“Waria yang Ditangkap Satpol PP Banda Aceh, Jalani Pembinaan”
“Pesta Ulang Tahun Diduga Komunitas LGBT Dibubarkan”
“Berpakaian Seksi di Malam Hari, 12 Wanita Terjaring Razia”
Tabumania, berbagai judul artikel diatas diterbitkan media mainstream berbasis online. Sekilas, nampak tak ada yang keliru dari judul tersebut, selain konteks narasi yang sengaja digunakan untuk mendulang minat pembaca. Di Indonesia, penangkapan atau pembubaran yang dilakukan aparat penegak hukum kepada komunitas yang diduga LGBT seolah dianggap wajar dan dibenarkan. Kebanyakan masyarakat tidak memandang hal itu sebagai kejahatan, justru sebaliknya, dianggap sebagai langkah korektif untuk mengembalikan tatanan sosial dari yang dinilai amoral menjadi bermoral. Begitupun dengan perempuan. Moralitas ditentukan dari cara seseorang berpakaian.
Dari buku Politics of Shari’a Law yang ditulis Dr. Michael Buehler, sejak tahun 1998, Indonesia mengalami peningkatan kebijakan yang diskriminatif yaitu ada sebanyak 443 peraturan daerah (perda) syariah yang diterapkan di Indonesia. Politisi mengambil keuntungan dalam keterlibatan pembuatan perda syariah tersebut sebagai politik pencitraan mengenai sosok politisi yang religius dan mengedepankan moralitas. Alih-alih membuat kebijakan dan memperbaiki infrastruktur yang bisa
melindungi semua warganya, politisi justru membuat aturan yang melarang dan membatasi perempuan serta kelompok minoritas lain mendapatkan penikmatan hak secara universal.
Komnas Perempuan mencatat ada 421 kebijakan diskriminatif terhadap perempuan yang terbit, dan setidaknya terdapat 22 perda di berbagai daerah yang secara eksplisit mencantumkan istilah homoseksual dan waria dengan pembatasan hak mereka sebagai warga negara. Contohnya, Perda Kota Pariaman, Sumatera Barat melarang ‘perilaku LGBT dan waria’ dalam pasal 24 yang berbunyi: Setiap orang dilarang atau berlaku sebagai waria yang melakukan kegiatan mengganggu ketentraman dan ketertiban umum. Dan pasal 25 yang berbunyi: Setiap orang laki-laki dan perempuan dilarang melakukan perbuatan asusila dengan sesama jenis atau melakukan perbuatan yang dimaksud dengan LGBT. Kepanikan atas nama menjaga moralitas inilah yang memicu lahirnya perda-perda yang semakin diskriminatif terhadap LGBT. Dengan maraknya perda diskriminatif yang ditujukan kepada kelompok tertentu, bisa melahirkan persekusi dan pelaksanaan hukum yang semena-mena.
Lalu, apa yang sebenarnya disebut dengan kebijakan diskriminatif itu? Berdasarkan hasil penelitian Outright International, kebijakan bersifat diskriminatif jika proses perumusan, isi dan pelaksanaan kebijakan berakibat pada pembatasan, pembedaan atau pengabaian hak. Ketiga hal tersebut dapat dipahami sebagai berikut (Komnas Perempuan, 2015) :
1. Proses perumusan dapat dilihat dari alasan kebijakan tersebut dibuat serta kesempatan yang diberikan bagi seluruh lapisan masyarakat untuk menuangkan aspirasinya. Sebuah kebijakan disebut diskriminatif jika sejak perumusannya sudah membedakan mana suara masyarakat yang akan didengar dan diabaikan.
2. Isi kebijakan terdiri dari maksud dan tujuan, definisi dan cakupan, serta keseluruhan muatan kebijakan. Kebijakan menjadi diskriminatif jika isinya tidak memberikan pengakuan hak dan kesempatan yang sama serta semakin menghambat kelompok tertentu untuk menikmati haknya dengan meneguhkan stigma tertentu.
3. Pelaksanaan kebijakan berupa manfaat yang dirasakan setiap anggota masyarakat serta proses dan prosedur pengawasan pelaksanaan kebijakan. Kebijakan menjadi diskriminatif jika kebijakan tersebut melanggar prinsip keadilan serta proses pengawasan kebijakan tidak memastikan jaminan kesamaan setiap orang dihadapan hukum dan pemerintahan serta jaminan pada peradilan yang adil.
UU Pemerintahan Daerah No. 23 Tahun 2014 yang pada pasal 251-2e juga melarang hadirnya kebijakan diskriminatif dengan tegas menyebutkan: “Peraturan daerah dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan, kepentingan umum tidak diizinkan untuk melakukan diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antar-golongan, dan gender.” Namun, orientasi seksual dan ekspresi gender tidak disebutkan secara langsung sehingga dapat menjadi alasan untuk mendiskriminasi.
Kehadiran kebijakan diskriminatif tentu melawan ruang demokrasi karena tidak memberikan kesetaraan dan kesempatan yang sama bagi seluruh warga negara. Perempuan dan minoritas lainnya menjadi subjek yang dirugikan dari aturan-aturan yang diserukan dan diciptakan oleh kelompok fundamentalis dan patriarkal. Kelompok tersebut menggunakan tameng tradisi, budaya dan agama untuk memberikan kendali pada perempuan dan minoritas lainnya. Hal ini terwujud melalui pembatasan, pembedaan atau pengabaian hak mereka, yakni kriminalisasi terhadap perempuan dan kelompok minoritas seksual; kontrol tubuh perempuan terutama terkait busana serta ekspresi gender seseorang; pemisahan ruang
publik dengan alasan moralitas, dan pembatasan ruang dan waktu gerak bagi perempuan. Apa saja contoh-contoh kebijakan yang mendiskriminasi perempuan dan minoritas lainnya?
Di Aceh, berlaku Qanun Jinayat No. 7 Tahun 2014, dimana Pasal 52 (1) yang mensyaratkan korban perkosaan untuk memberikan bukti saat melapor. Padahal, dalam kasus perkosaan, korban mengalami dampak psikologis dan bukan situasi yang berpihak pada korban jika dalam proses hukum korban harus menghadirkan saksi. Perkosaan juga masih terbatas pada penetrasi antara penis dan vagina sehingga menimbulkan ketidakberpihakan kepada individu LGBT yang menjadi korban perkosaan. Pasal tersebut jelas tidak memberikan perlindungan bagi korban. Sebaliknya, dalam proses pembuktian pelaku justru bisa bebas dari jerat hukum hanya dengan melakukan sumpah.
Selanjutnya, Pasal 63 ayat 1 Qanun Jinayat digunakan untuk menjerat LGBT karena menyebutkan setiap orang yang dengan sengaja melakukan liwath diancam dengan hukuman paling banyak 100 kali cambuk atau denda paling banyak 1.000 gram emas murni atau penjara paling lama 100 bulan.
Di Jakarta, berlaku Perda No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Pada awalnya, Perda ini lahir untuk menciptakan Jakarta yang teratur, aman, nyaman, bersih dan indah. Namun, penafsiran atas Pasal 42 ayat 1 dan 2 yang berbunyi: “Setiap orang dilarang bertingkah laku dan/atau berbuat asusila di jalan,
jalur hijau, taman atau dan tempat-tempat umum lainnya”, justru melahirkan diskriminasi dan kriminalisasi terhadap waria atas dugaan bekerja sebagai pekerja seks. Dampak dari Perda tersebut, secara luas juga menyasar individu-individu lain dari kelompok menengah ke bawah, kerentanan perempuan saat berjualan di jalan juga berpotensi dianggap menganggu ketertiban umum. Perda ini pada akhirnya menimbulkan bias pada gender dan kelas karena membatasi seseorang untuk bekerja.
Tabumania, dengan banyaknya kebijakan diskriminatif tersebut, mungkin saat membacanya kita terasa sesak nafas, ya kan? Tapi, itulah realita di bumi pertiwi Indonesia kita tercinta ini. Kita jangan berputus asa, karena masih ada kebijakan lain yang bisa kita gunakan bila diperlukan. Salah satu contohnya, Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Ru mah Tangga (UU PKDRT) No. 23 Tahun 2004.
Dibandingkan dengan KUHP, UU PKDRT ini jauh lebih progresif lho! Melalui UU PKDRT ini, ada muatan yang meliputi (1) penghargaan pada hak asasi manusia; (2) keadilan dan kesetaraan gender; (3) asas non-diskriminasi dan (4) perlindungan terhadap korban. Undang-Undang ini tidak hanya digunakan untuk suami istri yang sudah menikah saja, tetapi bisa juga digunakan bagi teman-teman LGBT yang dipaksa menikah oleh keluarganya.
Nah, dari ulasan ini, semoga membawa kita pada kesadaran bahwa yang harus diperbanyak adalah kebijakan yang semakin menekankan pada akses dan kesetaraan untuk semua, bukan padaakses yang membatasi dan membedakan. Makanya, perlu campur tangan dari seluruh lapisan masyarakat untuk
mencabut kebijakan yang diskriminatif agar tidak semakin tumbuh subur di Indonesia.
Tabumania bisa melibatkan diri dengan turut menandatangani petisi atau menggalang dukungan untuk mencabut kebijakan yang diskriminatif, melakukan kampanye, kajian analisa hukum dan kebijakan di Indonesia, bahkan turut terlibat dalam advokasi bersama dengan organisasi atau komunitas yang fokus pada isu tersebut. Kuy, kita sebagai warga negara juga bisa menjadi penggerak untuk menciptakan Indonesia yang ramah ragam gender!
Pingback: Kebijakan di Bumi Pertiwi, Bagaimana situasinya Kini ? – UNIVERSITAS KAKI ABU (Unikab)