Tabumania, masih ingat film garapan sutradara cerdas Lucky Kuswandi, Selamat Pagi, Malam yang beredar di bioskop tahun 2014? Film yang baru saja diputar di Europalia Arts Festival Indonesia pada 21 Januari yang lalu ini berkisah tentang kehidupan Jakarta saat menjelang malam menuju ke pagi hari. Film ini memotret berbagai momen masyarakat urban Jakarta dalam menemukan keterhubungan di tengah hiruk pikuk Jakarta yang membuat manusia-manusia di dalamnya kerap kali merasa terasing dan sendirian.
Tim Qbukatabu berkesempatan mewawancarai seorang seniman, praktisi media dan ahli media digital, Marissa Anita yang memerankan sosok Nai dalam Selamat Pagi, Malam. Qbukatabu secara khusus ingin tahu lebih banyak tentang bagaimana Marissa memaknai film yang diperankannya, dimana ragam seksualitas menjadi bagian dari cerita, serta relevansi film tersebut dengan situasi Indonesia saat ini.
Nai, Gia, dan Tantangan terhadap Cinta Universal
Salah satu cerita yang diangkat di film ini adalah tentang Gia, seorang perempuan yang baru kembali dari sekolah film di New York, yang sangat terkejut mendapati Jakarta yang dia tinggalkan sudah sangat jauh berbeda bagi dirinya. Ia berupaya menemukan keterhubungan antara dirinya dengan kota kelahirannya ini melalui perempuan bernama Nai; mantan pacar Gia semasa di New York, yang telah lebih dulu kembali dan bergumul dengan dinamika Jakarta. Pertemuan Gia dan Nai tak hanya mengenai perbincangan terhadap situasi kelas menengah atas Jakarta dengan segala keglamoran hidup, seperti konsumsi makanan, benda-benda impor, termasuk juga berbagai kesibukan baru di dunia siber sebagai simbolisasi modernitas. Pertemuan Gia dan Nai juga mengenai perbincangan tentang pencarian keterhubungan antara Jakarta dengan cinta romantis antara perempuan dengan perempuan; sebuah pengalaman yang secara faktual hadir dan menjadi bagian dari kehidupan manusia.
Keputusan Marissa untuk mengambil peran di film ini tak terlepas dari sutradara dan aktor yang cerdas dan percaya diri serta ide cerita yang baik. Keterbukaan Lucky Kuswandi dalam mendiskusikan berbagai ide selama proses pembuatan film, termasuk dalam menentukan seperti apa bagian akhir dari Gia dan Nai ingin dibuat, semakin meyakinkan Marissa bahwa ia bekerja dengan sutradara yang tepat. Begitupun ketika ia mengetahui bahwa sosok Gia diperankan oleh Adinia Wirasti. Kekaguman Marissa terhadap kemampuan peran Adinia terbukti dengan interaksi yang sangat baik antara keduanya saat bermain peran. “Seluruh proses (dalam film ini) sangat organis”, tutur Marissa.
“There’s no place for us here (tidak ada tempat bagi kita disini)”, ungkap Nai kepada Gia saat mereka sedang berada di taksi dalam perjalanan menembus malam Jakarta. Nai tidak dapat mengelak dari perjodohan yang telah ditetapkan untuk segera menikah, meskipun ia telah menjadi perempuan yang mapan. Terlepas dari status sosial dengan gaya hidup kelas menengah atas dengan segala kehedonannya, Nai tetaplah seorang perempuan tak punya cukup otoritas untuk menentukan sendiri siapa yang dicintainya. Ini karena ia tetap dipandang sebagai perempuan yang masih ‘kurang’ di mata masyarakat sebab statusnya yang belum menikah.
“Kalimat itu tercetus karena ingin bilang bahwa di dunia ini ada tempat-tempat dan negara-negara yang belum bisa melihat bahwa cinta itu universal, bahwa ada cinta antara orang-orang dengan gender yang sama. Padahal, saya rasa setiap orang punya hak hidup yang setara”, jelas Marissa ketika memaknai ucapan Nai tersebut.
Film ini bertahan di bioskop selama satu minggu karena harus segera tergantikan oleh film produksi luar negeri. Tidak ada reaksi publik yang negatif terhadap film ini karena konteks Indonesia saat ini dan empat tahun yang lalu berbeda. Marissa menjelaskan bahwa, serupa yang terjadi di Amerika Serikat dengan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden, Jakarta saat ini semakin terpolarisasi saat maupun paska Pilkada 2017. “Kebencian mendominasi. Saya tidak mengerti kenapa tapi posisi menghakimi dan menghujat itu semakin tebal. Kenapa kita sebegitu kejamnya dengan sesama manusia? Sekarang, semua orang hidup dalam ketakutan dan berakhir dengan saling menyakiti satu sama lain, bahkan mengancam saling bunuh karena perbedaan. Semuanya datang dari rasa takut melihat sesuatu yang berbeda dari mereka” ujar Marissa. Tak hanya itu, Marissa mengungkap dengan menjamurnya hoax melalui berbagai halaman situs yang semakin memperlebar polarisasi dan menjadi alat untuk memojokkan kelompok tertentu. Situasi ini akan menyulitkan film-film seperti Selamat Pagi, Malam untuk muncul di ranah arus utama.
Memulai Perbincangan: Inspirasi dari Sang Ibu Tercinta
Di tengah situasi politik yang memanas, penegakan hukum yang tak menentu, ketakutan yang berlebihan di masyarakat tentang suatu kelompok dan berita-berita bohong yang disebarluaskan tanpa henti sehingga memelihara kebencian, bagaimana kita memulai perbincangan tentang, yang Marissa tegaskan, sebagai cinta universal?
“Selamat Pagi, Malam adalah awal dari perbincangan itu. (Dari situ) orang-orang akan datang dan menyampaikan cerita mereka, dan saya akan mendengarkan. Lakukan dari hal yang paling sederhana: dengarkan tanpa menghakimi karena kita sama-sama manusia. Dan ini bisa dilakukan untuk apapun dan siapapun, ngga peduli kamu ada di kelompok yang mana”, jelas Marissa.
Tindakan untuk mendengarkan tanpa menghakimi tak terlepas dari hal-hal dasar yang dipesankan sang ibu pada Marissa, yaitu untuk berbuat baik pada sesama manusia, siapapun dia dan apapun latar belakangnya. “Ibu saya suatu saat bilang: Nak, di luar sana ada banyak pelacur dan kamu sama sekali tidak boleh menghakimi mereka. Kenapa? Karena bisa jadi mereka sangat kepepet, terjebak dalam kondisi lingkungan yang sangat sulit sementara mereka harus menghidupi anaknya, dirinya sendiri atau keluarganya. Karena tersudut atau kepepet, mereka melakukan semua hal sampai harus menjual tubuhnya sendiri. Mereka itu menderita”, tutur Marissa.
Pelukan Gia dan Nai: Akhir Cerita Selamat Pagi, Malam dan Awal untuk Membayangkan Perasaan Keterasingan Sebenarnya
Gia dan Nai akhirnya tiba di sebuah kamar hotel dimana mereka berbincang santai di dua tempat tidur yang mereka gabungkan jadi satu:
“Nai, emang kamu mau ke South Africa (Afrika Selatan) sama siapa? Kok tadi aku bilang mau ikut, kamu diem aja?”
“My husband, my future husband. I’m getting married (Suamiku, calon suamiku. Aku akan menikah). Gia, aku ngga mau jadi gudang anak, I am afraid (Aku takut)
“Just don’t then. Press the button, restart. Just like in the video game, press the button and we restart. (Kalau begitu, jangan. Tekan tombolnya, dan mulai dari awal. Seperti dalam permainan, tekan tombolnya dan kita mulai lagi).”
“I can’t. (Aku ngga bisa).”
Perbincangan berhenti sampai disitu. Tidak ada lagi kata yang keluar, tidak ada lagi penjelasan maupun tanggapan. Gia dan Nai menari bersama dan saling berpelukan. Dan film Selamat Pagi, Malam berakhir. Apakah sesungguhnya perbincangan mereka berdua tentang cinta universal tersebut selesai? Sepertinya tidak. Perbincangan mereka tak lagi disampaikan secara verbal, lewat ucapan-ucapan, melainkan dengan merasakan dan membayangkan tentang kekalutan, kebingungan dan perasaan terasing.
“Saya cuma bisa membayangkan (tentang orang-orang yang sehari-hari bergelut dengan situasi itu) tapi tidak pernah bisa dengan utuh memahami bagaimana perasaan mereka. Saya membayangkan pasti sangat sulit, menyakitkan dan membingungkan. Misanya ketika saya tinggal di Inggris. Jika mereka tidak menerima saya; sebagai orang Asia, rambut hitam, dan kulit yang lebih gelap dari mereka, saya akan sangat sedih dan depresi karena merasa sangat sendiri. Jadi, cara untuk bertahan adalah menemukan orang-orang yang sama seperti saya, entah sesama orang Indonesia atau Asia. Hanya untuk mendapatkan sistem dukungan. Hidup, menurut Buddha, adalah penderitaan. Life is suffering. Life is Dukkha. Tapi ketika kita sudah menerima fakta bahwa hidup itu penderitaan maka dari itu kita akan berjuang untuk membuat diri kita dikelilingi oleh orang-orang yang akan membuat hidup kita sedikit lebih baik dan bisa kita jalani setip harinya”, ungkap Marissa.
Tabumania, apakah kita akan sampai pada masa dimana cinta universal itu memang bisa kita rayakan sehingga perasaan asing, jauh dari rumah sendiri bisa kita lewati? Marissa Anita mengingatkan kita, “Selama masih ada yang mau memperjuangkan dan selama orang-orang itu tidak lelah, suatu saat, semoga kita masih melihat saat hidup. Jika tidak, ya, cucu-cucu kita yang melihat”.
Jadi, yuk kita mulai dan gulirkan terus perbincangan ini!
0 comments on “Marissa Anita dan Selamat Pagi, Malam: Membincangkan Cinta Universal”