Buka Perspektif

Jurnalisme Damai : Membunyikan Suara-Suara yang Diam

Tabumania, adakalanya dalam berinteraksi sosial terdapat perbedaan atau perselisihan yang terkadang berujung pada konflik. Hal tersebut bisa terjadi pada individu, misalnya dengan teman atau pasangan, dan bisa juga melibatkan kelompok yang lebih besar, seperti organisasi atau komunitas tertentu. Penyebab konflik pun bisa karena berbagai hal. Mulai dari hal ekonomi, perbedaan pandangan politik, agama, etnis, budaya dan sebagainya. Bahkan, antar suporter klub sepak bola pun terdapat konflik.

Ketika terjadi konflik, keberadaan juru damai atau penengah yang mampu menerjemahkan keinginan masing-masing yang sedang bertikai begitu penting. Ketika seseorang memiliki perbedaan pendapat yang berujung pada konflik biasanya memiliki kecenderungan untuk sulit menerima pendapat dari lawan, begitu pula sebaliknya. Nah, di sinilah peranan juru damai diperlukan untuk mencegah agar jangan sampai konflik semakin meluas.

Lalu bagaimana kaitannya dengan media? Bagi media, terjadinya konflik bisa dikatakan sebagai sebuah peristiwa yang mengandung “nilai berita” karena biasanya menimbulkan pro dan kontra yang membuat publik penasaran ingin mengetahuinya. Media tentu berusaha memberitakannya karena publik penasaran dan media pun memperoleh “keuntungan”. Adanya sebuah peristiwa yang sedang “memanas” mendorong publik untuk mengakses media dengan membeli koran, membaca online media, dan sebagainya. Dengan kata lain, semakin “hot” berita maka semakin banyak jumlah klik yang diterima atau semakin banyak oplah yang terjual. Pemilihan judul berita adakalanya dibuat semenarik mungkin sehingga membuat pembaca tertarik untuk menge-klik berita tersebut.

Cara media memberitakan sebuah peristiwa bisa memberikan dampak yang lebih luas. Hal ini karena publik pasti akan berusaha mencari tahu mengenai peristiwa tersebut melalui media massa. Informasi yang ada pada media bisa memengaruhi opini publik bahkan berpengaruh pada proses pengambilan keputusan.

Misalnya pada kasus Tanjungbalai yang terjadi karena adanya keluhan salah satu warga terhadap suara adzan yang bergulir menjadi kasus penodaan agama. Tirto.id (Rekayasa Kebencian dalam Kasus Meiliana di Tanjung Balai, 24 Agustus 2018) menyebutkan bahwa dalam kasus tersebut pihak kepolisian agak kesulitan membangun kasusnya karena ketiga saksi kunci memberikan keterangan berbeda ketika menjelaskan peristiwa. Sementara, berdasarkan liputan media massa yang tim Tirto.id himpun menunjukkan sebagian besar media massa menyudutkan Meiliana sebagai pemicu kerusuhan dan tidak banyak yang memberitakan awal mula peristiwa berdasarkan versi dari Meiliana. Masih mengutip dari Tirto.id, konflik juga semakin berlarut karena terdapat kisruh politik dan protes anti-Ahok di Jakarta. Konflik Tanjungbalai ini tidak hanya menimbulkan dampak kerusakan bangunan tetapi juga memunculkan para pihak baru dalam konflik (conflict-generated parties).

Inilah mengapa media juga harus berhati-hati dalam memilih angle atau sudut pandang berita, termasuk ketika memilih fakta yang ada di lapangan dan bagaimana gaya penulisan yang diambil. Hal tersebut diperlukan agar situasi tidak semakin memburuk.

Dalam penulisan berita memang mutlak diperlukan 5W1H (what, who, why, when, wheredan how), namun pada situasi konflik perlu juga mempertimbangkan bagaimana dampak berita tersebut nantinya ketika benar-benar dipublikasikan secara luas. Jurnalis tidak serta merta menulis “apa adanya” tetapi juga perlu mempertimbangkan “kepekaan” mungkin tidaknya berita yang ditulis justru bisa menyulut kemarahan dan menambah permasalahan. “Kepekaan” ini berkaitan erat dengan risiko yang bisa ditimbulkan. Media bisa berada pada posisi “mendinginkan” atau justru “memanaskan” situasi yang sedang terjadi.

Dalam pemberitaan situasi konflik, meminjam istilah Farid Rusdi yang menyebutkan bahwa para jurnalis, melalui media massa, seperti dua sisi uang logam. Pada satu sisi bisa menyulitkan proses pendamaian dan di sisi lain bisa mengedepankan pentingnya proses penyelesaian konflik. Hal ini dikarenakan meskipun dituntut netral dan tidak beropini, namun dalam penulisan berita jurnalis mengonstruksi fakta-fakta yang diperoleh di lapangan. Oleh karena itu, para jurnalis memiliki peran signifikan dalam mengurangi dampak konflik hingga mempercepat proses perdamaian (Wolsfeld dalam Rusdi, 2012 : 389).

Sebelumnya pada pemberitaan konflik, dikenal dengan war journalism atau jurnalisme perang yang lebih menitik beratkan pada sisi kekerasan dan kemenangan salah satu pihak saja. Kemudian pada awal 1970 istilah peace journalismatau jurnalisme damai diperkenalkan pertama kali. Adalah Johan Galtung, seorang sosiolog asal Norwegia yang mendengungkan istilah tersebut setelah menyelesaikan Journal of Peace Research pada 1964. Galtung mengatakan bahwa jurnalisme damai bertujuan pada perdamaian, kebenaran dan pemberitaan pihak yang terkena dampak dari konflik seperti perempuan, anak-anak dan lanjut usia, termasuk memberi suara pada pihak-pihak yang tidak bisa bersuara. Jurnalisme damai juga dikatakan menyoroti prakarsa kedamaian untuk pencapaian resolusi dan rekonsiliasi.

Dalam jurnalisme perang, kebanyakan liputan atau pemberitaan berorientasi pada tempat atau arena dimana konflik terjadi, jumlah korban terluka maupun meninggal, perilaku membantai, melukai, menghancurkan, menembak, mengebom dan sebagainya. Aspek sensasional dan dramatisasi lebih ditonjolkan (Anto dalam Juditha, 2016). Sementaraitu, jurnalisme damai, seperti yang dikatakan mantan wartawan Kompas, Satrio Arismunandar, pada prinsipnya untuk masyarakat luas, tidak memihak salah satu pihak atau memojokkan salah satu kelompok tetapi melihat korban-korban dari konflik yang terjadi.

Beberapa contoh judul berita yang menerapkan jurnalisme damai diantaranya “Thahjo minta Sumut cegah konflik di Tanjungbalai meluas” (merdeka.com, 31 Juli 2016), “Kapolda Minta Kapolres Koordinasi Cegah Konflik Sara” (antaranews.com, 30 Juli 2015), “Umat Islam dan Umat Kristen Tolikara Sepakat Saling Memaafkan” (kompas.com, 11 Agustus 2015) dan seterusnya. Dalam hal ini bisa dikatakan media melalui jurnalisnya berada di “situasi tengah” di antara pihak yang berkonflik. Jurnalis harus menjaga sikap netral, obyektif berimbang, akurat dan benar sehingga jurnalis harus berada dalam posisi independen dan tidak memihak (Burns, 2002 : 22-24).

Publik pun bisa menjadikan media sebagai jendela untuk melihat apa yang sedang terjadi di luar sana sebagaimana yang dikatakan McQuail dalam bukunya Mass Communication Theories (2000). Inilah mengapa media massa dituntut untuk memberikan informasi secara akurat karena kesalahan informasi bisa memunculkan gambaran yang salah pula terhadap obyek (Santosa, 2016).

Idealnya, media bisa memberitakan konflik secara komprehensif, mendukung resolusi konflik serta menghindari pemberitaan dengan gambar vulgar seperti mayat bergelimpangan, korban berdarah-darah, aktifitas kekerasan yang justru bisa memicu kemarahan atau memperparah konflik yang terjadi.

Konflik memang bisa terjadi kapan saja dengan berbagai macam pemicunya danberdampakpadakehidupan bermasyarakat. Namun, media massa merupakan sumber informasi yang bisa memengaruhi pola pikir masyarakat.  Posisi media sangat strategis untuk “memanaskan” atau “mendinginkan” situasi dengan memilihkan berita yang akan dipublikasikan. Di sinilah peranan pengelola media sangat diperlukan untuk menerapkan jurnalisme damai bukan jurnalisme perang. Media harus turut menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Dan kita, Tabumania, harus mengawalnya. (DKP)

0 comments on “Jurnalisme Damai : Membunyikan Suara-Suara yang Diam

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: