Tabumania, sejak awal tahun, pemerintah Indonesia telah mensosialisasikan program vaksin Covid-19 yang salah satu tujuannya untuk mengurangi penularan/kematian akibat Covid-19. Uji coba pertama kali dilakukan oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo pada bulan Januari 2021.
Informasi dan vaksin Covid-19 sudah tersosialisasikan. Namun, hingga menuju pertengahan tahun 2021, persoalan tentang program tersebut masih ramai perdebatannya, antara yang setuju, tidak setuju, hingga minim informasi untuk mengakses vaksin. Salah satu pemicunya karena ada pemberitaan dari Ribka Tjiptaning, seorang anggota Komisi IX DPR yang menolak vaksin Covid-19 dengan alasan tidak ada yang menjamin keamanan setelah menerima vaksin. Keputusan dari pejabat publik tersebut turut menambah keraguan masyarakat karena pemerintah dianggap tidak kompak terkait program yang dikeluarkan. Belum lagi, masyarakat juga dibuat bingung dengan jenis vaksin Covid-19 yang tersedia, yang membutuhkan pengetahuan medis agar sesuai dengan kondisi setiap individu penerima.
Berdasarkan informasi yang dimuat Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, untuk melaksanakan kegiatan pemberian vaksin Covid-19 dibutuhkan perencanaan yang disusun dengan memperhitungkan data dasar. Data dasar tersebut terdiri dari ketersediaan jumlah fasilitas kesehatan, tenaga pelaksana, wilayah, dan lainnya. Sementara itu, ada empat tahap pemberian vaksin Covid-19 yang direncanakan dari 2021 hingga 2022. https://covid19.go.id/storage/app/media/Regulasi/2021/Januari/Final%20SK%20Dirjen%20Juknis%20Vaksinasi%20COVID-19%2002022021.pdf
Program vaksin Covid-19 mulanya diprioritaskan bagi tenaga medis, petugas pelayanan publik, lansia, dan masyarakat/pelaku usaha ekonomi lainnya. Dan di tahap tiga, tertulis penerima sasaran terdiri dari masyarakat rentan dari aspek geospasial, sosial, dan ekonomi. Jika mengacu pada definisi yang ditetapkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahap tiga ini seharusnya diperuntukkan bagi orang miskin, pekerja migran, tunawisma, kelompok masyarakat adat, serta kelompok minoritas seksual. Dalam hal ini, aktivis yang bekerja bagi kelompok tersebut sebenarnya dapat mengakses vaksin Covid-19.
Vaksin Covid-19 bagi aktivis menjadi penting mengingat jenis pekerjaannya yang kerap melakukan dampingan/turun lapangan, seperti melakukan penjangkauan, dampingan hukum, mendampingi korban kekerasan dan lainnya. Belum lagi di masa normal baru ini, berbagai aktivitas perlahan-lahan mulai pulih, aktivitas fisik/pertemuan dengan kapasitas yang lebih besar mulai dilakukan. Oleh karena itu meski dengan menerapkan protokol kesehatan (prokes), ancaman atau risiko terkena Covid-19 sebenarnya masih tetap ada.
Akan tetapi alih-alih turut memprioritaskan kelompok tersebut, pemberian vaksin Covid-19 tahap tiga yang seharusnya dijalankan pada April malah ditunda karena stok vaksin terbatas. Dengan kejadian itu, pemerintah sebenarnya telah melakukan pengabaian pada kebutuhan warga negara yang seharusnya dijamin pemenuhan kesehatannya.
Sementara itu, proses untuk pendaftaran terkait vaksin Covid-19 juga belum merata di seluruh wilayah di Indonesia. Meskipun di dalam upayanya, pemerintah telah melakukan pendataan sasaran penerima vaksin Covid-19 melalui Sistem Informasi Satu Data Vaksinisasi Covid-19 lintas Kementerian dan Lembaga, dengan menyediakan aplikasi untuk memudahkan masyarakat. Setiap aplikasi memiliki nama dan kegunaan seperti: (1) PeduliLindungi dari Kominfo dan Kementerian BUMN untuk registrasi masyarakat penerima vaksin; (2) PrimaryCare dari BPJS Kesehatan yang bertujuan untuk mencatat hasil vaksin Covid-19; (3) Smile dari Kemenkes dan UNDP dengan fungsi monitoring distribusi vaksin.
Akan tetapi, bila aktivis dengan kerentanan tertentu kesulitan untuk mengakses, dapat mencoba bergabung dengan organisasi lain yang menyediakan dukungan. Bahkan dapat juga menanyakan informasi terkait vaksin Covid-19 di tingkat RT dan kelurahan.
Namun, perlu juga diketahui bahwa salah satu syarat untuk mendukung kelengkapan pendataan vaksin Covid-19, dibutuhkan data yang diperoleh dari kartu identitas penduduk. Setelah seluruh proses pendaftaran dilakukan, dan mendapat akses layanan kesehatan, maka penerima vaksin Covid-19 juga mendapatkan sertifikat vaksin Covid-19. Perlu diketahui, sertifikat tersebut bukan jaminan bahwa seseorang aman selamanya dari Covid-19, bila dibutuhkan tetap diperlukan test pendukung lainnya untuk mengetahui apakah bebas dari virus tersebut atau tidak.
Tabumania, penting juga mengetahui bahwa pemberian vaksin Covid-19 juga tidak dapat dipaksakan kepada individu lainnya. Apabila ada yang menolak, lebih baik dicari tahu atau ditanya alasannya, barangkali penolakan terjadi karena kurang informasi, takut disuntik, atau yang lainnya. Ingat kan, kalau di Jakarta ada kebijakan yang menerapkan sanksi kepada orang yang menolak vaksin Covid-19? Kebijakan dari Peraturan Presiden Nomor 14 tahun 2021 tentang pengadaan vaksin, pasal 13a ayat 4 akhirnya menuai ragam komentar. Masyarakat merasa pemerintah perlu terlebih dahulu memberikan edukasi tentang vaksin Covid-19 alih-alih mewajibkan penerima sasaran menerima vaksin Covid-19 tanpa informasi yang memadai.
Ke depannya masih diperlukan sosialisasi yang lebih menyeluruh tentang vaksin Covid-19. Hal itu untuk menutup kesenjangan informasi antara masyarakat yang berada di kota-kota besar dan di wilayah lainnya yang jauh dari kota. Selain itu, diperlukan juga keterlibatan dari petugas-petugas yang dapat secara aktif memberikan edukasi dan sosialisasi kepada kelompok lainnya yang memiliki kebutuhan khusus.
Nah, kalau Tabumania sendiri gimana nih, sudah akses vaksin Covid-19 belum? Kalau sudah, boleh dong berbagi pengalamannya, tentang kemudahan aksesnya, atau bahkan cerita sakit atau enggak saat disuntik.
0 comments on “Vaksin Covid-19 untuk Aktivis, Kapan Ya?”