“(Awalnya adalah orang lain, di luar dirimu, yang membuat dirimu mengenali dirimu) … (Akhirnya adalah dirimu sendiri, mesti dan hanya dirimu, yang mengenali dan memahami dirimu.)” (Nukila Amal, 2003:204)
Pernahkah Tabumania merasa bahwa kita bukanlah diri sendiri? Pernahkah berpikir bahwa kita cuma robot yang diatur lingkungan sekitar? Pernahkah mendengar bahwa kita harus selalu logis dan masuk akal? Pernahkah mendengar bahwa kita harus realistis dan kadang harus mengubur ambisi dan mimpi-mimpi dalam hati saja? Kalau ada satu saja yang dijawab pernah dari pertanyaan-pertanyaan tadi, maka saya, kamu, dan kita senasib dengan Maya, tokoh perempuan dalam Cala Ibi karya Nukila Amal.
Maya adalah kita, para perempuan yang terpaksa tunduk dengan ramainya kota besar dan bisingnya mesin-mesin faksimili dan komputer di perkantoran. Maya adalah kita, para perempuan yang dieksploitasi perusahaan dan patriarki untuk keuntungan mereka semata. Maya adalah kita, para perempuan yang terpaksa bergulat selamanya dengan “huruf-huruf angka-angka, berhitung beranalisa” dan “apa saja yang menaikkan adrenalin” tapi “tidak boleh marah” karena “amarah hanya energi negatif yang akan menghanguskan diriku seperti api.” (2003:105)
Maya yang digambarkan Nukila Amal sangat menyedihkan. Maya cuma jadi alat perusahaannya, cuma jadi alat untuk meraup pundi-pundi bagi perusahaannya. Maya adalah seorang perempuan dan seorang proletar. Dua hal yang seringkali dilekatkan pada perempuan. Perempuan bekerja yang efisien alias bisa kerja cepat, akurat, dan banyak layaknya mesin. Perempuan bekerja yang profesional alias tidak boleh melibatkan emosi sedikit pun dalam profesinya. Perempuan bekerja dikelilingi cubicle sempit yang melarangnya bersosialisasi dan menjadi dirinya.
Sampai suatu hari Maya bermimpi. Tentang dirinya yang lain. Tentang Laila, keponakannya yang masih kecil. Tentang Cala Ibi, naga yang membawanya ke Halmahera, tempat kelahirannya.
Maya yang tidak pernah percaya akan mimpi mulai penasaran saat ibunya bermimpi buruk tentang kakaknya, dan mimpi itu kejadian. Kakaknya kecelakaan. Hal ini membuat Maya akhirnya bertanya-tanya akan mimpinya sendiri yang sebelumnya hanya dikira penghias tidur. Maya bermimpi tentang namanya. Di mimpinya, Maya menjadi Maia. Dia menjadi orang lain dalam mimpinya. Huruf “y” digantikan huruf “i”. Huruf mati yang menjadi huruf hidup. Maia bertransformasi dalam mimpinya.
Maia bertemu Laila. Laila mencibirnya yang sok dewasa dan sok mapan tapi sebenarnya dibelenggu rutinitas harian tanpa protes. Laila mempertanyakan kebodohan Maya dan orang-orang dewasa lainnya yang selalu “menyimpulkan, menafsirkan, menilai, menghakimi, menamai” (2003:19). Laila menuding kelemahan konsep kehidupan orang-orang dewasa seolah-olah tanpa keraguan dan kepenasaran akan hal-hal lain diluar diri mereka.
Selanjutnya, Cala Ibi membawa Maia terbang ke tempat nenek moyangnya di Halmahera. Mimpi Maia tentang terbang digendong Cala Ibi ini seolah menandakan Maya yang mau lepas dari aturan-aturan yang selama ini ada dalam hidupnya, “sejenis terbang tanpa halangan, tanpa sabuk pengaman, tanpa tahu tujuan, tanpa kurungan badan pesawat, tanpa sesama penumpang, ajakan bicara basa basi, pramugari” (2003:34). Maia merasa bebas dari sistem kaku dan pelayanan ramah ala korporat yang terkadang membuatnya seperti robot.
Maia dan Cala Ibi yang bermimpi terbang ke Halmahera adalah bentuk perpindahan ruang yang selama ini hanya laki-laki yang boleh melakukannya. Perempuan sebelumnya dibatasi patriarki untuk berada dalam satu ranah saja, biasanya ranah domestik atau ranah privat (rumah tangga). Maya juga sebelumnya hanya percaya bahwa dirinya adalah perempuan modern yang harus selalu tunduk pada pekerjaan, logika, dan efisiensi.
Maia menjelajah ke tempat yang sebelumnya terlupakan, Mo-loku (genggaman perempuan), yang menjadi Hal-mahera (induk pertikaian). Sejarah Halmahera ternyata “pulau [yang] pernah perempuan” (2003:66) yang akhirnya “menjelma lelaki” (2003:69) karena “ia menghendaki kuasa atas apa-apa, dan tegak pada kekuasaan atas semua” (2003:68). Beberapa wilayah di Halmahera yang sebelumnya tak terjamah akhirnya rusak karena kekuasaan dan ekspoitasi berlebihan oleh para pendatang dari kota besar (korporasi). Jika dikaitkan dengan konstruksi patriarki tentang perempuan, hal ini menegaskan bahwa perempuan harus dididik oleh laki-laki. Laki-laki memegang kekuasaan atas perempuan. Perempuan yang baik siap dijadikan alat produksi yang menghasilkan (produk atau anak).
Mimpi Maya merupakan wujud pemberontakan perempuan terhadap patriarki yang mendefinisikan dan menertibkan perempuan. Mimpi tersebut merupakan usaha pendefinisian ulang identitas dan sejarah perempuan. Patriarki menertibkan perempuan agar tetap berada dalam wilayah kekuasaannya memaksa perempuan memakai “bahasa” rasio daripada “bahasa” mimpi. Lewat mimpi-mimpinya, Maya akhirnya menemukan Maia dan Mo-loku. Melalui Maia, Maya akhirnya menelusuri asal usul dan identitas dirinya.
Nukila Amal menyajikan novel yang sangat menarik. Bahasa perempuan digambarkan lewat bentuk novel yang mirip puisi. Alurnya pun bolak balik, tidak linear seperti novel pada umumnya. Nukila Amal ingin memperlihatkan bahwa perempuan, seperti kata Simone de Beauvoir, selalu berada dalam proses “menjadi”. Kehidupan perempuan selalu kompleks dan dinamis. Kehidupan perempuan adalah proses yang berlangsung sepanjang hidupnya.
(Tulisan ini pernah dimuat di prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Unisba tahun 2011)
Andhika Pratiwi adalah seorang ibu, dosen sastra Inggris paruh waktu di Universitas Al-Azhar Indonesia, penyuka buku Alice’s Adventure in Wonderland, game Sailor Moon’s Drop, berbagai film Disney dan film-film Guilermo Del Toro. Dapat dihubungi didearestmo@gmail.com
0 comments on “Maya dan Maia dalam Cala Ibi”