Bulan Mei lalu, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) meminta Kementerian Komunikasi dan Informatika mencabut Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) No. 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat. Peraturan ini berpotensi membatasi aktivitas privat di dunia digital.
Memang apa isi Permenkominfo ini ya?
Setiap orang punya hak atas privasi, tak terkecuali dalam mengakses teknologi digital. Seperti tinggal di sebuah rumah, baik rumah sendiri maupun kontrakan ataupun kamar kosan, tidak boleh ada pelanggaran terhadap privasi tersebut, seperti pembobolan rumah atau serangan maupun gangguan terhadap aktivitas yang terjadi di situ. Sama halnya dengan hak atas teknologi digital. Tidak boleh ada penyebaran dan penyalahgunaan data pribadi, apalagi dengan tujuan untuk menekan suara-suara kritis atau membatasi akses informasi. Penyalahgunaan data pribadi ini dapat terjadi bila data atau proxy (algoritma yang menyajikan profil individu dan preferensi tertentu) digunakan untuk memblokir akses menuju informasi tertentu.
Dalam Permenkominfo ini, terdapat 65 kata kunci ‘pemutusan akses’, baik berupa access blocking ataupun take down. Artinya, pemerintah secara aktif melakukan pembatasan terhadap hak atas teknologi digital, yakni untuk menyatakan pendapat, mencari, menerima dan memberikan informasi. Di sisi lain, apakah ada pengaturan yang jelas tentang makna ‘pemutusan akses’ serta mekanisme untuk komplain jika pelanggaran hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi terjadi?
Potensi kebebasan berpendapat dan berekspresi menjadi sangat rentan dicederai karena dalam aturan ini pihak yang mengajukan permohonan pemutusan akses ini luas sekali tanpa ada kualifikasi spesifik! Pemohon ini bisa masyarakat, kementerian atau lembaga, aparat penegak hukum dan atau lembaga peradilan. Belum lagi sifat ‘mendesak’ yang menjadi dasar permohonan pemutusan akses ini sama sekali rancu. Mendesak yang dimaksud adalah dalam konteks terorisme, pornografi anak atau konten yang meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum.
Kalimat ‘meresahkan masyarakat dan menganggu ketertiban umum’ juga muncul dalam pasal di aturan ini mencantumkan bahwa PSE lingkup privat wajib memastikan informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang dilarang untuk tidak dimuat atau disebarluaskan. Lagi-lagi, pelarangan ini berbasiskan pada informasi yang meresahkan masyarakat dan mengangggu ketertiban umum. Peraturan ini memang benar-benar ingin membuat setiap orang takut untuk menyampaikan gagasannya.
Aturan ini juga mewajibkan seluruh PSE Lingkup Privat untuk melakukan pendaftaran agar mendapatkan tanda daftar sebelum masyarakat di Indonesia dapat mengakses layanan atau konten. Parahnya, kewajiban daftar ini wajib dilakukan dalam jangka waktu 6 bulan sejak peraturan ini berlaku! Bisa dibayangkan bahwa berbagai platform dituntut untuk tunduk pada aturan, tetapi jaminan perlindungan hak sama sekali tidak dibahas.
Sementara itu, RUU Perlindungan Data Pribadi masih diminta perpanjangan waktu pembahasannya oleh pihak DPR. Bahkan, elemen pers turut mengkritisi definisi penyalahgunaan data pribadi yang tercantum dalam RUU ini. Hal ini berkaitan dengan kerja-kerja pers dalam menginvestigasi berbagai kasus yang dapat mengekspos data pribadi mulai dari keuangan, lokasi dan keberadaan tokoh publik, misalnya tentang penelusuran aliran uang berhubungan dengan kasus korupsi oleh pejabat atau tokoh tertentu.
Belum lagi Pembentukan Otoritas Perlindungan Data menjadi hal yang disorot dalam RUU ini. Bahwa penting untuk membentuk otoritas independen untuk mengawasi perlindungan data ini, terlebih pemrosesan data tidak hanya berlangsung oleh sektor swasta, tapi juga badan publik atau pemerintah.
Paska UU ITE direvisi tahun 2016, pemerintah semakin gencar melakukan pemblokiran situs, terutama untuk situs yang mengandung pornografi, LGBT dan radikalisme. Di tahun 2016, Kemenkominfo memblokir 11 situs yang dianggap terkait dengan gerakan radikalisme dengan alasan tidak memiliki alamat yang jelas. Namun, pengelola situs tidak diberi kesempatan memberikan penjelasan. Pemblokiran juga terjadi pada situs yang memiliki kata kunci gay dan lesbian, termasuk situs yang berfokus pada advokasi, seperti ILGA (International Lesbian, Gay, Bisexual, Trans and Intersex Association).
Tanggal 27 Oktober lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan Arnoldus Belau, jurnalis suarapapua.com, terhadap pasal 40 ayat 2b UU Informasi Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). MK menyatakan pemblokiran situs suarapapua.com sudah sesuai konstitusi meskipun surat dari Kementerian Komunikasi dan Informasi memutus akses tanpa penjelasan yang jelas, kecuali bahwa konten dalam situs suarapapua.com bermuatan negatif. Pemutusan akses elektronik ini membuat Arnoldus Belau tak bisa menyampaikan pemberitaan tentang situasi Papua dan Papua Barat.
Pasal 40 ayat 2b ini menyebutkan bahwa Pemerintah berwenang memutus akses informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan melanggar hukum. Nah, jika definisi konten bermuatan negatif saja tidak dijelaskan dengan sungguh-sungguh, bagaimana ia bisa serta merta dikatakan melanggar?
Permenkominfo No.5/2020 adalah produk kebijakan yang makin memperburuk situasi hak digital warga untuk menyediakan informasi yang kritis dan berimbang. Pemblokiran dan pemutusan akses yang jadi semangat dari kebijakan ini, seturut dengan pasal 40 ayat 2b UU ITE, menunjukkan tindakan negara yang tidak transparan dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Pembatasan hak warga tidak dapat diberlakukan tanpa ada definisi dan kriteria yang terukur, kecuali jika rezim yang dipelihara sejak awal adalah otoriter.
0 comments on “Permenkominfo No. 5/2020 Perburuk Hak Digital Warga”