Buka Perspektif

Terapi Konversi di Indonesia : Sadari Bentuk dan Bahayanya

Tabumania, memperingati Hari Kesehatan Jiwa Sedunia yang bertepatan jatuh pada 10 Oktober lalu, Qbukatabu kali ini ingin sejenak mengulas tentang terapi konversi yang mewarnai pemberitaan media-media di Indonesia pada saat ramai kasus LGBT sejak 2016 lalu. Terapi konversi didengungkan sebagai upaya ‘penyembuhan’. Padahal, terapi ini justru bisa berbahaya pada kesehatan jiwa bagi orang yang menjalani terapi tersebut.

Lalu apa sebenarnya terapi konversi itu? Terapi konversi atau terapi reparatif adalah praktek yang dilakukan dengan tujuan untuk ‘mengubah’ atau ‘mengembalikan’ seseorang menjadi heteroseksual ataupun cis perempuan dan cis laki-laki dengan argumentasi medis ataupun sains, baik dengan intervensi fisik, psikis ataupun spiritual.

Berbagai praktik terapi konversi di Indonesia tak hanya dikampanyekan dan dilakukan oleh para praktisi medis dan psikologis, namun juga oleh para pemuka agama, tokoh masyarakat, masyarakat sekitar, keluarga, bahkan aparat negara pun turut serta.

Salah satu pendekatan medis yang dilakukan adalah mutilasi alat kelamin melalui operasi. Hal ini dilakukan oleh dokter terhadap individu interseks ketika ia memiliki bentuk alat kelamin yang berbeda dari perkembangan kebanyakan alat kelamin jantan dan betina. Tindakan operasi ini dilakukan atas saran dokter dan bisa terjadi saat bayi interseks tersebut lahir ataupun saat mereka sudah beranjak dewasa. Situasi ini dialami oleh Adhit, seorang interseks dengan kondisi PAIS alias Partial Androgen Insensitivity Syndrome, dimana sebagian besar sel tidak merespon androgen (hormon jantan) yang diproduksi tubuh. Alhasil, Adhit memiliki vagina tanpa rahim dan ovarium, namun juga memiliki penis kecil (tirto.id, 2018). Karena dianggap bentuk vagina yang lebih tampak, maka orangtua Adhit menyetujui saran dokter agar penis Adhit dimutilasi.

Tak hanya medis, intervensi psikologis dan klinis juga berlangsung. Intervensi psikologis ini disebut juga rehabilitasi psikologis dimana dilakukan konseling atau terapi kejiwaan karena dianggap bahwa terdapat ‘akar penyebab LGBTIQ’ dalam diri seseorang. Oleh karena itu, ‘akar penyebab’ tersebut harus dicabut atau dihilangkan agar bisa ‘sembuh’. Rehabilitasi psikologis yang khas juga melalui pemberian nasehat-nasehat bernuansa agama, diantaranya adalah metode rukqyah. Pelaku ruqyah percaya bahwa ‘akar penyebab LGBTIQ’ adalah karena perbuatan jin yangmenguasai tubuh seseorang sehingga dengan dibacakan ayat-ayat Al-Quran,jin tersebut akan takut dan pergi (Harahap, 2018).

Intervensi klinis, melalui metode hipnotis, pun dilakukan. Masih dengan tujuan agar ‘akar penyebab’ tersebut dicabut atau dihilangkan. Prosesnya adalah dengan menanamkan sugesti untuk ‘sembuh dari kelainan LGBT’ saat tubuh mengalami fase relaksasi agar ‘ion negatif’ di alam bawah sadar seseorang digantikan oleh ‘ion positif’ (palembang.tribunnews, 2018).

Praktik konversi pun juga tak lepas dari nuansa budaya yang sangat kuat memegang nilai-nilai hetero-patriarki. Bahwa jender hanya terdiri dari cis laki-laki dan cis perempuan serta heteroseksual merupakan satu-satunya hubungan yang dianggap ‘benar’.

Hal ini dengan jelas terlihat lewat praktik perkawinan paksa. Demi kehormatan keluarga dan masyarakat, individu LGBTIQ dipaksa untuk menikah meskipun membuatnya tersiksa dan tidak bahagia (bbc.com, 2017).

Selain itu, perkosaan kuratif atau korektif juga menjadi praktik yang khas terjadi pada individu LGBTIQ. Perkosaan secara jelas menunjukkan relasi yang timpang antara pelaku dan korban. Dalam hal perkosaan kuratif, kekerasan ini dilakukan untuk ‘memperbaiki’ individu LGBTIQ dengan cara menunjukkan ‘kenikmatan hubungan seksual cis heteroseksual’ dengan maksud merendahkan dan menghancurkan martabat kemanusiaan individu LGBTIQ.

Tak hanya dilakukan oleh keluarga dan masyarakat, negara juga kerap aktif melakukan upaya praktik konversi. Salah satunya dilakukan oleh AKBP Untung Sangaji, Kapolres Aceh Utara yang menjabat saat itu, yang dengan penuh kebencian menyatakan waria sebagai ancaman yang lebih bahaya dari teroris (beritagar.id, 2018). Pada 27 Januari 2018, ada 12 waria yang ditangkap di salon tempat mereka bekerja di Aceh Utara. Rambut mereka dicukur habis, dipaksa mengenakan pakaian ‘maskulin’, serta dipaksa berteriak keras-keras hingga ‘suara pria’ mereka keluar.

Praktik ini mirip dengan sebuah tayangan reality show berjudul Be A Man di Global TV pada tahun 2008 yang secara jelas mengekspos para tentara yang ‘melatih’ waria atau laki-laki feminin untuk ‘dibentuk sebagai laki-laki sempurna’. Kedua contoh ini menunjukkan bahwa pemaksaan busana serta ekspresi dianggap ampuh untuk ‘mengembalikan maskulinitas laki-laki’.

Keinginan dan tindakan untuk ‘memperbaiki’, ‘menyembuhkan’ dan ‘mengembalikan’ individu LGBTIQ muncul akibat pandangan bahwa LGBTIQ adalah penyakit, penyimpangan, kelainan, dan gangguan jiwa. Padahal, untuk mengkategorikan seseorang mengalami gangguan kejiwaan atau tidak, menurut dokter spesialis bedah syaraf, dr. Roslan Yusni Hasan, SpBs perlu rujukan yang tepat. Dalam penjelasannya, dunia kedokteran Indonesia mengacu pada Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ). PPDGJ ini diterbitkan Direktorat Kesehatan Jiwa Depkes RI. PPDGJ mengacu pada Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) dan International Statisical of Diseases (ICD). DSM dibuat pada 1952 dan sudah mengalami beberapa kali revisi hingga sekarang. ICD sendiri merupakan alat diagnostik standar epidemologi, manajemen kesehatan dan tujuan klinis. ICD juga telah mengalami beberapa kali revisi hingga kini. PPDGJ juga telah mengalami beberapa kali revisi. PPDGJ I diterbitkan pada 1973, PPDGJ II pada 1978 dan PPDGJ III pada 1993.

Sejak PPDGJ III terbit, homoseksual dan biseksual adalah variasi dari orientasi seksual, sama seperti heteroseksual. Oleh karena itu, orientasi seksual bukan merupakan gangguan jiwa (Hasan, 2016). ICD-11 pun menyatakan bahwa transgender adalah kondisi kesehatan seksual, bukan gangguan jiwa.

Itulah mengapa, upaya konversi akan sangat berbahaya bagi kesehatan mental individu LGBTIQ. Psikiater dengan kekhususan psikomatis medis, dr. Andri, SpKJ, FAPM mengatakan bahwa praktik terapi konversi atau terapi reparatif merupakan ancaman serius bagi kesehatan dan kesejahteraan bahkan kehidupan orang terdampak. Tak hanya berbahaya secara psikologis, tapi juga fisik orang yang mengalaminya (Andri, 2016).

Menurut Ariel Shidlo dan Michael Shroeder dalam penelitiannya yang berjudul Changing Sexual Orientation : a Consumer Report, bahaya dari upaya mengubah orientasi seksual, diantaranya :

  1. Bahaya Psikologis. Sebagian besar responden menyatakan depresi setelah menjalani terapi konversi. Ada yang merasa bersalah karena tidak terlalu berusaha keras untuk “berubah” dan “sembuh” hingga timbul keinginan bunuh diri. Ada pula yang membuat mereka merasa gagal sebagai manusia dan memiliki persepsi negatif terhadap homoseksual.
  2. Bahaya Sosial dan Interpersonal. Banyak dari responden yang melaporkan bahwa setelah menjalani terapi konversi, hubungan mereka dengan orangtua menjadi terganggu. Ada pula yang membuat mereka merasa dijauhi lingkungan sosial dan tidak memiliki siapapun untuk berbicara, bahkan kepada terapis sekalipun. Terapis juga kerapkali menyarankan agar mereka memutuskan hubungan dengan pasangan serta meninggalkan teman-teman mereka sehingga mereka kehilangan dukungan sosial.
  3. Bahaya Spiritual. Mayoritas responden adalah orang-orang yang religius. Terapi konversi berdampak pada keimanan mereka. Ada yang kehilangan keyakinan atau tidak lagi mempercayai Tuhan dan agamanya. Ada pula yang merasa dikhianati oleh para pemuka agama.

Disatu sisi, ditengah kuatnya budaya hetero-patriarki, tidak semua individu LGBTIQ melewati proses yang sama dalam memahami dan menerima dirinya. Di sisi lain, kebencian yang makin masif ditunjukkan melalui ancaman maupun tindakan terapi konversi akan semakin memperparah situasi kesehatan mental individu LGBTIQ. Ketakutan atau keraguan untuk mengakses layanan kesehatan akan semakin tinggi, sementara trauma-trauma yang menumpuk akibat situasi yang dijalani sehari-hari menjadi terabaikan hingga terkubur dalam-dalam.

Untuk itu, yuk Tabumania, kita berikan informasi yang utuh tentang bahaya terapi konversi kepada orang-orang terdekat kita dan bersama-sama menolak segala bentuknya! (DKP)

2 comments on “Terapi Konversi di Indonesia : Sadari Bentuk dan Bahayanya

  1. Dinda N. Setyoningtyas

    haloo kak, mau saran untuk sertain jurnal atau artikel ilmiah drai kutipan yang diambil yaah. tertarik banget nih buat baca tulisan Hasan (2016) dan dr. Andri. thank you kak, keren banget kontennya, keep up the good work!

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: