Buka Akses

Ngomongin Aborsi Aman Lewat Seni

Tabumania, membicarakan aborsi masih terbilang tabu di Indonesia dan beberapa negara lain. Untuk itu perlu selalu untuk dibicarakan dan diangkat dalam berbagai kesempatan termasuk dalam ruang-ruang diskusi. Seperti halnya Februari lalu Qbukatabu berkesempatan berpartisipasi dalam Abortion and Reproductive Justice Conference (ARJC 2024): The Unfinished Revolution IV di Bangkok. Vica, Direktur Eksekutif Qbukatabu, menghadiri konferensi yang dilaksanakan pada 16 hingga 18 Februari 2024. Konferensi ini diselenggarakan oleh The Asia Safe Abortion (ASAP). ASAP adalah satu-satunya jaringan advokasi hak aborsi yang aman di Asia dan memiliki mitra maupun anggota di 23 negara di kawasan Asia Selatan, Asia Tenggara, Asia Barat Daya, Oseania, dan kawasan pasifik. 

Sejarah singkat konferensi ini mengutip dari situs https://arjc2024.asap-asia.org/ dimulai di Kanada di Universitas Prince Edward Island dan sejak itu diselenggarakan oleh Universitas Ulster, Irlandia Utara , dan Universitas Rhodes, Afrika Selatan. Konferensi ini bertujuan untuk mempertemukan akademisi dan aktivis. Selain itu juga menyediakan forum untuk pembelajaran dan penyusunan strategi bersama serta membangun jaringan mengenai isu-isu aborsi dan keadilan reproduksi. Keadilan Reproduksi adalah teori dan kerangka kerja yang diciptakan oleh 12 perempuan kulit hitam pada tahun 1994. Hal ini dilakukan untuk mengatasi banyaknya penindasan yang berdampak, saling bersinggungan, dan tumpang tindih terhadap kehidupan mereka. Di dalam konferensi tersebut juga mendiskusikan tentang interseksionalitas yang menyatakan bahwa orang memiliki pengalaman dan peluang hidup berbeda-beda berdasarkan bagaimana kategori identitas, seperti ras, kelas, gender, seksualitas, dan berinteraksi satu sama lain menurut Kimberle’ Crenshaw. Keadilan reproduksi menjelaskan bagaimana orang-orang yang tertindas karena identitas interseksionalnya juga mengalami tingkat penindasan reproduksi yang lebih tinggi. Artinya, seringkali lebih sulit bagi kelompok tertindas untuk mengakses layanan kesehatan karena beberapa faktor seperti pendidikan, pendapatan, lokasi geografis, status imigrasi, dan potensi kendala bahasa. Kerangka keadilan reproduksi bersifat global dan telah dikembangkan oleh perempuan kulit lainnya, meskipun diciptakan oleh perempuan kulit hitam.

Satu hari sebelum konferensi dimulai, 15 Februari 2024, diadakan pre-konferensi yang menawarkan beberapa sesi diskusi dengan topik yang beragam. Di sesi pagi pre-konferensi, Vica mengikuti sesi Disobedient Bodies: Using theatre to embody resistance yang difasilitasi oleh Ayesha Susan Thomas. Sesi ini menggunakan pendekatan seni sebagai media aktivisme. Seni yang diberikan berkaitan dengan storytelling dalam konteks aktivisme pada isu-isu yang sensitif. Seperti di Indonesia, beberapa perwakilan dari negara-negara di Asia Selatan juga menyampaikan bahwa isu aborsi dan keadilan untuk kesehatan reproduksi  masih dianggap tabu terutama bagi perempuan, perempuan muda, dan Transgender. Tantangan tersebut datang dari budaya dan agama yang membuat akses informasi dan layanan menjadi terbatas. Dalam sesi ini, Vica dan peserta lain berbagi tentang kerja seni yang sudah pernah dilakukan serta berdiskusi tentang pentingnya storytelling dalam mengkampanyekan isu yang masih dianggap tabu dan sensitif. Di sesi siang, Vica juga masih mengikuti sesi yang terkait dengan artivism yakni Reproductive Citizenship: Where Does Abortion Fit in This Concept and can we capture it empirically yang difasilitasi oleh Catherine Conlon. Dalam sesi ini, salah satu aktivitasnya yakni membuat zine. Vica bersama dengan peserta lainnya diberikan 8 prompt dalam mengembangkan zine tersebut yang merupakan alat kampanye tentang isu aborsi dan kesehatan reproduksi. Beberapa prompt yang diberikan seperti ‘apa yang kamu pikirkan tentang aborsi’, ‘apa yang kamu pikirkan tentang kesehatan reproduksi’ dan lainya.. Vica merasa cukup senang dan bersemangat saat mengikuti sesi pre-conference. Hal tersebut, dikarenakan pre-conference menjadi ruang untuk diskusi dan mengeksplorasi artivism dengan durasi lebih panjang, dibandingkan dengan konferensi yang hanya satu jam diskusi.

ARJC 2024 digelar keesokan haarinya. Dalam konferensi tiga hari, partisipan berbagi pengalaman tentang kerja yang sudah dilakukan untuk mewujudkan layanan aborsi yang aman dan pemenuhan keadilan terkait kesehatan reproduksi termasuk cerita keberhasilan dan tantangan/hambatan yang dialami. Peserta yang hadir dalam konferensi ini bukan hanya aktivis dan penggerak komunitas tapi juga dari akademisi, peneliti, tenaga medis (dokter, suster, bidan), mahasiswa kedokteran/keperawatan/kebidanan, relawan, politisi, dan juga lembaga donor.

Berdasarkan catatan dari Vica, di hari pertama konferensi dibuka oleh Dr. Subrata Jayaraj, Chair Asia Safe Abortion Partnership (ASAP). Dr. Subrata menceritakan pengalaman kerja-kerjanya selama di Malaysia di mana organisasinya menjadi satu-satunya penyedia layanan aborsi aman. Dalam kesempatan tersebut, ia mengisahkan layanan aborsi aman masih menjadi tantangan di banyak negara. Masih banyak misoginis dan patriarki dalam dunia medis. Selain itu percakapan tentang aborsi masih menjadi diskusi antara kehidupan dan kematian (life and death). Menurutnya, aborsi aman seharusnya bisa diakses semua orang tanpa terkecuali identitas gender yang dihayati. Tidak ada yang bebas dari kekerasan dan diskriminasi sampai semua orang terbebas (none of us free until everyone is free).

Setelah dibuka oleh Dr. Subrata, konferensi selanjutnya yaitu diskusi panel pertama tentang pengalaman beberapa komunitas dalam menyediakan layanan untuk mengakses reproductive justice. Beberapa narasumber dalam diskusi tersebut menceritakan pengalaman para pencari layanan untuk mengakses reproductive justice dari Afganistan, Lebanon, Kenya, Palestina, East Europa, Ukraina, dan India. Seema Gahani memaparkan bahwa 9 dari 10 perempuan di Afganistan diperkosa oleh Taliban dan banyak dari mereka yang dipenjara dan tidak bisa mengakses layanan aborsi aman ditambah tantangan dari kelompok agama sebagai negara mayoritas Islam. Saat itu terdapat juga kesempatan untuk      Catherine Osita menceritakan tantangan dalam mengakses layanan aborsi aman bagi pekerja seks di Kenya. Selanjutnya, Galina Maistruk melalui video menyampaikan bahwa Ukraina melegalkan aborsi. Namun, stigma dan diskriminasi terhadap pengakses layanan aborsi dari kalangan medis tetap terjadi sehingga masih banyak layanan aborsi yang diakses tidak aman bagi kesehatan perempuan.      Rafi Maestro dari Lebanon dan Medea dari Georgia (East Europe) menceritakan pengalaman dalam memberikan layanan hotline untuk konseling Sexual and Reproductive Health and Rights (SRHR) termasuk kehamilan tidak diinginkan (KTD), aborsi aman, kesehatan reproduksi, kesehatan bagi trans person, sexually transmitted infection (STI). Sementara itu, Nandini dari India menyampaikan salah satu program ASAP untuk memastikan inklusi dalam pendidikan tentang reproductive justice dengan menggunakan bahasa isyarat. Program tersebut sudah dilakukan di beberapa negara termasuk Indonesia (tabumania bisa melihat video SRHR tentang siklus menstruasi di kanal YouTube @ASAPasia). Tak kalah menarik saat di sesi tanya jawab juga menyampaikan bahwa pentingnya untuk memastikan narasi yang digunakan dalam ruang diskusi mengenai layanan aborsi aman bukan hanya perempuan (women) tapi juga non-biner.

Konferensi tersebut juga mendatangkan para penyedia layanan seperti dokter, konselor, petugas kesehatan, suster yang menyampaikan pengalamannya dalam memberikan layanan aborsi aman di negara-negara mereka seperti Melbourne (Australia), India, dan Indonesia dalam sesi diskusi panel kedua.  Situasi di India menunjukkan kontradiksi dalam aturan dan kebijakan terkait aborsi medis yang ilegal dengan seleksi seks, yang mana ada banyak upaya penghentian kehamilan jika orang tua tidak menginginkan bayi perempuan lahir. Para penyedia layanan aborsi aman di India tersebut juga menjadi soft target terhadap stigma, diskriminasi, dan kekerasan. Sedangkan di Kenya, banyak penyedia layanan memiliki conscientious objectives dan biasanya dipengaruhi oleh moral dan agama/ keyakinan. Di Indonesia, aborsi masih ilegal kecuali ada dalam dua kondisi yaitu pertama, kondisi kesehatan ibu hamil yang mengalami kedaruratan/bahaya (mothers medical emergency). Kedua, korban kekerasan seksual dengan usia kehamilan di bawah 14 minggu. Dalam kesempatan tersebut juga dijelaskan mengenai petugas kesehatan profesional yang masih memiliki stigma dan diskriminasi terhadap pre-martial marriage sehingga banyak perempuan muda (girls) tidak memiliki akses untuk kontrasepsi. Namun, mendukung perkawinan anak dengan anggapan bahwa hubungan seks seharusnya dilakukan dalam konstitusi pernikahan. Petugas kesehatan seharusnya menjadi sistem dukungan dalam layanan aborsi aman bukan menjadi permasalahan baru. Terlebih lagi pendidikan aborsi tidak diberikan kepada petugas kesehatan, seperti suster, dokter, dan bidan di Indonesia. Bahkan dalam sumpah jabatan sebagai dokter, terdapat salah satu pasal yang menyatakan bahwa seorang dokter harus menghormati kehidupan sejak masa pembuahan. Dalam sesi pertanyaan juga ada permasalahan yang digaris bawahi yaitu tentang afirmasi keragaman gender seperti transgender dalam layanan aborsi aman maupun dalam kurikulum pendidikan untuk petugas layanan kesehatan. Lebih lanjut, petugas layanan kesehatan juga terus diingatkan untuk bekerja sama dan tidak menyerah dalam memberikan layanan aborsi aman bagi semua orang terlepas rendahnya literasi dan rendahnya pendidikan.

Pada diskusi panel ketiga yaitu membahas pelayanan kesehatan pada sistem patriarki. Di India masih banyak kurikulum di sekolah kedokteran masih bernada patriarki, misoginis dan biner. Keragaman gender masih dianggap sebagai penyakit mental, dengan mengganti bahasa yang digunakan pada saat training atau dalam kurikulum, para dokter tidak hanya menjadi petugas yang menjalani operasi, tetapi menjadi pribadi yang melayani para pasien dan merespon dengan utuh. Perubahan terjadi, tetapi memang masih sebuah proses dan bukan hasil yang instan. Di Korea Selatan, pelajar di universitas kedokterannya masih didominasi laki-laki dan masih banyak yang menolak dekriminalisasi aborsi. Di Kenya, conscientious objectives masih berpengaruh cukup besar terhadap akses pelayanan aborsi aman dan ini banyak dipengaruhi agama. Dr. SP Choong menyampaikan bahwa ketika memahami klausa do not harm, CEDAW (no discrimination) dan Beijing principles yang menyatakan bahwa, adalah hak perempuan untuk memilih tidak memiliki atau memiliki anak melalui kehamilan. Oleh karenanya hal tersebut seharusnya bukan conscientious objectives, tetapi conscientious obligation.

Pada konferensi hari kedua membicarakan tentang kebijakan. Pada diskusi panel pertama yang membahas tentang dekolonisasi dan dekriminalisasi. Yang mana mungkin terdapat praktik aborsi aman secara tradisional yang dilakukan sebelum periode kolonialisme terlepas dari diskriminasi yang muncul karena mengambil keputusan untuk melakukan praktik aborsi. Akademisi memiliki peranan dalam melakukan kerja advokasi untuk mengubah kebijakan yang masih mengkriminalisasi aborsi. Masih banyak negara yang terjebak dalam colonial hangover, di mana kebijakan yang ada masih mengacu atau warisan dari negara jajahannya dan mengkriminalisasi dan mendiskriminasi aborsi. Menariknya, Korea Selatan berhasil untuk dekriminalisasi aborsi secara utuh setelah perjuangan panjang.

Pada diskusi panel selanjutnya, membahas mengenai pemahaman oposisi dan menjaga hak-hak (understanding opposition and safeguarding rights). Kelompok oposisi yang dipetakan bukan hanya fundamentalis dan intoleran. Motif lain selain agama, ekonomi, nasionalis, geopolitik, populis, sincere (sepenuh hati), hyper nasional. Penting juga memetakan aborsi legal bukan selalu aborsi aman.

Selanjutnya pada konferensi hari ketiga tentang membangun pergerakan. Pada kesempatan tersebut membahas tentang kehidupan bermula, berakhir dan di antaranya. Pro life bisa berarti mendukung hidup perempuan yang memutuskan untuk melakukan aborsi. Penting untuk mengetahui nilai-nilai agama dan memetakan siapa saja pemimpin umat dan kelompok apa yang menjadi umatnya.     

Vica masuk di sesi-sesi yang ada perwakilan Indonesia di dalamnya. Salah satu sesi yang ia ikuti adalah presentasi yang ada kaitannya dengan donor. Dalam sesi tersebut membicarakan peran donor yang harusnya aktif dalam mengalokasikan pendanaan untuk kerja-kerja organisasi untuk advokasi. Selain itu, ia juga mengikuti sesi tentang artivism yang mana kerja-kerjanya mirip dengan kerja Qbukatabu, seperti bikin komik, penelitian, bikin buku, dll. Pengisi sesi ini berasal dari India. Menariknya lagi kata Vica, mereka menggunakan film Bollywood untuk menyampaikan pesan dan meningkatkan perhatian (awareness) terkait isu aborsi dan kesehatan reproduksi. Hal menarik lainnya Qbukatabu memang tidak secara khusus membahas isu aborsi dan kesehatan reproduksi. Namun, hal yang membuat Qbukatabu berada dalam konferensi tersebut karena artivisme yang dilakukan dan ngomongin kesehatan seksual. Qbukatabu bisa menyampaikan isu yang sensitif, yang masih dianggap tabu, dan/atau jarang dibicarakan antar sesama kelompok muda atau komunitas penggerak feminis queer. Hal inilah yang menjadi benang merah, Qbukatabu bisa hadir dalam kegiatan tersebut. 

Tema umum konferensi adalah the Unfinished Revolution yang artinya, jadi hal yang kita lakukan sekarang (membicarakan aborsi dan kesehatan reproduksi) adalah sebuah revolusi yang dari dulu dilakukan tapi tidak finish-finish karena masih terus dilakukan. Menurut Vica karena orang yang tertarik, orang yang punya keberanian berada di isu ini dan speak up (berbicara) tentang isu ini terbatas. Hal ini terjadi bisa karena ruang yang dibatasi, lalu bertentangan dengan budaya terutama di negara-negara Asia Selatan. Lalu bagaimana dengan negara-negara seperti New Zealand, Australia, Inggris, US? Ternyata mereka juga memiliki tantangan tersendiri. Meskipun sudah ada kebijakan, bisa jadi implementasinya tidak terjadi. 

Tabumania, inilah sekilas tentang konferensi yang diikuti Qbukatabu mengenai kesehatan reproduksi dan aborsi yang ada di berbagai negara begitu pula dengan tantangan yang dihadapi. Tentu saja sekilas cerita ini belum membahas keseluruhan mengenai kesehatan reproduksi dan aborsi. Apabila tabumania memiliki kisah atau ingin berpendapat terkait hal tersebut, silakan sampaikan di kolom komentar yaaa.

1 comment on “Ngomongin Aborsi Aman Lewat Seni

  1. Herga Ragellber's avatar
    Herga Ragellber

    Saya tertarik dengan topik yang membicarakan tentang di Indonesia aborsi masih ilegal kecuali karena 2 hal tersebut yang telah disebutkan. Tetapi menikahkan anak dibawah umur dan masih muda tidak ada halangan dan ketentuannya

    Setelah saya membaca, benar juga termasuk saya pribadi kurang memperhatikan hal tersebut dan memberikan respon asalkan mereka bahagia dan suka sama suka, seharusnya hal tersebut diatur dengan ketentuan undang-undang

    Like

Leave a comment