Tabumania,
Kali ini, #Qbukatabu dapat kesempatan untuk wawancarai Sanita Rini, sosok perempuan muda hebat yang aktif mengupayakan penghapusan #PerkawinanUsiaAnak di Indonesia.
Yuk, kita simak wawancaranya
*Qbukatabu (Q): Bolehkah diceritakan tentang identitasmu dan aktivitas sehari-harimu?*
Sanita (S): Nama saya Sanita Rini, lahir di Rembang, 9 Maret 1995. Saat ini menjadi mahasiswi Program Studi Manajemen Konsentrasi Manajemen Sumber Daya Manusia STIE YPPI Rembang. Selain sebagai mahasiswa, saya membantu orang tua dirumah, nongkrong sama teman-teman, sebagai fasilitator anak muda untuk anak dan perlindungan anak berbasis masyarakat yang fokus pada perlindungan anak, kesehatan reproduksi remaja, termasuk pernikahan usia anak.
*Q: Apa yang membuatmu sangat berminat untuk bergerak aktif dalam mengkampanyekan akhiri perkawinan usia anak?*
S: Intinya adalah karena saya merasakan, saya melihat, dan saya mendengar maka saya harus bergerak. Awalnnya saya gelisah melihat teman-teman didesa saya yang tidak sedikit dinikahkan dan tidak melanjutkan sekolah. Saya adalah korban yang hampir saja mengalami pernikahan usia anak tapi saya mampu menghentikannya. Alasan orang tua menjodohkan adalah untuk mengurangi beban keluarga, dengan harapan setelah dinikahkan beban sepenuhnya ada di suami. Pertama kali saya dijodohkan di usia 13 tahun, namun gagal karena saya keukeuh ingin sekolah. Perjodohan yang kedua dilakukan saat usia 15 tahun dengan laki-laki yang berbeda, dan saya berani menolak dengan berbicara: “Berapa uang yang habis untuk menyekolahkan saya?”. Bapak Ibu menjawab bahwa banyak uang dan tenaga yang dicurahkan untuk sekolah dan hidup saya. Lalu saya bilang, “Kalau saya terus diijinkan sekolah maka saya akan mengembalikan dan meberikan apa yang Bapak Ibu berikan, tapi kalau saya dinikahkan, maka Bapak dan Ibu tidak akan mendapatkan apa-apa dari saya.” Akhirnya, mereka luluh dan mendukung semua impian dan rencana untuk kehidupan saya. Saya punya mimpi besar untuk lingkungan saya sendiri agar banyak anak terbebas dari pernikahan usia anak sehingga bisa mendapatkan pendidikan sampai perguruan tinggi dan pekerjaan yang layak. Saya tidak sendiri untuk memperjuangkan ini karena semakin banyak orang remaja, kaum muda dan unsur pemerintahan yang mau bergerak untuk menghentikan praktik-praktik pernikahan usia anak. Ini yang membuat semangat saya semakin membara. Sekecil apapun perubahan, jika dilakukan bersama-sama, maka akan menjadi perubahan besar.
Qbukatabu (Q): Bolehkah diceritakan tentang identitasmu dan aktivitas sehari-harimu?
Sanita (S): Nama saya Sanita Rini, lahir di Rembang, 9 Maret 1995. Saat ini menjadi mahasiswi Program Studi Manajemen Konsentrasi Manajemen Sumber Daya Manusia STIE YPPI Rembang. Selain sebagai mahasiswa, saya membantu orang tua dirumah, nongkrong sama teman-teman, sebagai fasilitator anak muda untuk anak dan perlindungan anak berbasis masyarakat yang fokus pada perlindungan anak, kesehatan reproduksi remaja, termasuk pernikahan usia anak.
Q: Apa yang membuatmu sangat berminat untuk bergerak aktif dalam mengkampanyekan akhiri perkawinan usia anak?
S: Intinya adalah karena saya merasakan, saya melihat, dan saya mendengar maka saya harus bergerak. Awalnnya saya gelisah melihat teman-teman didesa saya yang tidak sedikit dinikahkan dan tidak melanjutkan sekolah. Saya adalah korban yang hampir saja mengalami pernikahan usia anak tapi saya mampu menghentikannya. Alasan orang tua menjodohkan adalah untuk mengurangi beban keluarga, dengan harapan setelah dinikahkan beban sepenuhnya ada di suami. Pertama kali saya dijodohkan di usia 13 tahun, namun gagal karena saya keukeuh ingin sekolah. Perjodohan yang kedua dilakukan saat usia 15 tahun dengan laki-laki yang berbeda, dan saya berani menolak dengan berbicara: “Berapa uang yang habis untuk menyekolahkan saya?”. Bapak Ibu menjawab bahwa banyak uang dan tenaga yang dicurahkan untuk sekolah dan hidup saya. Lalu saya bilang, “Kalau saya terus diijinkan sekolah maka saya akan mengembalikan dan meberikan apa yang Bapak Ibu berikan, tapi kalau saya dinikahkan, maka Bapak dan Ibu tidak akan mendapatkan apa-apa dari saya.” Akhirnya, mereka luluh dan mendukung semua impian dan rencana untuk kehidupan saya. Saya punya mimpi besar untuk lingkungan saya sendiri agar banyak anak terbebas dari pernikahan usia anak sehingga bisa mendapatkan pendidikan sampai perguruan tinggi dan pekerjaan yang layak. Saya tidak sendiri untuk memperjuangkan ini karena semakin banyak orang remaja, kaum muda dan unsur pemerintahan yang mau bergerak untuk menghentikan praktik-praktik pernikahan usia anak. Ini yang membuat semangat saya semakin membara. Sekecil apapun perubahan, jika dilakukan bersama-sama, maka akan menjadi perubahan besar.
Q: Di usia berapa teman-temanmu menikah? Apa yang kemudian terjadi pada mereka setelah menikah?
S: Satu angakatan saya di Sekolah Dasar hanya sisa empat orang yang belum menikah dan kami perempuan yang beruntung karena bisa melanjutkan sekolah sampai kuliah saat ini. Tidak mudah untuk ini; mengubah mindset orangtua untuk sebuah kehidupan yang lebih baik. Teman-teman saya rata-rata menikah dibawah usia 18 tahun, sekitar 14,15 dan 16 tahun. Mereka menjadi ibu rumah tangga biasa; ada yang bercerai ketika usia pernikahannya baru empat tahun dan ada yang meninggal ketika hamil sekitar 7 bulan saat usianya masih 16 tahun.
Q: Bagaimana upayamu untuk mengakhiri perkawinan usia anak di Indonesia?
S: Pertama, saya menghentikan praktik pernikahan usia anak dalam hidup saya dan berusaha menjadi role model di masyarakat mereka melihat bahwa pendidikan akan membawa kehidupan yang lebih baik. Selanjutnya, melakukan sosialisasi dan kampanye bahwa pernikahan usia anak merupakan masalah besar yang harus di hentikan karena berdampak pada kehidupan yang lebih buruk lagi, meskipun tidak mudah menghadapi mindset masyarakat yang beranggapan pernikahan adalah solusi. Di lingkungan kabupaten, saya bersama Lembaga Perlindungan Anak Rembang (LPAR) menyampaikan pesan untuk mencegah pernikahan usia anak ini ke desa -desa. Saya juga sering berbagi cerita tentang kekuatan mimpi agar anak muda, meskipun dengan keterbatasan, harus berani bermimpi dan berani mewujudkan mimpi. Pada 2015, pertama kali Pemerintah Desa dan forum anak muda di desa saya, Sanetan, membuat Peraturan Desa Sanetan No. 3/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Desa Sanetan No. 2/2015 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak. Dalam peraturan tersebut terdapat pasal yang mengatur bahwa pernikahan hanya boleh dilakukan jika anak tersebut sudah berusia diatas 18 tahun. Kondisi pernikahan usia anak di Desa Sanetan terus mengalami penurunan pada empat tahun terakhir. Sejak tahun 2015 sudah tidak ada lagi pernikahan usia anak. Padahal, sebelumnya minimal ada satu pernikahan usia anak, bahkan di tahun 2005-2006 ada 20 kasus.
Q: Bagaimana para tokoh agama dan tokoh masyarakat menilai upaya ini?
S: Pada awalnya tokoh masyarakat dan tokoh agama banyak yang menentang untuk pencegahan pernikahan usia anak. Dengan terus diberikan pengetahuan tentang dampak, akhirnya mereka sepakat untuk mendukung gerakan ini, bahkan salah satu tokoh selalu mensosialisasikan UU Perlindungan Anak dan Perdes Perlindungan Anak pada masyarakat disetiap acara pernikahan. Seain itu tokoh masyarakat juga terlibat sebagai Ketua Kelompok Perlindungan Anak Desa (KPAD).
Q: Bagaimana penilaianmu terhadap upaya pemerintah, baik lokal maupun nasional, dalam mengakhiri perkawinan usia anak?
S: Butuh usaha yang lebih keras lagi agar pemerintah dari nasional sampai lokal sepaham untuk mencegah bahkan menghentikan praktik pernikahan usia anak. Ini bukan hanya tanggung jawab satu kementrian atau dinas saja, tapi harus ada kolaborasi dan integrasi antar keduanya. Saya berharap pemerintah mengabulkan peningkatan usia perkawinan bagi perempuan, minimal 18 tahun.
Q: Apa saja tantangan yang kamu hadapi dalam upaya mengakhiri perkawinan usia anak?
S: Masyarakat yang masih menganggap bahwa pernikahan anak sebagai solusi dari masalah sosial dan ekonomi, anak perempuan itu sendiri yang mengganggap bahwa pernikahan itu akan membuat mereka bahagia karena tidak terpisahkan dengan pasangan, namun tanpa berfikir kehidupan selanjutnya. Selain itu, masih banyak masyarakat yang tabu dengan topik kesehatan reproduksi remaja dan tidak sedikit dari mereka menganggap sosialisasi kesehatan reproduksi remaja ini malah mengakibatkan remaja hamil diluar nikah. Ini tantangan terbesar: untuk kembali meyakinkan masyarakat pentingnya materi kesehatan reproduksi remaja untuk orang tua itu sendiri dan anak ataupun remajanya. Pemerintah pun masih banyak belum tegas untuk menentang hal ini, bahkan masih ada pasal di dalam UU Perkawinan yang memperbolehkan menikah di usia 16 tahun untuk perempuan.
Q: Apa pesanmu untuk remaja perempuan yang saat ini sedang menghadapi situasi dimana orangtua mereka memaksa menikah di usia muda?
S: Percaya pada mimpi yang sudah dibuat dan berani untuk mewujudkan mimpi. Ceritakan mimpi-mimpi kalian pada keluarga dan tanyakan apa harapan keluarga terhadap kita (ini yang pernah saya lakukan dan terus saya lakukan sampai saat ini). Banyak ikut dan aktif berorganisasi agar tau dampak dari perilaku seks beresiko. Harus tegas dan bijak dengan janji-janji manis karena banyak masa depan yang hancur karena janji manis itu. Lalu, menolak [orang tua] itu bukan berarti durhaka, komunikasikan dengan baik dan yakinkan diri kita bahwa penolakan adalah keputusan terbaik untuk kehidupan yang lebih baik.
Q: Lalu, apa pesanmu untuk orang tua yang meminta anaknya untuk segera menikah?
S: Kenalkan kesehatan reproduksi remaja pada anak sejak dini jangan men-tabukan hal ini, bangun komunikasi yang baik dengan anak agar sama-sama tau tentang sebuah pengharapan dan mimpi. Saya tahu ini sulit, tapi [bagi] Bapak Ibu yang masih menikahkan anaknya diusia dibawah 18 tahun, yakin masih mau menyumbang jumlah kemiskinan di negara ini? Bapak Ibu punya peran yang besar untuk menjadikan negara ini lebih sejahtera yaitu dengan tidak menikahkan anak-anak dibawah usia 18 tahun. Jaga, didik, dan jadilah sahabat [bagi] anak. (ED)
“Percaya pada mimpi yang sudah dibuat dan berani untuk mewujudkan mimpi. Ceritakan mimpi-mimpi kalian pada keluarga dan tanyakan apa harapan keluarga terhadap kita (ini yang pernah saya lakukan dan terus saya lakukan sampai saat ini). Banyak ikut dan aktif berorganisasi agar tau dampak dari perilaku seks beresiko. Harus tegas dan bijak dengan janji-janji manis karena banyak masa depan yang hancur karena janji manis itu. Lalu, menolak [orang tua] itu bukan berarti durhaka, komunikasikan dengan baik dan yakinkan diri kita bahwa penolakan adalah keputusan terbaik untuk kehidupan yang lebih baik”
(Sanita Rini)
——————————————————-
Nah, itu dia penggalan wawancara Tim Qbukatabu dengan Sanita Rini Part II 🙂 semoga Tabumania bisa terinspirasi dengan penggalan wawancara #Sosok di #Qbukatabu bulan ini.
Banyak cinta untuk Tabumania
0 comments on “Sanita Rini, Merebut Ruang Untuk Masa Depan Perempuan Lebih Baik”