Ini kisah dua orang transmen di Aceh. Keduanya menceritakan kisahnya pada penulis.
Aku seorang transmen. Aku tinggal di Aceh. Sejak kecil aku memang tomboy. Orang tua mengira aku tomboy karena bergaul dengan teman-teman yang juga tomboy. Padahal tidak demikian. Sejak awal aku memang tomboy. Namun, aku tetap berteman dengan semua baik perempuan maupun laki-laki. Orang tua melarang, dan menyarankan aku untuk berpenampilan feminin. Sewaktu SMA aku mengikuti kemauan orang tuaku, tapi aku merasa bukan menjadi diri sendiri. Sejak saat itu perjalananku tidak mudah.
Lulus SMA 2015 aku mulai mencari kesibukan karena tidak melanjutkan kuliah. Bersama teman-temanku berjualan kentang goreng. Aku semakin dekat dengan teman-temanku apalagi setelah pergi dari rumah. Aku pergi dari rumah, karena kakak-kakakku yang tidak menerimaku. Meskipun orang tua tetap menerimaku dengan kondisiku. Namun, aku pergi dari rumah tidak terlalu lama karena orang tua memintaku kembali ke rumah, 2021 aku kembali tinggal bersama orang tua.
Sewaktu aku pergi dari rumah, selain berjualan kentang goreng aku juga bergabung dalam sebuah organisasi namanya Learning Together (LETOG). Di organisasi tersebut aku memperoleh support system. Setelah kembali ke rumah, aku berhenti berjualan, tapi masih tetap berorganisasi. Melalui organisasi tersebut aku dan teman-teman memperoleh penguatan. Selain itu juga saling berbagi misalnya teman-teman yang berwirausaha sharing pengalamannya selama ini.
Hidup di Aceh sebagai tomboy, buci, maupun tranlaki-laki sudah tentu tidak mudah. Apalagi pandangan orang yang melihat kami seperti bukan manusia. Padahal mereka tidak tahu apa yang kami rasakan. Kami juga tidak minta jadi seperti ini. Memang sensitif tinggal di Aceh. Terkadang kalau ada yang tinggal bareng, satunya transmen lalu satunya feminin, padahal mereka hanya berteman, sudah dianggap pasangan. Gak semuanya yang tinggal bareng itu berpasangan.
Selanjutnya kisah kawan lain yang juga seorang transmen yang tinggal di Aceh. Dia menceritakan pengalamannya berpenampilan tomboy. Namun, dia tetap diterima keluarganya. Kawan satu ini yang memang diterima ketika dirinya berpenampilan laki-laki. Meskipun orang tuanya berharap nantinya dia akan berubah, tetapi ia diterima dan didukung aktivitasnya. Menurutnya, tidak apa berpenampilan rambut pendek toh tidak menganggu kehidupan orang lain. Dia beridentitas sebagai transmen dan dia pun juga tetap mengerjakan shalat. “Biarlah saya hidup seperti ini yang penting saya tidak merugikan orang lain”, katanya. Orang-orang di sekelilingnya tidak semuanya mengetahui identitasnya sebagai seorang transmen. Orang-orang tahunya dia berpenampilan tomboy, rambut pendek, suka main gitar dan menyanyi. Namun, ia kembali menegaskan bahwa orang berpenampilan tomboy, tidak selalu mereka adalah transmen atau LGBT.
Dia juga menceritakan awal mula menyadari bahwa dirinya berbeda adalah sejak berumur sekitar 4 tahun. Dia juga tidak pernah berambut panjang, tiap kali berambut panjang selalu demam dan sakit kepala. Akhirnya orang tuanya pun selalu memotong pendek rambutnya. Pun ketika berangkat ke sekolah. Sebelum tsunami Aceh 2004, ke sekolah belum diwajibkan untuk berjilbab, itulah mengapa dia ke sekolah pun berambut pendek seperti teman-teman laki-lakinya. Dia juga tidak nyaman ketika mengenakan pakaian perempuan. Dia lebih nyaman menggunakan pakaian laki-laki. Baju-baju perempuan yang ada di rumahnya adalah baju peninggalan orang tua, jilbab ibunya, baju untuk kuliah dan mukena. Dia memakai baju perempuan ketika kuliah, ke meunasah untuk ngasih fitrah, dan salat dia pun memakai mukena. Teman-teman satu angkatannya pun tidak mempermasalahkannya. Ketika dia mengenakan pakaian perempuan untuk sekolah atau bekerja, dia tidak merasa malu karena baginya itu bagian dari profesionalitas, dia ingin sukses.
Dia selalu mengingat kata-kata almarhum ibunya, yang penting dia salat, kuliah yang bener, dan tidak merugikan orang lain. Orang tuanya tidak mengharuskan dia harus begini, harus begitu karena menurutnya, orang tuanya paham bahwa setiap anak terlahir berbeda. Anak tidak pernah minta dilahirkan. Abangnya (kakak) pun sering menasihatinya agar tidak meninggalkan salat dan tidak jahat dengan orang lain. Dia sangat bersyukur tidak pernah dibully baik di sekolah maupun tempat dia bermain. Pun di rumah dia dirangkul keluarganya. Dia juga bersyukur bertemu dengan orang-orang baik, orang-orang yang positif termasuk di organisasi yang diikutinya.
Dia juga menceritakan ketertarikannya dengan perempuan. Dia mulai merasakannya sejak kecil. Namun, dia mulai berpacaran sejak duduk di bangku SMP. Saat itu dia suka dengan temannya. Awalnya dia merasa nyaman, kadang-kadang merasa cemburu saat melihat temannya dekat dengan orang lain dan begitu pula dengan temannya. Untuk saat ini dia sudah memiliki pasangan. Sudah berjalan 9 tahun, tapi masih belum tahu bagaimana ke depannya. Karena bisa jadi nantinya pasangannya ingin menikah dan memiliki anak. Dia belum memikirkan bagaimana ke depannya.
Selain aktif kuliah dan bekerja, dia juga berorganisasi. Dia belajar tentang gender di organisasi tersebut. Melalui belajar di organisasi tersebut, dia jadi lebih tahu dan paham tentang identitas dirinya. Dia juga jadi lebih tahu dalam mengambil sikap setiap tindakannya. Selain itu dia juga memiliki support system. Apalagi teman-temannya di organisasi tersebut juga santai-santai sehingga nyaman ketika sharing atau berbagi cerita.
Artikel ini ditulis oleh Yagis.
Yagis adalah peserta AKSARA (lokAKarya penuliSAn beRsama media Alternatif)

Untuk cerita transmen yang kedua sama seperti saya dalam keluhan rambut, tetapi orang anggap itu takhayul, alibi dan cuma sugesti saya saja.
Tetapi memang benar adanya hal itu. Tetap menjadi diri sendiri, temukan jati diri kita yg sesungguhnya dan kita nyaman menjalaninya. Hidup kita akan tenang 🙂👍
LikeLike