Buka Layar

Panseksualitas dan Cinta yang Tak Berbatas

Tabumania, apakah kalian masih merasa asing ketika mendengar kata panseksual? Atau mungkin kalian pernah mendengarnya, namun belum begitu yakin tentang apa itu panseksual? Yap! Panseksual sebagai salah satu dari ragam seksualitas manusia, sayangnya masih terbatas diwacanakan di Indonesia. Pada spektrum orientasi seksual manusia, masyarakat kita lebih mengenal identitas heteroseksual dan homoseksual. Pada payung homoseksual, terdapat identitas lesbian dan gay yang memiliki porsi visibilitas wacana lebih masif dibanding dengan panseksual.

Jadi, yuk pelan-pelan kita mulai mengenal salah satu kekayaan ragam seksualitas manusia berikut ini! Panseksualitas sebagai sebuah istilah, kali pertama terpetakan pada tahun 1990-an bersamaan dengan istilah posmoseksualitas (postmodern sexuality). Keduanya mulai terbahasakan berkaitan dengan gugatan atas seksualitas tradisional, keintiman yang lebih cair, dan kajian queer yang kian berkembang. Panseksual dapat juga dimaknai sebagai proses dekonstruksi seks, gender dan seksualitas, serta bentuk perlawanan terhadap semua label, terutama yang menjunjung tinggi binerisme (Callis, 2014: 64). 

Nikki Hayfield (2021) kemudian menawarkan definisi panseksual sebagai “a term to indicate attraction to all genders across the gender spectrum or regardless of gender”. Individu dengan orientasi panseksual menghayati bahwa dirinya dapat memiliki intimasi emosional dan atau seksual terhadap orang lain tanpa memandang identitas gender orang tersebut. Elizabeth (dalam Hayfield, 2021: 8) menuturkan pula bahwa peningkatan visibilitas atas identitas trans, serta makin inklusifnya gerakan dan aktivisme, menginformasikan pula kemunculan dan popularitas panseksual. Pada konteks “era pasca-gay”, kaum muda mulai menolak definisi dan kategori seksualitas dengan binerisme yang kaku. Mereka mulai menggunakan istilah yang lebih nyaman untuk mewakili apa yang mereka rasakan

Awalan “pan-” dalam panseksual berasal dari bahasa Yunani Kuno yang berarti “semua” atau “setiap”. Namun prefiks tersebut tidak lantas dijatuhi makna secara stereotip bahwa individu panseksual menyukai semua orang. Penekanan makna “semua” merujuk pada frasa “regardless of gender” yang berarti “tanpa memandang gender orang lain”. Individu panseksual dimungkinkan bisa menyukai siapa pun tanpa mensyaratkan identitas, ekspresi gender maupun karakteristik seks orang yang ia sukai. Ini yang menjadi pembeda, misalnya, dengan heteroseksual yang menyukai orang lain harus berdasar aturan pada “lawan jenis” atau gender normatif yang berbeda dengan dirinya.

Keterbatasan wacana panseksualitas ini juga terjadi dalam lingkup akademik, lho Tabumania. Gustavson (2009) menyebutkan bahwa stigma “hiperseksual” dan “memiliki banyak mitra seksual” membuat panseksual diperlakukan tak layak mendapat perhatian empiris khusus. Hal ini berbeda dengan mereka yang termasuk dalam kategori monoseksual. Ini menunjukkan bahwa pemahaman yang keliru dan prasangka negatif terhadap komunitas panseksual masih permanen ditemui. 

Proses keintiman dalam kehidupan panseksual lebih sering pula didefinisikan dari-dan-dibandingkan dengan sudut pandang homoseksualitas dan/atau heteroseksualitas, daripada sebagai subjek studi dalam dirinya sendiri (Hammack, et al., 2019: 568). Adanya kelangkaan penelitian terhadap subjek panseksual, menyebabkan potensi untuk memandang pemahaman baru atas ragam keintiman ini menjadi terbatas. 

Monoseksisme dan Penghapusan Panseksual 

Keterbatasan wacana, visibilitas, dan representasi, membuat panseksual(itas) sebagai sebuah perspektif maupun identitas, tak banyak didengar publik. Ketiadaan validasi terhadap panseksual dalam lingkup pendidikan, pekerjaan, media, serta ruang-ruang berkehidupan lainnya, berkontribusi pada penghapusan panseksual (pan-erasure). 

Bila Tabumania coba tarik lebih dalam, akar dari pan-erasure ini adalah kokohnya bangunan binerisme gender dan seksualitas. Pada identitas gender, terdapat oposisi biner yang meneguhkan dua kategori yang seolah tidak dapat diganggu gugat, yakni (1) cisgender perempuan; individu yang ditetapkan sebagai perempuan saat lahir (AFAB/assigned female at birth) dan mengidentifikasi dirinya sebagai perempuan, serta (2) cisgender laki-laki; individu yang ditetapkan sebagai laki-laki saat lahir (AMAB/assigned male at birth) dan mengidentifikasi dirinya sebagai laki-laki.

Pada seksualitas manusia, pemahaman biner berada pada oposisi heteroseksual dan homoseksual. Keduanya menjelma konsep ajek dengan batas kuasa yang kontras, yakni heteroseksual yang dominan dan homoseksual yang liyan. Selanjutnya, wacana atas seksualitas terjebak pula pada “bila tak heteroseksual, maka ia adalah homoseksual”. Asumsi tersebut berperan kuat dalam menghapus keberadaan spektrum pluriseksual. Pluriseksual merupakan istilah yang memayungi ketertarikan manusia terhadap lebih dari satu gender. Panseksual termasuk dalam payung pluriseksual ini.  

Nah Tabumania, situasi ketimpangan ini rasanya kian lengkap, sebab setelah heteronormativitas, lahirlah mononormativitas. Terdapat asumsi normatif yang mengontrol bahwa intimasi hanya dapat dirasakan dengan cara yang tunggal dan statis sepanjang perjalanan hidup manusia (Diamond dalam Hammack, et al., 2019: 568). Struktur sosial yang bekerja bahwa setiap individu (seharusnya) adalah monoseksual, dijelaskan oleh Eisner (2013) dan Hayfield (2021) sebagai mononormativitas. Mononormativitas ini merujuk pula pada seperangkat nilai yang mengistimewakan relasi monogami sebagai sesuatu yang seolah alami. Sementara keintiman seperti poliamori, relasi terbuka (open relationship), serta relasi non-monogami lainnya, terstigma sebagai sesuatu yang salah, tercela, dan pangkal dosa.

Mononormativitas, atau disebut juga monoseksisme, mengistimewakan monoseksualitas dan menegasikan yang lain. Monoseksual merupakan ketertarikan romantis, emosional, dan atau seksual kepada satu identitas gender saja. Pada norma heteroseksualitas, perempuan diasumsikan hanya memiliki ketertarikan kepada laki-laki, pun sebaliknya. Sementara pada homoseksualitas, perempuan dipahami hanya tertarik kepada perempuan, dan laki-laki dianggap hanya tertarik kepada laki-laki. 

Tabumania, monoseksisme ini sejatinya memungkinkan kita untuk memeriksa struktur dan melacak peminggiran yang dialami oleh kategori-kategori queer yang beragam. Monoseksisme menghasilkan pula kerugian yang serius terhadap komunitas panseksual. di antaranya (1) ketidaktampakan (invisibility); (2) ketakutan irasional (phobia); (3) pembatalan (invalidation); serta (4) penghapusan (erasure) identitas.

Asumsi bahwa hanya ada dua orientasi seksual yang berlaku, dengan pembagian yang satu “benar” dan yang satu “salah”, justru menutup ruang bagi keberadaan penghayatan di luar monoseksual. Keadaan tersebut bisa memunculkan kendala bagi individu-individu panseksual yang hendak mengenal dan mulai belajar mengartikulasikan dirinya. 

Menjelajahi Intimasi Diri; Dengan Rekat, Tanpa Sekat 

Tabumania, kebernamaan merupakan hal yang penting. Ia bisa bertindak sebagai wujud eksistensi dan validasi atas tiap-tiap ragam pengalaman dan perasaan manusia. Livia dan Hall (dalam Agustine, et al., 2015: 52) menuturkan bahwa subjektivitas penamaan diri itu diperlukan, karena ada keterbatasan bahasa dalam mendefinisikan orang-orang yang mengkategorikan dirinya queer. Eksistensi atas kebernamaan spektrum intimasi manusia adalah wujud dari menantang kemapanan serta membongkar penindasan. 

Bagi kaum cisgender, mereka tak perlu susah payah mencari siapa sebenarnya dirinya, sebab kata “perempuan” dan “laki-laki” sudah jamak dan normatif ditemui. Bagi kaum heteroseksual, mereka tak perlu cemas dan kebingungan dalam mengartikulasikan perasaan. Sebab relasi intimasi monoseksual antara cisperempuan dan cislaki-laki telah terepresentasi di banyak tempat, media, termasuk institusi terkecil, seperti keluarga. Sementara mereka yang terlahir di luar dua kategori normatif di atas, mesti melalui proses mencari dan menerus proses menjadi.

Sayangnya, proses menelusuri keintiman diri tidak serta-merta berlangsung mudah ya, Tabumania. Kelangkaan ruang aman, akses edukasi, hingga wacana yang memadai tentang panseksual, membuat individu panseksual dimungkinkan kesusahan mengidentifikasikan dirinya. Diri sebagai produk sosial menerus terikat oleh struktur normatif yang berlaku. Proses penghayatan dan penerimaan diri—yang merupakan sesuatu yang sangat intim dan spiritual—menjadi seolah perkara publik yang siapa pun bisa mengintervensi. 

Meski belum signifikan, kesadaran akan adanya identitas di luar norma biner gender dan monoseksual, perlahan bisa mulai kita tumbuhkan. Timbulnya kesadaran (awareness) merupakan langkah awal yang baik, untuk menuju pada praktik pencarian, membangun visibilitas, representasi, hingga memproduksi wacana yang lebih adil dan inklusif. Begitu pula dengan wacana atas identitas-identitas di luar alfabet—namun tetap terlingkup pada wacana—“L-G-B-T”, di antaranya panseksual.

Tabumania, sebagai bagian dari minoritas seksual, individu panseksual juga berlapis ulang mengalami represi dan alienasi. Proses penerimaan dan perjalanan memaknai intimasi diri tak melulu berada pada rute jalan bebas hambatan, sebab heteronormativitas dan mononormativitas masih menjadi strata moral kehidupan paling atas. Meski demikian, komunitas panseksual tetap memiliki agensi dalam berjuang menantang norma-norma yang diskriminatif tersebut.

Hegemoni produksi pengetahuan kerap kali juga menyingkirkan orang-orang marginal untuk menyuarakan dirinya sendiri; untuk mendeskripsikan penghayatannya sendiri. Amplifikasi dan gema-gema edukasi tentu diperlukan dari sekutu (allies) sebagai bagian dari politik solidaritas. Namun konsep diri dan definisi tetap terletak pada siapa yang mengalami. Individu-individu yang merasai langsung pergulatan sebagai panseksual memiliki porsi penuh dan valid untuk memaknai intimasi diri dan mendefinisikan panseksual. 

Yuk secara perlahan, kita mulai mengizinkan dan membiarkan tiap-tiap pengalaman dan perasaan, autentik dimiliki oleh diri kita sendiri. Perkenalan dengan wacana yang inklusif dan komunitas yang suportif, dapat membantu kita berkenalan dengan diri sendiri. Jangan lupa memberi izin pada diri untuk bersuara lebih lantang serta mendengar tubuh dengan lebih seksama dan mesra. Persinggungan dengan identitas-identitas diri yang lain, menjadi bekal penguat bagi individu panseksual dalam menerjemahkan tiap langkah, yang sebelumnya terasa asing dan tak teraba.

Di tengah banyaknya hambatan untuk mengenal diri sendiri, yakinlah bahwa kita memiliki daya jelajah untuk mengapresiasi dan menilik potensi diri. Begitu pula dengan Tabumania di sini yang mulai lebih mengetahui seputar panseksualitas, atau mulai mengidentifikasi diri sebagai seorang panseksual. Selamat menjumpai diri, ya Tabumania! Selamat melepas sekat dan memeluk diri dengan lebih rekat. Selamat merayakan penerimaan bahwa cinta kita tak berbatas 


Penulis: Himas Nur (she/her), penulis buku “Menjelajahi Diri, Memeluk Intimasi: Kajian Panseksualitas di Indonesia” (2023).

Unknown's avatar

Portal pengetahuan dan layanan tentang seksualitas berbasis queer dan feminisme. Qbukatabu diinisiasi oleh 3 queer di Indonesia di bulan Maret 2017. Harapannya, Qbukatabu bisa menjadi sumber rujukan pengetahuan praktis dan layanan konseling yang ramah berbasis queer dan feminisme; dan dinikmati semua orang dan secara khusus perempuan, transgender, interseks, dan identitas non-biner lainnya.

1 comment on “Panseksualitas dan Cinta yang Tak Berbatas

  1. Herga Ragellber's avatar
    Herga Ragellber

    Terima kasih untuk penjelasannya 👍🙏

    Like

Leave a reply to Herga Ragellber Cancel reply