Tabumania, menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) wakil rakyat maupun presiden dan wakil presiden untuk masa jabatan 2019 – 2024, berbagai isu yang beredar di media massa maupun media sosial semakin memanas. Masing-masing pendukung calon presiden dan wakil presiden saling berperang komentar di media sosial; misalnya dengan penggunaan tagar #2019gantipresiden, #jokowilagi, #emakemak #ibubangsa. Upaya-upaya tersebut adalah bagian dari kampanye. Mengutip Siti Fatimah dari Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Diponegoro, kampanye politik merupakan upaya terorganisir untuk memengaruhi proses pengambilan keputusan dalam kelompok tertentu. Dalam demokrasi, kampanye politik sering mengacu pada kampanye pemilu, di mana calon atau kandidat pemimpin dipilih (Fatimah, 2018).
Kampanye telah dimulai sejak 23 September 2018 lalu dan akan berakhir pada 13 April 2019. Ajang kampanye diselenggarakan agar masyarakat bisa memilih pasangan presiden dan wakil presiden, 575 anggota DPR RI, 136 anggota DPD, 2.207 anggota DPR Provinsi dan 17.610 anggota DPRD Kota/Kabupaten. Terdapat 16 partai yang mengajukan calon dan khusus di Aceh ditambah empat partai daerah (bbc.com, 2018). Lalu bagaimana seharusnya kampanye tersebut berjalan?
Komisi Pemilihan Umum (KPU) melalui Surat Keputusan no. 35 tahun 2004 telah mengatur bentuk atau jenis kampanye, diantaranya: debat publik atau debat terbuka antar calon, kegiatan lain yang tidak melanggar peraturan perundang-undangan, pemasangan alat peraga di tempat umum, penyebaran bahan kampanye kepada umum, penyebaran melalui media cetak dan media elektronik, penyiaran melalui radio dan televisi, pertemuan terbatas, rapat umum, dan tatap muka serta dialog.
Lalu, Undang Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 menyebutkan aturan main yang diberlakukan selama Pemilu 2019, diantaranya:
1. Dilarang beriklan kampanye di media massa sebelum massa kampanye
2. Iklan pada masa kampanye hanya boleh selama 21 hari yang berakhir dengan dimulainya masa tenang. Maksudnya, peserta pemilu boleh berkampanye di media massa baik cetak, elektronik maupun online selama 21 hari sebelum masa tenang, yaitu pada 24 Maret-13 April 2019. Masa tenang pemilu akan berlangsung pada tanggal 14-16 April 2019 dan pemungutan suara tanggal 17 April 2019.
3. Dilarang memasang bendera parpol dan nomor urut peserta pemilu selain di tempat-tempat yang sudah diatur
4. Dilarang memasang gambar pejabat negara termasuk presiden dan wakil presiden (kecuali ketua umum partai) pada alat peraga
5. Media massa wajib memberikan kesempatan kepada peserta pemilu dalam pemuatan dan penayangan iklan kampanye
6. Dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan
7. Dilarang membawa atau menggunakan tanda gambar dan atribut selain gambar atau atribut peserta pemilu
8. Dilarang melakukan pertemuan tertutup tanpa melapor ke KPU dan Bawaslu
Kampanye politik tak luput dari mengambil hati para pemilih perempuan. Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2019 memperkirakan terdapat 92.929.422 orang atau 50,6% pemilihperempuan (sindonews, 2018). Tidak kaget jika masing-masing kandidat capres dan cawapres membutuhkan dukungan perempuan melalui sebutan ‘emak-emak’ hingga ‘ibu bangsa’. Namun, kesan mendulang suara tanpa melibatkan perempuan dalam isu-isu strategis juga tampak. Direktur Jurnal Perempuan, Atnike Nova Sigiro, menjelaskan bahwa pelibatan perempuan dalam politik masih belum optimal utamanya berkaitan dengan isu-isu perempuan misalnya soal pengesahan UU Penghapusan Kekerasan Seksual, atau RKUHP, khususnya tentang pemerkosaan (Tirto.id, 2018). Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik FISIP UI, Hurriyah pun menilai bahwa berbagai istilah tersebut tidak akan efektif tanpa diimbangi dengan merespon isu-isu perempuan atau menjawab aspirasi kelompok perempuan (bbc.com, 2018).
Lebih lanjut, meskipun pemilih perempuan berimbang dengan pemilih laki-laki, persoalan relasi gender juga muncul. Estetika Handayani (Direktur Estetika Institute) dalam Seminar Politik Perempuan mengungkap bahwa hal yang penting untuk dicermati adalah situasi di mana para pemilih perempuan dipengaruhi atau turut dipaksa memilih calon yang tidak diinginkan (tribunnews.com, 2018).
Selama masa kampanye ini, masing-masing kandidat sepatutnya melakukan kampanye positif, dengan menunjukkan keunggulan kandidat dan visi, misi serta program yang dimiliki. Namun, pelanggaran kampanye tidak dapat dihindarkan. Salah satu bentuknya seperti yang diberitakan Tirto.id saat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Barat menemukan seorang ustaz di sejumlah masjid menyelipkan pesan kampanye dalam khotbahnya. Padahal, Undang Undang Pemilu jelas melarang hal ini.
Selain pelanggaran kampanye, ada juga kampanye negatif dan kampanye hitam. Meskipun perbedaan antara kampanye negatif dan kampanye hitam belum disebutkan secara eksplisit dalam Undang-Undang, namun Tabumania perlu ketahui perbedaannya. Menurut Ketua Bawaslu, Abhan, kampanye negatif dilakukan dengan mengungkapkan fakta yang merugikan tim kampanye lawan, misalnya menyampaikan ke publik bahwa calon tertentu pernah divonis sebagai koruptor. Sedangkan kampanye hitam merupakan penyebaran hal yang bukan fakta (cnnindonesia.com, 2018). Salah satunya dengan penyebaran hoaks. Penyebaran berita hoaks yang mengarah kampanye hitam marak disebarluaskan melalui jejaring media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, WhatsApp, dll (theindonesiainstitute.com, 2019). Isu Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan (SARA) sering dijadikan komoditas kampanye hitam (bbc.com, 2018), misalnya menyebutkan kandidat tertentu dari etnis Tionghoa padahal bukan. Atau keluarga penganut aliran tertentu padahal bukan. Kemudian menggunakan informasi palsu tersebut untuk menyebarkan kebencian.
Padahal, di Pasal 280 Undang-Undang Pemilu mengatur larangan-larangan pelaksana kampanye, termasuk diantaranya kampanye negatif mengandung kampanye hitam. Pasal 280 ayat 1 huruf c menyatakan peserta, pelaksana, dan tim kampanye pemilu dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon dan atau peserta pemilu yang lain. Lalu pada ayat 1 huruf d menyatakan juga larangan untuk menghasut dan mengadu domba perseorangan atau masyarakat. Sanksi terhadap pelanggaran pasal tersebut adalah ancaman hukuman pidana kurungan paling lama dua tahun atau denda maksimal Rp 24 juta seperti yang diatur dalam Pasal 521.
Di sinilah peran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) diperlukan. Bawaslu merupakan lembaga penyelenggara pemilu yang bertugas mengawasi penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Keberadaan Bawaslu diharapkan mampu mencegah terjadinya pelanggaran dalam pemilu, menangani perkara pemilu, menyelesaikan sengketa pemilu dan menegakkan hukum pemilu secara keseluruhan (Bawaslu RI, 2017).
Sejak 23 September 2018 hingga 8 Desember 2018, Bawaslu menemukan ratusan ribu dugaan pelanggaran. Kompas.com (2018) memberitakan terdapat 176.493 dugaan pelanggaran berkaitan dengan Alat Peraga Kampanye (APK) karena dipasang di tempat yang dilarang (tempat ibadah, pendidikan, pelayanan kesehatan, dan fasilitas pemerintah) dengan 14. 255 APK memuat materi dan informasi yang membahayakan keutuhan NKRI, menghina, menghasut dan mengadu domba. Lalu terdapat pelanggaran kampanye melalui media massa sebanyak 414 iklan dengan rincian iklan di media cetak sebanyak 249 iklan, di media elektronik 153 iklan, dan di radio 12 iklan. Selain itu ada pula yang melakukan kampanye di fasilitas pemerintah yaitu 226 tempat, di tempat ibadah sebanyak 49 tempat dan lembaga pendidikan sebanyak 33 tempat. Jenis pelanggaran lain yang dicatat Bawaslu yaitu ditemukannya 134 kejadian anggota ASN melakukan kampanye, ada juga 1363 kampanye tidak berijin dan 67 dugaan politik uang.
Pemilu dilakukan untuk memilih presiden, wakil presiden serta wakil-wakil rakyat yang menjalankan pemerintahan. Sayangnya, masa-masa kampanye justru hanya digunakan untuk berlomba meraup suara para pemilih. Kampanye yang sepatutnya menawarkan perubahan yang lebih baik, termasuk membela kaum marginal, perempuan dan LGBT tak jarang memposisikan mereka sebagai sarana pendulang suara atau juga upaya melakukan kampanye hitam sehingga suara pemilih berpindah pada kandidat yang lainnya.
Sebagai bagian dari masyarakat, Tabumania punya andil besar untuk mengawasi pemilu dengan cara melaporkan setiap tindak pelanggaran yang terjadi. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menyediakan aplikasi Gowaslu yang dapat diunduh melalui telepon pintar dengan sistem operasi Android dan iOS. Lewat aplikasi ini, hasil pemantauan bisa dilaporkan dengan waktu yang sama (real time). Tabumania bisa melaporkan pelanggaran pemilu, dengan beberapa kategori berikut, yaitu :
1. Data Pemilih, pelanggaran yang terjadi biasanya mencakup; pemilih belum terdaftar, sudah meninggal, di bawah umur atau terdaftar ganda.
2. Alat Peraga Kampanye, pelanggaran yang terjadi biasanya ; pemasangan di jalan protokol, di tempat ibadah, di gedung pendidikan atau kantor pemerintahan.
3. Kampanye, setidaknya terdapat pelanggaran yang sering ditemukan; ujaran kebencian, penggunaan fasilitas pemerintah, penggunaan isu SARA, maupun keterlibatan ASN (Aparatur Sipil Negara).
4. Politik Uang, setidaknya memberikan informasi dengan mencantumkan pemberi, penerima dan jumlah nominal.
Jadi, bagaimana Tabumania? Sudahkah menentukan pilihan untuk pemilu mendatang? atau justru bingung dan bimbang? Yang sudah pasti, yuk kita kawal Pemilu 2019 dari berbagai kampanye yang merusak keberagaman masyarakat Indonesia!
0 comments on “Pemilih Perempuan dan Kampanye Politik Jelang Pemilu 2019”