Membicarakan sampah bisa dikatakan sebagai salah satu masalah yang kita temui sehari-hari dan seperti tiada habisnya. Seperti beberapa waktu lalu, Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan oleh Pemerintah DIY ditutup karena sudah tidak mampu menampung sampah-sampah yang dihasilkan masyarakat. Tentu saja hal ini memunculkan permasalahan baru, di mana lokasi untuk pembuangan sampah berikutnya?
Saya pun mencoba mewawancarai Ketua Forum Bank Sampah Kemantren, Mergangsan, Bakhriah Sufiatun untuk mengetahui pendapatnya tentang hal ini. Selain itu saya juga ingin mengetahui sepak terjangnya selama ini dalam mengelola sampah. Bagaimana tidak, sejak 2010 Mbak Sofi ini menjadi fasilitator pengelolaan sampah mandiri di Kelurahan Brontokusuman. Ia ditugasi untuk mendampingi bank sampah untuk pengelolaan sampah mandiri. Kemudian pada 2016 Ia mengikuti pelatihan ecobrick, bahkan ia juga mengikuti pelatihan Training of Trainer (TOT) untuk ecobrick.
Terkait dengan penutupan TPST Piyungan, menurutnya permasalahan terbesar yaitu sejak awal (dari rumah tangga) sampah-sampah tersebut tidak dipilah. Memang benar ada banyak pemulung di depo-depo sampah, tetapi mereka hanya mengambil sampah-sampah yang layak jual saja. Namun, plastik-plastik sekali pakai, sachet, banner tidak diambil. “Dan itu jumlahnya banyak. Kalau sampah organik bercampur dengan plastik nantinya jadi pencemaran. Seharusnya sejak awal sampah itu dikelola. Nyari tempat baru untuk pembuangan sampah itu susah dan bakal penuh lagi. Kalau misalnya dapat lahan baru, dapat ijin dari warga pun tidak mudah. Siapa sih yang mau dijadikan tempat penumpukan sampah?”jelas Mbak Sofi.
Lebih lanjut Mbak Sofi menjelaskan, memang untuk mengubah mindset (pola pikir) masyarakat itu tidak mudah, bahwa dasar dari pengelolaan sampah itu dari rumah. Hal yang harus diperbaiki sejak awal adalah dari hulu ke hilirnya harus benar, antara pelaku (penghasil dan pengelola) sampah harus ada kesamaan visi tentang menangani sampah yang benar. “Misalnya ni ya, memilah sampah organik dan sampah plastik sejak dari rumah. Sisa-sisa makanan dan sayuran itu bakal diambil para peternak (babi, menthok, sapi, dll). Mereka bakalan mau karena untuk makan ternak, tapi jangan sampai bercampur dengan plastik, karena mereka tidak mau ambil. Kan bahaya juga kalau plastiknya sampai tidak sengaja dikonsumsi ternak.”katanya.
Selain itu menurutnya, perilaku pengelolaan sampah itu bagian dari budaya. Perilaku masyarakat dalam mengelola sampah bisa dikatakan sebagai seni dalam mengolah sampah. Mengubah perilaku mengelola sampah itu bisa juga bagian dari penghematan pengeluaran keluarga. “Coba tengok dapur kita masing-masing. Kita perlu belajar perencanaan belanja sehari-hari. Apa yang kurang, apa yang harus dibelanjain, mana yang habis, mana yang harus dikurangi, mana yang harus diprioritaskan. Jadi, kita tidak berlebihan juga, misalnya harus membuang bahan makanan karena ada yang membusuk atau yang harusnya masih tahan lama harus dibuang karena kedaluwarsa. Itulah mengapa kita jangan sampai menumpuk bahan makanan. Itu bagian dari proses penghematan. Lalu kalau kita mengelola sampah menjadi eco enzyme, kita gak perlu beli sabun cuci, sabun pel. Atau mengolah sampah organik menjadi pupuk, kita tidak perlu beli pupuk.”urainya.
Mbak Sofi tidak hanya sekadar menyarankan bahwa mengelola sampah dimulai dari diri sendiri. Ia telah melakoninya dalam kehidupan sehari-harinya. Baginya memberikan contoh jauh akan lebih tepat sasaran sebagai upaya untuk mengubah perilaku masyarakat sekitar dalam mengelola sampah.
Hal itu juga yang dilakukan dalam mempraktikkan ecobrick. Orang yang melakukan ecobrick, sebelumnya sudah melalui terlebih dahulu proses pencegahan dan pengurangan plastik, khususnya plastik sekali pakai dalam aktivitas kesehariannya. Ecobrick menurutnya solusi sampah plastik yang mudah dan murah. Hanya bermodalkan alat-alat seperti gunting, dudul (kayu pendorong potongan sampah plastik), dan botol air mineral serta timbangan. Namun, tidak semua orang mau dan mampu membuat ecobrick yang baik. Setidaknya saat ini ada dua tetangganya yang konsisten membantunya membuat ecobrick. Keduanya adalah perempuan-perempuan pekerja gali pasir di kali code. Setiap botol air mineral ecobrick yang mereka buat diganti jasa pembuatan ecobricknya oleh Mbak Sofi sebesar Rp2000,-. “Saat ini saya baru mampu mengganti jasa pembuatan ecobrick sebesar Rp2000,-. Dan mereka bersedia untuk tetap membuat ecobrick karena selama ini sampah-sampah plastik yang tidak ada yang mau menerimanya, saya mau menerimanya. Itung-itung sebagai tambahan penghasilan untuk mereka.”katanya.
Meskipun demikian, ia tidak pernah mempromosikan ke warga bahwa ecobrick itu layak jual, tetapi dengan ecobrick bisa menghemat pengeluaran. Misalnya tidak perlu membeli kursi atau meja karena ecobrick bisa dimanfaatkan sebagai meja dan kursi. Mbak Sofi intens mengumpulkan sampah plastik maupun sachet bahkan sejak sebelum ia mengenal ecobrick. Secara sukarela ia membeli sampah dan potongan sachet asalkan bersih dan digunting kecil-kecil. Sampai akhirnya ia mengenal ecobrick. Apalagi daya tampung satu botol air mineral 600 ml itu bisa mencapai 200 gram hingga 250 gram. Ia mengaku akan tetap menggunakan ecobrick untuk mengelola sampah plastik sampai ada solusi yang bagus untuk mengelolanya. Namun, perlu diingat dalam membuat ecobrick, potongan plastik dan sachet harus dalam keadaan bersih dan kering. Selain itu harus dari sampah plastik dan sachet atau steorofom dan aluminium foil saja. Bukan logam atau kaca karena bisa melubangi botol. Bukan juga sampah organik karena bisa meledak. Ecobrick yang baik harus padat agar tidak keropos. Ecobrick juga tidak boleh terkena panas atau suhu tinggi, baik sinar matahari maupun api karena akan ada proses pelepasan kimia. Itulah mengapa penggunaan ecobrick disarankan untuk dalam ruangan (indoor) saja seperti meja dan kursi.
Hanya saja, Mbak Sofi mengingatkan meskipun sudah menjadi pelaku ecobrick, tetap saja harus menghindari dan mengurangi penggunaan sampah plastik dan sachet. “Ecobrick memang bisa digunakan sebagai upaya untuk daur ulang sampah. Namun, pelaku ecobrick tetap harus mengurangi sampah dari hal-hal kecil. Misalnya membeli shampoo botol bukan sachet. Botolnya kan bisa dipakai lagi atau dijual ke pemulung. Lalu ke mana-mana bawa botol minum, bawa tas belanja, bawa wadah makanan kalau beli sesuatu, ya seperti itu harus tetap dilakukan. Kalau enggak, ya meskipun ada ecobrick tetap aja bisa jebol (gagal).”tegasnya.
Nah, gimana Tabumania? Apakah selama ini sudah mengelola sampah dengan baik? Sudah bawa botol minum dan tas belanja sendiri ke mana-mana? Atau malah tertarik mencoba membuat ecobrick? Yuk, ceritakan pengalaman Tabumania!!

0 comments on “Pilah Sampah, Kelola dari Rumah”