Tabumania, saat terlahir ke dunia, manusia adalah setara. Tidak ada manusia yang lebih tinggi derajatnya dibanding yang lain. Ketika masih bayi, menangis menjadi satu-satunya cara kita berkomunikasi. Lalu, seiring beranjaknya usia, kita mengenal bahasa dan berkomunikasi berdasarkan berbagai atribut sosial yang ‘ditempeli’ kepada kita yang selanjutnya membentuk pribadi kita.
Seringkali kita nyaman dengan apapun yang sudah ditetapkan bagi kita. Bahkan, terkadang kita tak menerima jika ada orang-orang yang berbeda dengan kita. Orang-orang inilah yang mengajak kita untuk mempertanyakan kembali dan mendefinisikan ulang tentang berbagai hal, termasuk identitas yang dianggap sudah melekat begitu saja sedari awal.
Saat ini, sepertinya keragaman bukanlah menjadi satu kekayaan manusia, namun berbeda berarti dianggap bermasalah, bahkan tak jarang dianggap sebagai musuh. Mari berpikir sejenak, bukankah lebih indah jika mengganti kata perbedaan dengan keragaman? Kata perbedaan menegasikan antara “saya” dengan “anda”. Sementara, keragaman mengajak kita merayakan bermacam variasi dan keunikan masing-masing sebagai anugerah hidup.
Pengetahuan adalah kunci untuk memahami, termasuk ketika Tabumania ingin membudayakan keragaman, termasuk ragam seksualitas didalamnya. Bukti sejarah menunjukkan bahwa Indonesia sudah berabad-abad lamanya bersentuhan dengan keragaman ini, seperti yang ditunjukkan patung Ardhanarishvara di Museum Medan Merdeka, Jakarta. Patung tersebut melambangkan tiga unsur; Tuhan, setengah perempuan dan setengah laki-laki yang menyerupa dalam satu bentuk. Selain itu, di Sulawesi Selatan dikenal pula Bissu, pendeta Bugis kuno yang tidak bergender laki-laki maupun perempuan. Mereka merupakan pemuka kepercayaan lokal bernama Tolotang, sebuah paham yang dianut oleh komunitas Amparita Sidrap masyarakat Bugis. Bissu merupakan entitas manusia yang tidak terikat oleh dikotomi gender apapun. Mereka diyakini merupakan pihak netral yang harus terbebas dari unsur ragawi manusia pada umumnya.
Warisan sejarah dan budaya ini juga perlu kita lihat wujud semangatnya saat ini lewat inisiatif sosial yang menyerap keragaman menjadi sesuatu yang luar biasa, bahkan mampu mengasah kreativitas para penggeraknya untuk mampu menyampaikan pesan yang positif kepada publik. Qbukatabu mendapatinya di sebuah komunitas: 100% Manusia. Mendengar namanya saja, sudah bisa terbayang visi mereka untuk merayakan kemanusiaan dengan segala keragamannya. Qbukatabu berkesempatan mewawancarai Rain Cuaca, salah satu inisiator 100% Manusia.
Rain bercerita bahwa terbentuknya 100% Manusia dilatarbelakangi oleh sikap intoleransi yang semakin meningkat, khususnya pada momen pemilihan presiden Indonesia tahun 2014 silam. Ia merasa khawatir karena tingginya intoleransi menjadi preseden buruk, khususnya bagi mereka yang dianggap liyan dalam konteks sosial. Kelompok semakin terkotak-kotak dan stigma negatif dengan sangat mudah dilabeli pada individu. Nama 100% Manusia dipilih karena terlepas dari apapun latar belakang sosial, agama, hingga keragaman seksualitas, kita tetaplah manusia. Oleh karena itu, sikap menghargai dan memanusiakan manusia penting untuk dikedepankan.
Kegiatan ‘Festival Film 100% Manusia’ adalah cara utama komunitas ini untuk memperkuat kesadaran masyarakat dan menciptakan sebuah wadah di mana keragaman dapat dirayakan, bahkan diaktualisasikan ke dalam upaya-upaya kreatif. Salah satu bentuk kerja kreatif ini diantaranya adalah lewat pemutaran dan bedah film. Film menjadi salah satu medium yang dianggap efektif untuk menyampaikan pesan kepada publik karena memiliki kekuatan visual dan mampu merangsang imajinasi kepada para penontonnya. Pasca pemutaran, kemudian dibuka sesi diskusi untuk mengurai film-film yang sudah bersama ditonton. Aspek yang dibedah antara lain dari segi proses pembuatan, sinematografis hingga muatan-muatan nilai yang terkandung dalam film.
Festival Film 100% Manusia pertama kali diselenggarakan pada tanggal 22 September hingga 1 Oktober 2017. Rencananya, agenda festival akan digelar setiap tahun. Selama satu minggu, festival ini memutar film-film dengan tema hak asasi manusia, gender, seksualitas dan HIV/AIDS. Beberapa film yang pernah diputar antara lain berjudul: Girls Lost, In Time A Poetry Shines, On The Origin of Fear dan Pria. Sebagian besar film adalah karya para sineas Indonesia, dan turut diputar pula film yang berasal dari Austria, Swedia, hingga Prancis.
Selama proses penggarapan hingga pelaksanaan acara, Rain menjelaskan bahwa organisasinya bersifat inklusif, terbuka untuk siapa saja yang ingin bergabung. Ia menambahkan, bahwa sistem volunteer atau relawan dipilihnya untuk mendukung program yang digalakkan. Kesempatan relawan ini terbuka untuk semua kalangan, terlepas dari keragaman agama, etnis, pendidikan hingga seksualitas mereka.
Isu tentang keragaman seksualitas menjadi salah satu tema sentral bagi 100% Manusia karena pada dasarnya hal tersebut masuk dalam perlindungan hak asasi manusia secara universal. Keragaman seksualitas masih dianggap sebagai isu yang sensitif bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, sama halnya dengan isu-isu minor lain semisal agama penghayat, difabel, kesehatan mental dan HIV/AIDS. Menurut Rain, tema ini penting untuk diangkat karena sangat berkaitan dengan jati diri seseorang, bagaimana ia mendefinisikan tubuhnya dan memiliki otoritas terhadap tubuh. Rain juga menekankan mengenai pentingnya berjejaring jika memiliki identitas gender atau orientasi seksual yang diluar arus utama dan 100% Manusia merupakan salah satu wadah yang mampu menampung aspirasi tersebut.
Baginya, memang tidak mudah untuk membudayakan keragaman seksualitas apalagi jika dibenturkan secara serampangan lewat argumen-argumen moralis sebagaimana banyak diberitakan oleh media di Indonesia. Namun demikian, saat ini sebetulnya ruang untuk membuka diri sudah mulai banyak bermunculan. Ia menuturkan bahwa setiap individu, apapun seksualitasnya, harus membuka diri dan memperluas wawasan yang mencakup pengetahuan akademik hingga budaya. Dengan dua modal tersebut, individu mampu melihat peta-peta sosial atau wadah yang mampu membuat mereka merasa lebih diakui. Selain itu, banyak membaca dan mengakses informasi adalah keharusan, terutama di era digital dimana orang mampu berinteraksi lintas batas negara sekali pun. Mudah sekali untuk mendapatkan literatur, film-film bermutu, hingga artikel yang mumpuni soal keragaman seksualitas. Ini akan membuat peluang bagi kita untuk mengeksplorasi diri semakin baik.
Ungkapan tak kenal maka tak sayang sepertinya adalah istilah universal yang tepat untuk membuka interaksi. “Orang yang kontra dengan keragaman seksualitas sebetulnya adalah mereka yang menutup diri, dan hanya meyakini sesuatu yang membuat mereka nyaman”, tutur Rain. Untuk itu, Tabumania perlu segera memulai untuk berinteraksi dengan keluar dari zona nyaman kita masing-masing.
100% Manusia yang baru berdiri satu tahun ini terus mengupayakan peningkatan kualitas kegiatannya. Mereka berharap, lewat medium film yang sifatnya cair dan tidak mendoktrinasi orang lain, kegiatan mereka mampu menyentuh banyak pihak dan semakin sadar akan pentingnya keragaman. Film merupakan salah satu medium yang efektif untuk memperkenalkan ragam seksualitas karena ia hadir untuk berdialog, menawarkan sebuah cerita yang kemudian dicerna oleh mereka yang menontonnya. “Semoga suatu hari perbedaan bukanlah sesuatu yang dibenci, tetapi dirayakan dan dihargai,” tutup Rain.
Tabumania, 100% Manusia sudah memulai. Lewat pemutaran dan diskusi film, mereka membuka jalan bagi siapa saja untuk berkomunikasi, bertukar pikiran hingga kita saling mengenal satu sama lain. Sekarang, saatnya giliranmu untuk bergerak, sesuai dengan minat dan bakat kita masing-masing tentunya!
0 comments on “100% Manusia: Berdialog tentang Keragaman Lewat Film”