Buka Perspektif Buka Ruang

Kata Anak Muda : Menghidupi Damai, Bukan Hanya Janji

Tabumania, siapa yang tak mengenal kata damai? Mengacu pada KBBI, damai acapkali diartikan sebagai sebuah situasi atau kondisi yang tidak ada perang; tidak ada kerusuhan, aman dan tenteram. Sontak, damai menjadi tujuan utama manusia dalam fase kehidupan. Meskipun demikian, gambaran setiap orang dalam proses pencapaian rasa damai bermacam-macam. Ada yang bekerja keras, menabung, membeli rumah agar kelak masa tuanya dapat hidup damai. Ada yang rajin beribadah di sepanjang hidupnya karena di situlah damai dirasakan.

Arti damai juga diingatkan lewat Imagine dari John Lennon, lagu lawas dari tahun 1971 yang ditujukan bagi gerakan perdamaian. Dengan piawai, John Lennon mampu membuat sebuah lirik sarat makna dan mengajak setiap orang berefleksi tentang makna perdamaian. Kita baca liriknya bersama sambil bersenandung, yuk!

Imagine there’s no heaven, it’s easy if you try

No hell below us, above us only sky

Imagine all the people living for today

Imagine there’s no countries, it isn’t hard to do

Nothing to kill or die for, and no religion too

Imagine all the people living life in peace

You may say I’m a dreamer but I’m not the only one

I hope some day you’ll join us, and the world will be as one

Imagine no possessions, I wonder if you can

No need for greed or hunger, a brotherhood of man

Imagine all the people sharing all the world

Dari lirik tersebut kita bisa menginterpretasi bahwa kerapkali manusia dikotak-kotakkan karena agama dan kebangsaannya. Bahwa, agama ataupun kebangsaan yang satu lebih tinggi dibandingkan yang lainnya sehingga merasa lebih berhak menempati surga ataupun hidup sejahtera di sebuah negara dibanding yang lainnya. Situasi ini bisa berakibat pada pecahnya peperangan dan konflik karena manusia hanya fokus pada klaim bahwa dirinya paling benar dan paling layak hidup. Manusia akhirnya kehilangan esensi kehidupan yang bertumpu pada rasa persaudaraan, saling menghargai, menghormati, berbagi dan saling membantu antar satu dan lainnya.

Bagaimana dengan damai di Indonesia? Setidaknya, konflik Aceh dan Poso menghasilkan perjanjian damai yang diupayakan pemerintah Indonesia sebagai penyelesaiannya. Perjanjian damai tersebut berhasil mempertemukan para elit yang berkonflik. Namun, apakah masyarakat yang terdampak konflik juga dapat pulih dari trauma konflik dan mampu membangun kembali kehidupannya? Kondisi damai masih belum bisa dinikmati, terlebih bagi perempuan yang mengalami kekerasan seksual saat konflik terjadi. Penyangkalan terhadap kekerasannya saja masih terjadi sementara perempuan korban terus bertahan hidup sendirian untuk keluar dari berbagai stigma masyarakat dan memperbaiki kondisi sosial dan ekonominya.

Lantas, setelah belasan tahun perjanjian damai tersebut, bagaimana pandangan anak muda yang terhadap sejarah konflik di wilayahnya? Sudut pandang anak muda menjadi penting karena konflik menyisakan trauma yang berdampak tak hanya komunal, tapi juga lintas generasi. Meskipun konflik tidak dialami secara langsung oleh generasi setelahnya, namun perasaan maupun ingatan yang hadir semasa konflik dapat diteruskan lewat berbagai sikap, tindakan, dan nilai-nilai yang diceritakan dan diajarkan. Oleh karena itu, tim Qbukatabu mewawancarai anak muda, khususnya perempuan dan trans*, yang berasal dari Aceh dan Poso. Berikut rangkuman hasil wawancara bersama mereka.

Aku mengenal istilah damai saat duduk di bangku sekolah dasar, damai buatku mempunyai makna di mana segala sesuatu itu bisa dirasakan dengan merdeka, tenang, tanpa ada kejadian yang merusaknya. Damai itu tidak hanya sekadar kata, tapi hidup dalam tubuh dan alam sekitarnya. Kata damai juga tak lepas dari ingatan ketika konflik melanda kota Poso, semua orang bilang harus berdamai. Aku ingat peristiwa itu, ketika orang-orang mati berjatuhan karena konflik agama yang didengungkan kala itu. Konflik Poso berdampak ke berbagai wilayah di Sulawesi Tengah.Mereka harus bersembunyi dan lari meninggalkan kampung agar tidak dibunuh. Dampak yang luar biasa juga menyasar pada psikis kami. Orang-orang bahkan menggunakan kesempatan dari konflik tersebut dengan mencari keuntungan, memperjualbelikan kaset yang berisi tragedi-tragedi konflik. Suatu waktu aku pernah berdiskusi dengan salah satu dosen dan teman-teman NGO (organisasi masyarakat sipil) yang lainMereka berkata sangat tinggi kasus kekerasan pada perempuan saat konflik di Poso, sekitar 5.000 perempuan dan anak-anak yang menjadi korban kejahatan seksual yang dilakukan oleh aparat dan oknum TNI. Situasi sekarang memang lebih aman, tetapi secara psikis kami belum sembuh. Aku berharap tidak akan ada lagi konflik dan kekerasan yang dilandasi kepentingan ekonomi dan politik segelintir orang yang mengorbankan masyarakat lebih banyak.” Yuyun, perempuan, 22 tahun, Palu.

“Aku mengenal kata damai dari orangtua. Dan, aku kemudian memakna damai dengan bebas melangkah kemanapun tanpa dihantui rasa takut, bebas berekspresi, bebas memilih dengan siapa ingin berelasi, bisa menjadi diri sendiri, bisa mendapatkan pekerjaan dan pendidikan sesuai yang dimau. Bagiku yang tinggal di Aceh, aku merasa tempat ini belum damai, bahkan sama sekali tidak damai. Sekarang bahkan dengan adanya Qanun Aceh, semua hal privasi diganggu, ruang gerak terbatas dan kemanapun harus memakai jilbab. Sebagai transman, tentu itu membuatku tidak nyaman. Ketika konflik di Aceh, anggota keluargaku sempat disanderaPara penyandera bahkan meminta uang tebusan.Itu adalah konflik terparah sepanjang hidupku dan menyisakan trauma tersendiri. Perjanjian damai di Aceh seolah hanya menggambarkan bahwa tidak ada lagi kontak senjata, sandera masyarakat dan ketakutan ditembak di jalanan, tapi terlepas dari itu semua Aceh buatku belum damai.”T, transman, 24tahun, Aceh.

“Saya yang pernah menjadi bagian dari konflik Poso merasa damai itu ketika bisa nyaman dan merasa aman ketika berpergian kemanapun, bisa menghilangkan rasa curiga kepada setiap manusia yang saya temui. Terkait konflik Poso, saya tidak mendengar/mengetahui dari orang lain, tapi saya dan keluarga merupakan bagian yang mengalami konflik Poso. Kampungku dari kota Poso, tempat kerusuhan berjarak 100 km, beberapa kali kami mengungsi di pengungsian, pada waktu itu kebetulan saya tinggal di tempat mayoritas orang Kristen. Aku memang masih berusia 4 tahun kala itu, tapi aku masih mampu mengingat suasana kala itu yang kacauAku ingat dalam dekapan bapak dan ibuku. Pemerintah memang membuat perjanjian Malino, tetapi perjanjian itu hanya menyentuh kesepakatan kalangan elit politik atas saja, dan perjanjian itu tidak berdampak pada kesembuhan luka batin masyarakat Poso yang sengaja dijadikan korban konflik SARA. Poso merupakan jalur strategis untuk daerah industri karena banyak sekali kekayan alam di daerah kami, tetapi kami tetap dikuasai oleh rasa tidak nyaman dan ketakutan, saling curiga antar sesama manusia.”WT, perempuan, 23 tahun, Poso.

“Kaitannya dengan konteks di Aceh, damai itu di saat kita bisa mengekspresikan diri kita sendiri, bebas menjadi diri kita sendiri, bebas berpendapat dan mengikuti segala jenis pendidikan. Tapi, Aceh belum damai, jadi aku belum merasakan itu, bahkan untuk menyampaikan pendapat, mencari tempat tinggal yang aman saja harus bertaruh dengan keberuntungan, jika mau aman maka harus mengatur strategi yang aman untuk diri sendiri. Yang aku tahu, saat aku kelas 1 SD, di mana konflik berkepanjangan di Aceh berlangsung, ada baku tembak selama satu bulan, bahkan dinding rumahku tertembus peluru dari atas atap. Aku dilarang keluar oleh orangtuaku karena situasinya memang mencekam, mayat bergelatakan di pinggir jalan. Kondisi sekarang memang sudah tidak ada baku tembak lagi, tapi rasa mengerikan masih aku alami dengan konteks yang lain. Aku trauma bila melihat pendukungan syariat di sini karena jadi ingat ketika ditangkap oleh penegak. Aku berharap, kita semua mampu menghargai hak asasi orang lain, agar kita benar-benar bisa merasakan damai antar sesama manusia. Aku juga berharap kehidupan beragama di sini tidak hanya dilihat hanya satu agama saja tetapi ada agama-agama yang lainnya dan tidak menilai perilaku seseorang berdasarkan agamanya.”DD, 21, perempuan, Aceh.

Paska perjanjian damai, damai bukan jadi kosa kata baru bagi generasi muda. Kata damai sudah diperkenalkan di keluarga maupun sekolah. Saat ini memang tidak ada lagi kontak senjata secara terbuka atau mayat yang bergelimpangan di depan mata, namun damai belum benar-benar terasa – belum hidup dalam tubuh dan alam sekitar. Damai masih jadi pemanis dalam upaya membangun kembali wilayah karena masyarakat masih belum pulih dari trauma; masih ada rasa saling curiga satu sama lain maupun rasa ketakutan karena peraturan yang diberlakukan cenderung memunculkan konflik baru serta pelanggaran hak asasi.

Tabumania, damai tidak bisa sekedar jadi slogan yang dibunyikan oleh para penguasa. Damai harus membumi dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Damai selayaknya dihidupi terus. Bukan dengan saling menyebar kebencianserta meneguhkan keseragaman yang dipelihara kuat-kuat saat konflik. Setiap orang adalah agen perdamaian dan negara bertanggungjawab untuk memastikan perdamaian tersebut berlanjut agar sejarah kelam tidak kembali terulang. Karena, berbagi cinta dan kebahagiaan jauh lebih indah daripada harus melihat sesama mahluk hidup saling menderita. Betul kan? (IS)

 

Portal pengetahuan dan layanan tentang seksualitas berbasis queer dan feminisme. Qbukatabu diinisiasi oleh 3 queer di Indonesia di bulan Maret 2017. Harapannya, Qbukatabu bisa menjadi sumber rujukan pengetahuan praktis dan layanan konseling yang ramah berbasis queer dan feminisme; dan dinikmati semua orang dan secara khusus perempuan, transgender, interseks, dan identitas non-biner lainnya.

0 comments on “Kata Anak Muda : Menghidupi Damai, Bukan Hanya Janji

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: