinan perempuan dalam gerakan feminis dan perempuan. Konferensi tersebut mengangkat tentang Lesbian Biseksual dan Queer (LBQ) sebagai bagian dari gerakan feminis dan perempuan
Yulia Dwi Andriyanti, mewakili Qbukatabu, menuturkan bahwa ia bersama Rainbow dari Talita Kum dan Bintang dari LeTo berbagi pengetahuan dan pengalaman melalui panel yang direncanakan bersama pada konferensi tersebut. Sebagai satu-satunya panel dari dan bertema khusus tentang Indonesia, ketiganya menjelaskan makna yang beragam tentang identitas seksual, identitas jender serta orientasi seksual di Indonesia, baik dari kesejarahan dan kondisi di lokal maupun nasional.
Dalam konferensi tersebut, Yulia menguraikan cara Qbukatabu melihat situasi yang dihadapi individu maupun kelompok yang bergerak pada hak seksual termasuk hak Lesbian Biseksual dan Transgender Laki-Laki (LBT) Sebagai media yang membangun kesadaran kritis tentang hak-hak seksual di Indonesia, salah satu kerja utama Qbukatabu adalah memproduksi pengetahuan tentang seksualitas berdasarkan perspektif feminis dan queer. Qbukatabu memublikasikan pengetahuan tersebut melalui Qbukabu.org maupun medium lain, seperti buku mewarnai Tutur Feminis: Meluruhkan yang Biner yang diterbitkan pada Maret 2019. Ia menceritakan temuan-temuan Qbukatabu selama menyusun buku tersebut. “Melalui buku mewarnai Tutur Feminis, Meluruhkan yang Biner, Qbukatabu menghadirkan perspektif sekutu. Mendokumentasikan pengetahuan dan pengalaman lima perempuan cis dengan berbagai latar belakang; penulis, ulama, fasilitator dalam melihat situasi pemenuhan hak dan keadilan LBT di Indonesia, terutama sesudah 2016.” kata Yulia. Dalam kesempatan tersebut, ia juga menjelaskan temuan penelitiannya tentang sejarah LBT sebagai sebuah identitas kolektif yang tak lepas dari sejarah gerakan perempuan pada 1998. Ternyata, identitas LBT juga ditemukan di negara lainnya, seperti Fiji dan India.
Sementara itu, Rainbow mewakili Talita Kum, sebuah kolektif perempuan muda dan transgender yang melakukan penelitian tentang seksualitas dan pendampingan kasus kekerasan berbasis gender. Ia menuturkan temuan Talita Kum mengenai penyebutan istilah identitas seksual dan orientasi seksual sesuai bahasa daerah, terutama di Jawa Tengah. Begitu pula Bintang dari LeTo, kolektif belajar bersama tentang HAM, identitas jender, relasi sehat dan orientasi seksual, identitas gender, ekspresi gender dan karakteristik seks (SOGIESC) serta memberikan pendampingan dan penguatan terhadap kawan-kawan LBT. Bintang juga menjelaskan penyebutan istilah orientasi dan identitas seksual maupun kesulitan yang dihadapi LBT di daerah.
Hal Menarik dalam Konferensi
Ketiganya tidak hanya menjadi pembicara dalam panel diskusi tetapi juga menghadiri panel-panel lain yang tersedia. Konferensi tersebut hadir dengan tiga tema, yaitu memimpin, menyembuhkan, mentransformasikan (Leading – Healing – Transforming). Selama empat hari kegiatan, para peserta konferensi bisa memilih panel diskusi dengan tema-tema tersebut. Selain itu, para peserta konferensi juga bisa memanfaatkan fasilitas merawat diri (well-being) yang disediakan.
Menurut Yulia, hal menarik dalam konferensi ini adalah ketiga tema yang disediakan. Ketiga tema tersebut menjadi pengingat bagi gerakan sosial agar memasukkan perspektif feminis di dalamnya tanpa meninggalkan ketiga unsur. “Kalau mau berorganisasi dengan perspektif feminis tidak bisa meninggalkan ketiga unsur ini. Memimpin ya harus punya sisi healing dan transforming. Ketika bicara tentang transforming, misalnya, penting untuk saling berdiskusi dan membangun perdebatan dengan sesama kawan di organisasi. Tak jarang karena perasaaan sudah satu organisasi, maka ngga ada lagi perdebatan atau kritik. Sementara healing, seringkali kita calling out (menuntut ke luar) tetapi kita lupa untuk calling in (melihat ke dalam diri).” jelas Yulia.
Tema healing juga menjadi hal menarik bagi Rainbow. Menurutnya, tema tersebut mengingatkan para aktivis organisasi untuk bisa memperhatikan dan mencintai diri sendiri. Selama ini kesibukan dalam mengadvokasi terkadang membuat para aktivis, baik pemimpin maupun anggota organisasi, tidak mampu melihat dan merasakan kerentanan dan kegelisahan dalam diri. “Sebagai pemimpin organisasi atau ketika berorganisasi dengan visibilitas tinggi pasti bikin lelah. Adanya ancaman atau tekanan, tanggung jawab, kegagalan dalam mengadvokasi, sering melihat kekerasan berbasis SOGIESC, dll menjadi semacam penghalang untuk melihat diri sendiri. Adanya panel ini membantu dan mengingatkan untuk memperhatikan diri. Apalagi ada tips-tips well-being yang dibagikan. Salah satunya menulis.” kata Rainbow. Ia pun ingin membagikan informasi well-being bagi kawan-kawan Talita Kum. Meskipun ia belum mengetahui cocok atau tidaknya metode healing yang dibagikan bagi mereka karena setiap orang memiliki metode masing-masing.
Bagi Yulia, kegiatan ini tidak hanya sekadar memperoleh pengetahuan baru maupun berjejaring, tetapi juga berkaca dari pengalaman orang lain. Berkaca dari dari pengalaman berorganisasi peserta lain mencakup ketiga unsur (leading, healing, transforming) karena setiap peserta memiliki pengalaman dan permasalahan di organisasi atau kolektif masing-masing. Selain itu, keragaman seksualitas juga mencakup tradisi. “Misalnya, terlihat saat pembukaan konferensi. Ada pertunjukan dari traditional healer dengan beragam identitas seksual. Lalu pengalaman yang dibagikan peserta dari negara lain bisa saja sangat berbeda dan kita justru belum mengetahui sebelumnya atau melupakannya.” kata Yulia.
Sementara bagi Bintang, selama mengikuti konferensi ia memperoleh informasi-informasi baru yang semakin membuatnya bersemangat dalam berorganisasi, termasuk membagikan pengetahuan tersebut bagi kawan-kawan LeTo. “Nantinya aku juga pengin menambah ruang-ruang diskusi bagi kawan-kawan LeTo, khususnya tentang orientasi seksual dan identitas seksual, termasuk ruang diskusi tentang biseksual yang jarang ditemui.” tambahnya.
Baik Yulia, Rainbow dan Bintang sepakat, mengikuti konferensi tersebut menjadi ruang untuk berefleksi, baik bagi sendiri maupun dalam berorganisasi. Konferensi tersebut mengingatkan mereka tentang pentingnya memasukkan unsur-unsur memimpin, menyembuhkan, mentransformasikan dalam gerakan sosial serta organisasi atau kolektif masing-masing. Bertemu banyak peserta konferensi dari berbagai negara memberikan pengetahuan dan pengalaman baru, terutama dalam melihat keberagaman dalam seksualitas.
0 comments on “Catatan Indonesia di Konferensi Feminis Global”