Tabumania, kekerasan seksual masih saja terjadi. Bisa menimpa siapa saja dan kapan saja, termasuk di dunia kerja dan pendidikan. Publik baru-baru ini geram dengan kasus yang menimpa Agni, seorang mahasiswa UGM yang mengalami pemerkosaan oleh rekan sesama mahasiswa saat melakukan KKN pada 2017. Situasi ini terus mengingatkan bahwa keadilan bagi korban kekerasan seksual masih belum juga hadir.
Kasus Agni bukanlah kasus kekerasan seksual pertama di lingkup dunia pendidikan, khususnya perguruan tinggi. Tirto.id pernah membuat liputan khusus berdasarkan penelusuran di beberapa kampus terkenal di Indonesia. Lebih dari selusin mahasiswi bercerita pernah menjadi korban pelecehan seksual oleh dosen mereka (tirto.id, 4 Juli 2018). Para mahasiswi tersebut mengalami berbagai pelecehan seksual, seperti menerima gurauan porno, panggilan menggoda, komentar berkonotasi seks, ajakan bersenggama dari dosen, bahkan ada yang mengalami pemerkosaan. Pun demikian yang terekam di media-media lain, kekerasan seksual di perguruan tinggi yang diberitakan adalah pelecehan seksual dan perkosaan. Relasi kuasa dosen-mahasiswa membuat mahasiswa enggan melapor karena kekhawatiran terhadap kelangsungan pendidikan mereka.
Selain lingkup perguruan tinggi, kasus pelecehan seksual juga sering terjadi di lingkup pekerjaan. Bisa melibatkan rekan kerja atau atasan bawahan. Dalam dunia kerja biasanya terjadi relasi kuasa pimpinan-bawahan dengan pemecatan sebagai ancaman.
Mengutip dari kumparan.com (Kenali Wujud Pelecehan Seksual di Lingkungan Kerja, 30 November 2017), berdasarkan penelitian yang dilakukan Perempuan Mahardhika, 56,5 persen dari 773 buruh perempuan di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung menjadi korban pelecehan seksual. Pelecehan yang terjadi diantaranya para buruh pabrik perempuan dilecehkan para teknisi ketika sedang memperbaiki mesin. Bentuk pelecehan lainnya dilakukan saat check body (aturan yang dipakai untuk mengetahui apakah para buruh membawa sesuatu dari pabrik atau tidak, namun justru disalahgunakan), bahkan sampai ada buruh perempuan yang dibawa ke ruang manajer lalu atasannya, lalu memperkosanya memasukkan jari ke vagina buruh tersebut.
Namun, penelitian ini belum mencakup semua lingkup dunia kerja. Upaya pengumpulan data menjadi urusan pelik karena sebagian besar korban, umumnya perempuan, cenderung tidak melaporkan kasus yang dialami. Karena merasa malu, aib besar, tak berdaya dan takut kehilangan pekerjaan padahal ia membutuhkan pemasukan. Belum lagi perusahaan atau tempat kerja juga menutupi kasus demi citra lembaga.
Masih belum berpihaknya keadilan kepada korban, membuat suara mereka semakin sunyi. Kasus menguap tanpa ada penyelesaian. Pelaku melenggang sementara korban terus dibayang-bayangi trauma.
Selama ini, perlindungan terhadap tenaga kerja diatur dalam pasal 86 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan berbunyi, “Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas : a. keselamatan dan kesehatan kerja; b. moral dan kesusilaan; dan c. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.” Aturan lainnya berada pada Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. SE.03/MEN/IV/2011 tentang Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja.
Tetapi, pelecehan seksual di tempat kerja tidak diatur secara spesifik dalam KUHP. Sejauh ini hanya mengatur tentang kekerasan dengan paksaan untuk melakukan persetubuhan (pasal 285) dan perbuatan cabul (pasal 289 – pasal 296). Apabila dilakukan atasan, ketentuan tertuang dipasal 294 ayat (2) angka 1 KUHP, yaitu diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan atau diserahkan kepadanya.
Selain itu, KUHP hanya melihat bentuk kekerasaan seksual sebatas pemerkosaan dan pencabulan. Itupun hanya termuat dalam Pasal 285 KUHP sedangkan pasal-pasal lainnya menggunakan kata “bersetubuh” yaitu penetrasi penis-vagina. Di luar perbuatan itu disebut “pencabulan”. Padahal apabila merujuk pada RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, perkosaan tidak terbatas pada penetrasi penis-vagina saja serta pelecehan seksual seperti yang dialami para mahasiswi maupun buruh pabrik, seperti yang disampaikan diatas, juga termasuk bentuk kekerasan seksual.
Inilah mengapa, meskipun penyintas pelecehan seksual di tempat kerja berhak mengajukan tuntutan terhadap pelakunya, namun dalam pengajuan tuntutan tersebut harus memenuhi pembuktian melalui pengaduan dari korban atau pihak yang mengetahui. Unsur pembuktian inilah yang seringkali memberatkan para penyintas dalam memperoleh keadilan. Korban sudah mengalami trauma dan masih dituntut untuk melakukan pembuktian bahwa ia mengalami pelecehan seksual sedangkan pelaku justru tidak dituntut untuk melakukan pembuktian bahwa ia tidak bersalah.
Sementara itu, berbeda dengan dunia kerja yang sudah ada peraturan perundangan yang memberikan perlindungan dari tindak pelecehan seksual, dalam dunia pendidikan tinggi belum ada aturan yang berlaku. Bahkan dari perguruan tinggi juga belum ada yang secara tegas memberikan aturan khusus terkait pencegahan kekerasan seksual. Mengutip dari Tirto.id (Kisah Kekerasan Seksual di Kampus : Melawan Relasi Kuasa Dosen Mesum, 6 November 2018), kampus di Indonesia sama sekali belum menjadikan kasus pelecehan seksual yang dilakukan dosen maupun mahasiswa di lingkungannya sebagai isu prioritas. Kampus-kampus tersebut dinilai gagal mereformasi diri menciptakan lingkungan akademik yang sehat, yang memanusiakan korban. Kampus juga dinilai lamban dalam membangun mekanisme layanan pengaduan bagi korban ataupenyintas berbasis perlindungan, kesetaraan dan kerahasiaan. Inilah mengapa sudah seharusnya seluruh kampus di Indonesia, baik negeri maupun swasta, menetapkan aturan khusus untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual di institusi mereka.
Kampus maupun dunia kerja perlu membuat aturan khusus atau kebijakan yang tegas dan jelas tentang perlindungan dari kekerasan seksual. Kebijakan tertulis yang dikeluarkan pimpinan tertinggi, baik perusahaan maupun institusi pendidikan, yang diinformasikan kepada seluruh elemen perusahaan atau institusi pendidikan terkait. Bahkan, mengadakan pelatihan pencegahan pelecehan seksual menjadi penting. Misalnya,dengan memberikan definisi maupun contoh perkosaan dan pelecehan seksual, menginformasikan berbagai hal yang harus dilakukan ketika mengalami perkosaan dan pelecehan seksual, bagaimana aduan akan diproses lebih lanjut serta sanksi apa yang akan diberikan terhadap pelaku. Memberikan informasi organisasi atau lembaga yang bisa dihubungi untuk melakukan pendampingan, penguatanserta melatih pendamping sebaya juga bagian tak terpisah dalam mendorong agar setiap individu bisa merasa nyaman dan aman di lingkungannya.
Mewujudkan rasa aman dari kekerasan seksual memang bukanlah jalan yang mudah ditempuh. Perlu dukungan semua pihak, baik pemerintah, institusi pendidikan, perusahaan, maupun masyarakat untuk bergandengan tangan mencegah segala bentuk kekerasan seksual. Jangan menunggu sampai ada Agni berikutnya!
0 comments on “Jalan Terjal Sikapi Perkosaan dan Pelecehan Seksual”