Buka Perspektif

Membuka Ruang Sekaligus Menjadi Liyan

Tabumania, pernahkah terpikir mengenai kondisi kelompok yang terdiskriminasi bahkan rentan menerima kekerasan karena mereka dianggap liyan? Singkat definisi, liyan ialah mereka yang dianggap “lain”, berbeda, dan seringkali terasing dari interaksi sosial. Liyan –baik sendiri maupun bersama-sama—tentu saja mereka yang kerapkali mengalami pengurangan hak, karena terepresi oleh lingkungan sekitar, negara bahkan unit keluarga.

Tak dipungkiri, masyarakat kita kini banyak ‘dijejali’ oleh suara dominan. Mereka yang menyatakan keragaman rentan dikritik secara tajam lewat argumen-argumen moralitas. Seolah-olah empati atas keragaman bertentangan dengan moral itu sendiri. Karena berkaitan dengan moralitas, mereka yang dianggap liyan kerap bukan hanya mengalami pengurangan hak, namun juga stigma – tak terkecuali dengan orang-orang yang memiliki identitas gender beragam.

Mengenai keragaman gender, Judith Butler, seorang filsuf dan feminis, membongkar pengertian gender dengan lebih dalam dan kaya. Baginya, gender bukan hanya sekedar konstruksi sosial, tetapi juga performativitas. Apa yang dimaksud performativitas? Artinya, gender merupakan bagian dari citra diri manusia yang diproduksi terus-menerus dan tidak terikat secara pasti. Kata “terus-menerus” menjadi penekanan karena bisa saja produksi identitas antar satu orang dan lainnya berbeda. Dengan demikian, kemungkinan-kemungkinan dalam gender akhirnya tidak selalu mengikuti pola-pola dominan yang selama ini dipahami. Ia tidak pernah biner dan ajeg.

Belajar dari Butler, saya menafsirkan bahwa ada pesan implisit mengenai identitas gender. Butler secara tidak langsung “mengajak” kita untuk “selesai sejak dalam pikiran” dalam melihat bagaimana keragaman gender sebagai bagian dari sistem sosial. Dalam Komunitas Penggerak Irama Budaya Sinar Nusantara yang diulas di edisi Qbukatabu bulan lalu, Thandak Ludruk tak hanya berarti pemain berjenis kelamin laki-laki dengan mereka gaya dan citra feminin di atas panggung, namun juga bisa berarti pemain transgender. Melalui argumen Butler, kita melihat performativitas dan interseksi isu dalam gender. Kelompok Penggerak Irama Budaya menunjukkan bahwa dengan identitas gender yang bisa “dikonstruk” secara dinamis, menghasilkan bentuk kesenian rakyat yang kaya, karena mereka mengusung identitas gender dan seni pada kegiatan mereka.

Tabumania, perlu kita akui bahwa inklusivitas ini tidak mudah diterapkan di Indonesia, apalagi terbentuk menjadi kesadaran. Realitanya, para transgender masih menerima stigma masyarakat, ditambah dengan tantangan melalui nilai-nilai berbasis moralitas, bisa lewat agama, budaya atau adat. Situasi ini mencuat di 2016, saat sebuah kelompok studi tentang seksualitas yang terdiri dari mahasiswa Universitas Indonesia menuai keberatan dari pihak universitas karena dianggap menggunakan logo universitas untuk mendukung kelompok LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender). Kejadian ini tak hanya membuat Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi mengeluarkan pernyataan yang melarang LGBT untuk masuk kampus, namun juga reaksi dari para warga net yang mendukung pernyataan tersebut demi memegang teguh pakem moral. Akhirnya, tidak jarang wacana-wacana stigma menuai puncaknya secara sepihak. Padahal, belum tentu mereka pernah berinteraksi secara langsung dengan transgender.

Menyadari semakin mengerucutnya ruang untuk menghargai keragaman, bukan berarti tidak ada yang tidak dapat kita lakukan. Ketika saya berdiskusi mengenai kelompok transgender di organisasi Perempuan Mahardhika, saya mendengarkan penuturan dari kawan-kawan transgender yang merupakan penyintas. Mereka menyampaikan bahwa yang mereka butuhkan minimal adalah saling menghormati keragaman gender. Hormat: sebuah pesan yang sangat umum kita dengar dalam kehidupan sehari-hari, tapi ternyata begitu berat untuk dilakukan. Tentu, hormat bisa kita peroleh jika kita membuka pikiran dan kedua telinga kita untuk mendengarkan dan menyelami pengalaman orang lain. Lalu setelahnya membayangkan bagaimana jika situasi yang dialami orang lain terjadi pada kita. Membayangkan bagaimana jika diri kita menjadi liyan.

Saya teringat sebuah kelompok bernama Aswat di tanah Palestina yang merupakan rumah bagi transgender, biseksual dan lesbian Palestina. Kelompok ini tak hanya memperjuangkan keragaman gender dan seksualitas, tapi juga aktif dalam melawan okupasi Israel terhadap tanah jajahan mereka. Israel menjustifikasi kependudukan mereka atas Palestina melalui pinkwashing, di mana mereka meyakinkan bahwa hak-hak LGBT Palestina hanya akan terakomodir melalui Israel, bukan Palestina dan Timur Tengah. Isu ini sarat akan politik dan kedaulatan negara, dan kelompok Aswat menjawabnya dengan lantang. Mereka mengatakan tidak atas “tawaran menggiurkan” ini. Meskipun mereka liyan bagi masyarakat Palestina, tapi mereka menjadi bagian dari masyarakat yang menolak penjajahan atas tanah Palestina. Mereka tetap berpijak bahwa pembebasan tanah Palestina berarti pembebasan bagi kaum LGBT, pembebasan bagi segenap manusia. Bagaimana dengan kita? Ketika tanah air kita sudah terbebas dari penjajahan fisik dan ruang kemerdekaan sudah terbuka, sudah seluas apa ruang yang kita buka untuk mempertahankan kemerdekaan, yang berarti mempertahankan martabat kemanusiaan itu sendiri? Mulai hari ini, mari kita terus bertanya satu hal: “Sudahkah kita menjadi liyan hari ini? (Fini Rubianti)

(Fini Rubianti menyenangi studi Gender dan HAM, ia tengah berpikir bagaimana cara melestarikan lenong perempuan untuk identitas betawi pinggiran sepertinya. Pegiat diskusi emperan dan penyuka film horor. Merasa beruntung (lebih tepatnya narsis) diberi nama Fini, karena pada kata (F)em(ini)sme terkandung namanya. Bisa dikontak di finirubianti@gmail.com) 

Portal pengetahuan dan layanan tentang seksualitas berbasis queer dan feminisme. Qbukatabu diinisiasi oleh 3 queer di Indonesia di bulan Maret 2017. Harapannya, Qbukatabu bisa menjadi sumber rujukan pengetahuan praktis dan layanan konseling yang ramah berbasis queer dan feminisme; dan dinikmati semua orang dan secara khusus perempuan, transgender, interseks, dan identitas non-biner lainnya.

0 comments on “Membuka Ruang Sekaligus Menjadi Liyan

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: