Ada banyak nama untuk menyebut orang-orang yang mendedikasikan diri dalam menginisiasi, menggerakkan dan merawat keberlanjutan perjuangan melawan berbagai struktur kekuasaan yang meneguhkan ketidakadilan dan menjauhkan hidup dari nilai-nilai kemanusiaan. Mereka adalah aktivis, pekerja sosial, pendamping korban, penyintas kekerasan, fasilitator sebaya, penggerak komunitas, saksi dan pelapor pelanggaran hak asasi manusia, seniman, pemikir, pengajar, penulis, pembuat kebijakan, dan masih banyak lagi.
Dalam mewujudkan visi tentang dunia yang setara, mereka tak luput dari berbagai intimidasi, ancaman, serangan dan persekusi karena siapa mereka. Seringkali, perempuan dan transgender mengalami kerentanan yang lebih besar terhadap kekerasan karena sistem yang memposisikan identitas gender mereka sebagai liyan. Mereka juga mengalami kerentanan yang berlapis karena kerja yang mereka lakukan untuk mewujudkan pemenuhan hak-hak seksual. Bagaimana pengalaman keseharian mereka dalam menghadapi hal ini? Apa yang jadi pergulatan mereka dalam memperjuangkan hak bagi diri sendiri dan masyarakat? Apa yang dirasakan mereka? Bagaimana mereka menyampaikan perasaan mereka?
Lagu menjadi salah satu cara untuk menyampaikan perasaan. Misalnya, “Salam Harapan”, sebuah lagu mengenai doa bagi para tahanan politik yang tengah berulang tahun di Penjara Bukit Duri. Lagu karya Ibu Zubaedah Nungtjik AR dan Ibu Murtiningsih, dua orang tokoh Gerwani, mengajak kita bersenandung sembari kembali pada ingatan yang sudah terlalu lama dibisukan. Mengenai pentingnya merawat pengharapan meskipun berada ditengah rezim yang menindas:
“Bersama terbitnya, matahari pagi. Mekar merah, mekarlah melati
Salam harapan padamu kawan, semoga kau tetap sehat sentosa
Bagai gunung karang di tengah lautan, tetap tegar didera gelombang
Laju lah laju, perahu kita laju
Pasti kan mencapai pantai cita”
Begitupun dengan perempuan dan transgender yang bergerak dalam perjuangan hak-hak seksual di Indonesia. Qbukatabu ingin mengarsipkan berbagai perasaan mereka lewat catatan harian, puisi, lagu maupun gambar yang mereka miliki. Lalu membagikannya untuk Tabumania. Agar kita tak berhenti merawat harapan bagi kehidupan yang lebih baik. Dan ini berarti juga mengenali, menyadari dan mengakui berbagai emosi yang jadi bagian dari perjalanan sehari-sehari mereka ditengah struktur kuasa hetero-patriarki.
0 comments on “Koleksi Arsip Emosi #2: Menyelami Perjalanan Mereka yang Melawan”