Buka Layar

25 Tahun Reformasi di Mata Pelaku Seni Queer Generasi Z

Sudah 25 tahun berlalu, tepatnya sejak Mei 1998, semenjak Indonesia pindah dari sistem demokrasi terpimpin menjadi sistem demokrasi konstitusional—yang disebabkan oleh rezim sewenang-wenang dan korup yang membuat Indonesia dilanda krisis moneter yang tak kunjung membaik. Masyarakat dan mahasiswa pada saat itu melakukan demonstrasi besar-besaran untuk menurunkan Soeharto, presiden yang telah menjabat selama 32 tahun pada masa Orde Baru.

Pada saat krisis dan kerusuhan pecah di masa Orde Baru, mahasiswa dan generasi muda Indonesia memiliki peran besar dalam mengubah rezim pemerintahan tersebut. Lalu apa saja yang telah berubah? Bagaimana era reformasi ini dilihat dari pandangan generasi muda queer Indonesia sekarang?

Dalam artikel kali ini, saya berkesempatan untuk mewawancarai pelaku seni transpuan generasi Z asal Indonesia untuk lebih memahami refleksi 25 tahun reformasi bagi generasi muda queer Indonesia di bidang seni.

Halo, boleh perkenalkan diri dulu? Apa bidang seni yang Anda geluti?

Okay, so…

Namaku Ayesha Septania Nugroho, biasa dipanggil Echa. Umurku sekarang jalan ke 24 tahun, dan aku seorang mahasiswa seni. Saat ini aku menggeluti bidang seni rupa, fokusnya ada di seni terapan tekstil.

Tahun ini kita mencapai 25 tahun semenjak era reformasi dimulai. Bagaimana menurut Anda tentang era reformasi ini? Apakah menurut Anda sudah ada banyak perubahan yang baik di Indonesia?

Kalau untuk di era reformasi sekarang, khususnya kalau pelakunya adalah gen Z aku bisa melihat improvements yang cukup signifikan sih. Karena proses berpikir gen Z saat ini yang sudah terbawa oleh kemajuan teknologi bisa buat si seni ini tadi juga punya prospek dan progress yang baik di mata masyarakat. Malah sekarang seni sudah masuk ke dunia digital juga.

Bagaimana menurut Anda keberlangsungan seni bagi komunitas LGBTIQ di Indonesia? Terutama setelah dimulainya era reformasi.

Kalau untuk keberlangsungan seni bagi komunitas LGBTIQ di Indonesia ya, menurut aku ini merupakan suatu wadah juga sih, sebuah bentuk pengekspresian opini serta diri atas keberadaan komunitas itu sendiri, dalam menyampaikan aspirasi dan menuntut hak-hak yang memang seharusnya untuk komunitas LGBTIQ.

Dan lagi dengan peran seni di dalam komunitas ini juga mengingatkan masyarakat khususnya generasi-generasi lampau atau baru tentang budaya queer di Indonesia ini berawal dari komunitas itu sendiri, let’s say, seperti teman-teman “Bissu” di Sulawesi.

Karena seni itu “ekspresif” rasanya cocok dan sesuai ya dijadikan wadah untuk pengekspresian komunitas LGBTIQ. Next, adakah pengaruh positif ataupun negatif dari era reformasi terhadap pelaku seni perempuan maupun queer? Apa saja contohnya?

Kalau pengaruh positif jelas kita pelaku seni khususnya perempuan ataupun queer sangat terbantu dalam mengekspresikan perasaan dan suara kita melalui karya ya, tari, monolog teater atau mungkin film dan lukisan. Itu juga bisa menjadi sumber pencaharian juga bagi kami selaku pelaku seni sih sebenernya, haha…

Tapi kalau untuk dampak secara negatif, aku simpulkan saja ya, satu poin…

Pelaku seni perempuan atau queer masih sering mendapat stigma negatif dari masyarakat yang menganggap seniman sudah pasti nggak bisa ngapa-ngapain, kalau di dunia kerja juga nggak akan dapat apa-apa. Apalagi perempuan atau queer. Padahal dengan kemampuan yang kita miliki itu bisa jadi batu loncatan kami buat mencapai target yang kami mau. To put it simply, seniman saja masih distigma buruk di mata masyarakat, apalagi ditambah pelakunya seorang perempuan atau anggota komunitas LGBTQIA.

Kira-kira apa yang perlu ditingkatkan atau diperbaiki lagi dalam hal seni dan perempuan atau queer di Indonesia? Tadi Anda sebut dampak negatifnya, jadi sebaiknya apa yang dilakukan oleh negara maupun masyarakat utk memperbaiki itu?

Menurutku yang perlu ditingkatkan adalah strategi atau teknik apa yang bisa kita—pelaku seni dalam hal ini yg seorang perempuan atau queer—lakukan agar karya kami bisa tersampaikan makna dan tujuan utamanya ke masyarakat, juga bagaimana caranya agar masyarakat ini bisa dengan mudah paham tentang bagaimana seni ini “bermain” sebenarnya. Jadi nggak hanya seni yang buat ditonton. Tapi juga diresapi maknanya, prosesnya seperti apa dan maksud serta tujuannya ini apa.

Untuk mencapai hal tersebut, perubahan apa yang bisa / sebaiknya dilakukan oleh para pelaku seni LGBTIQ Indonesia untuk negara selama era reformasi ini?

Kalau menurut aku mungkin lebih menggencarkan kegiatan seperti pertunjukan dan pameran karya sih, yang memang tujuannya adalah mengenalkan kalau ini lho, ada kok keberagaman di Indonesia, ada budaya kita dari zaman nenek moyang yang sampai saat ini masih ada dan harus dijaga jangan sampai hilang.

Seperti beberapa waktu lalu, dari Rumah Seni dan Budaya Feminis Qbukatabu juga sudah mengambil langkah untuk memperkenalkan budaya negeri kita dan bahwa dari jaman dahulu LGBTIQ sudah ada di Indonesia, dan bukan budaya barat, budaya feminisnya.

Let’s say, lebih sering publish kegiatan-kegiatan dan melaksanakan kegiatan yang memang bisa menaikkan citra perempuan dan komunitas sehingga nanti bisa build image yg sinergis di masyarakat jadi nggak selalu akan dipandang negatif.

Artikel ini ditulis oleh Dhara

Dhara, a young queer woman who struggles to stay sane and alive

Unknown's avatar

Portal pengetahuan dan layanan tentang seksualitas berbasis queer dan feminisme. Qbukatabu diinisiasi oleh 3 queer di Indonesia di bulan Maret 2017. Harapannya, Qbukatabu bisa menjadi sumber rujukan pengetahuan praktis dan layanan konseling yang ramah berbasis queer dan feminisme; dan dinikmati semua orang dan secara khusus perempuan, transgender, interseks, dan identitas non-biner lainnya.

0 comments on “25 Tahun Reformasi di Mata Pelaku Seni Queer Generasi Z

Leave a comment