Tabumania, apa yang dibayangkan saat membaca atau mendengarkata relasi romantis? Apakah membayangkan seperti Rangga dan Cinta yang saling menulis puisi untuk mengungkapkan isi hati, Dilan dan Milea yang naik motor atau makan berdua, atau tokoh-tokoh dalam film atau drama Korea lainnya? Atau mungkin justru bertanya-tanya mengapa orang bisa jatuh cinta?
Psikolog klinis, Inez Kristanti (Webinar iBunda.id, 2018), mengatakan bahwa seseorang memiliki ketertarikan terhadap orang lain untuk membina hubungan yang lebih intim. Tubuh memiliki reaksi kimia yang memungkinkan seseorang untuk jatuh cinta dan tertarik kepada orang lain. Mengutip dari merdeka.com (2015), disebutkan bahwa perasaan cinta merupakan kumpulan reaksi kimia pada manusia yang mendorong munculnya tindakan tertentu ketika jatuh cinta. Terdapat reaksi yang disebabkan dopamin, testosteron, oxytocin, norepinerhine dan phenlethylamine sehingga muncul perasaan berbeda ketika jatuh cinta. Perasaan tersebut bisa berupa rasa senang berlebihan, rasa nyaman saat dekat dengan orang yang disukai dan keinginan bertemu terus dengan orang tersebut. Gabungan reaksi tersebut dikatakan membuat orang mengidamkan cinta dan merindukan orang yang dicintainya.
Josep A. DeVito dari Hunter College of the City, University of New York mengatakan bahwa orang yang jatuh cinta akan menunjukkan cara berkomunikasi tertentu. Misalnya, saling berbagi emosi, pengalaman dan berbicara dengan lembut atau mesra ditambah ucapan yang hanya ditujukan untuk satu sama lain. Orang jatuh cinta menciptakan atau menggunakan panggilan khusus (pet names), menunjukkan tingkah laku yang menandakan mereka memiliki hubungan spesial (Hopper, Knapp, & Scott dalam DeVito, 2004 : 290).
Nah, berdasarkan teori tentang cinta, Robert J. Stenberg mengatakan ada tiga komponen yang diperlukan dalam cinta. Dikutip dari kumparan.com (2018), ahli psikologi keturunan Amerika ini menjelaskan tiga komponen tersebut, antara lain intimacy (kedekatan) yang berarti keinginan mengenal lebih dekat atau adanya rasa terikat. Kemudian passion (hasrat) berhubungan dengan dorongan untuk bersama karena ketertarikan secara fisik atau seksual. Sedangkan commitment (komitmen) ini merujuk pada keputusan untuk menjaga relasi atau mencintai pasangan dalam waktu lama bahkan selamanya. Komitmen dikatakan sebagai puncak dari tiga komponen cinta tersebut.
Dalam relasi romantis yang sehat, ketiga komponen ini diperlukan. Saat berada dalam relasi sehat, maka masing-masing akan merasa nyaman, bisa tumbuh bersama dan ketika ada permasalahan bisa dibicarakan dengan aman dan nyaman. Hanya saja, menurut Inez Kristanti (Webinar iBunda.id, 2018), ketiga komponen tersebut tidak akan selamanya stabil. Ada waktu di mana di antara ketiga komponen tersebut akan menurun.Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk menyeimbangkan agar ketiga komponen tersebut terus ada.
Lalu bagaimana mengenali adanya relasi tidak sehat? Dalam relasi tidak sehat, ada ketidakbebasan. Misalnya, dalam mengungkapkan pendapat pun merasa takut. Bisa juga melakukan hal-hal yang sebelumnya tidak dilakukan, seperti menjauh dari teman, sahabat atau bahkan keluarga, karena dilarang. Hubungan yang ada bukan membangun tetapi justru menjatuhkan.
Dalam relasi tidak sehat terdapat ketimpangan relasi kuasa, peran dominan dan ketergantungan. Salah satu pasangan menciptakan rasa takut terhadap pihak yang ingin didominasi. Ketika muncul rasa takut maka akan lebih mudah mengontrol atau menguasai. Misalnya, seseorang menginginkan pasangannya untuk tidak berhubungan dengan teman-temannya karena ia merasa cemburu. Jika hal tersebut dilanggar maka akan membuatnya marah, berkata-kata kasar atau justru mendiamkannya. Karena perasaan takut disakiti, diputus atau keinginan untuk meredam konflik yang kemudian larangan tersebut tetap dilakukan. Ini berlangsung terus-menerus. Akhirnya, pelaku akan mendominasi segala aspek dalam relasi (zine shefemelle, 2017). Padahal, cinta bukan untuk mengontrol pasangan dan membuatnya tertekan, tersakiti serta terkekang. Seperti kata seorang ahli psikologi, Erich Fromm, bahwa cinta yang ada selama ini selalu berbalut erat dengan kuasa dan pengaturan yang mengaburkan definisi cinta. Cinta menjadi tuntutan yang apabila tidak dipenuhi maka akan berujung pada kekerasan (Fromm dalam Rohmah dan Legowo, 2014).
Ketika sudah ada dalam relasi yang tidak sehat, memang tidak mudah untuk menjauh atau melepaskan diri. Seringkali butuh keberanian untuk benar-benar lepas dari relasi tidak sehat. Ada banyak penyebab yang membuat sulit untuk lepas, diantaranya :
1. Memaklumi kekerasan yang terjadi dalam relasi. Hal ini bisa dipengaruhi peristiwa masa lalu yang belum selesai. Misalnya, sejak kecil seseorang sering melihat tindak kekerasan yang terjadi di rumah. Hal tersebut membuat seseorang percaya bahwa kekerasan wajar dilakukan dalam relasi sehingga tanpa sadar memaklumi tindakan kekerasan yang dilakukan pasangan, bahkan menganggapnya hal biasa.
2. Merasa tidak percaya diri dan rendah diri sehingga membuat seseorang khawatir akan ditinggalkan pasangannya dan merasa tidak akan ada lagi yang mau berelasi dengannya.
3. Tidak bisa membedakan perilaku romantis dan posesif. Menerima perhatian dari pasangan, seperti menanyakan “lagi di mana, sedang apa, sudah makan atau belum” mungkin akan terasa romantis. Namun ketika hal tersebut dilakukan terus menerus bahkan ketika tidak segera dibalas kemudian pasangan menjadi curiga, marah bahkan harus mengirimkan foto maupun lokasi saat itu untuk membuktikannya tentu berarti posesif.
4. Telah melakukan hubungan seksual kemudian merasa dianggap tidak berharga, terutama dengan label negatif di masyarakat bahwa perempuan yang melakukan hubungan seksual sebelum menikah dianggap nakal dan murahan. Alhasil, tidak jarang membuat seseorang merasa tidak berharga, enggan atau takut ketika harus meninggalkan relasi tidak sehat.
5. Telanjur tergantung secara finansial sehingga meninggalkan pasangan akan memengaruhi kondisi perekomiannya dan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Lalu bagaimana cara untuk merawat relasi yang sehat? Mengutip dari zine shefemelle (2017), setidaknya ada lima hal yang bisa dilakukan diantaranya, yaitu :
1. Memperhatikan prinsip kesetaraan dalam relasi. Tidak ada salah satu pasangan yang merasa lebih unggul. Keduanya memiliki hak yang sama.
2. Memasukkan kehangatan dan kasih sayang dalam momen-momen romantis tertentu. Misalnya, saat waktu-waktu istimewa (ulang tahun, valentine, dll) memberikan kejutan kepada pasangan.
3. Menikmati waktu bersama sekaligus menyediakan waktu untuk diri sendiri. Membuat kesepakatan dengan pasangan kapan waktu bersama dan kapan waktu untuk masing-masing (me time).
4. Saling membuat kesepakatan bagaimana cara menyelesaikan masalah ketika terdapat konflik. Misalnya, mengomunikasikan apa yang harus dilakukan saat terjadi konflik; jika salah satu emosional, maka yang lainnya memberikan jeda waktu untuk menenangkan diri.
5. Saling percaya satu sama lain dan komunikasi yang terjalin merupakan kunci untuk membangun relasi yang sehat dan setara. Saat salah satu mulai meragukan cinta dari pasangan bisa mendorong munculnya sikap posesif, curiga, dan mengontrol.
Tabumania, saat melihat adanya relasi tidak sehat memang lebih mudah untuk menghakimi. Bahkan bisa jadi sudah pernah menjadi pelaku atau korban namun tidak menyadarinya. Cinta memang memberikan perasaan nyaman karena membuat kita merasa tidak sendirian. Ketika relasi yang terjalin menjadi relasi tidak sehat, maka untuk memutuskannya pun butuh keberanian. Berani lepas dari relasi yang tidak sehat kemudian memulai relasi baru yang sehat tidak hanya baik untuk diri sendiri tetapi juga orang-orang di sekeliling, seperti keluarga, teman dan sahabat. Jadi, yuk berelasi romantis yang sehat!
0 comments on “Relasi Sehat : Cinta Tidak Posesif”