Buka Akses Buka Layar

dr. I Gusti Rai Wiguna, SpKJ: Semua Orang Berhak Mengakses Layanan Kesehatan Mental

Tabumania, akses layanan kesehatan mental merupakan hak semua orang. Siapa saja bisa memperoleh layanan psikologi/psikiater, tidak melihat orientasi maupun identitas seksualnya. Namun, alih-alih memperoleh layanan kesehatan mental, tidak jarang teman-teman Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Intersek, Queer (LGBTIQ) justru memperoleh stigma dan profesional kesehatan mental yang ditemui justru berusaha “mengobatinya”.

Hal ini disampaikan dr. I Gusti Rai Putra Wiguna, SpKJ, seorang psikiater dari klinik Sudirman Medical Centre dan Ubud Care Clinic. Berdasarkan penuturannya, ia agak miris mendengar pengalaman teman-teman LGBTIQ yang ia temui. Teman-teman LGBTIQ justru memperoleh stigma ketika mengakses ke profesional kesehatan mental. “Artinya, mereka datang dengan gangguan cemas atau gangguan depresi, tetapi justru terapisnya ingin mengobati orientasi seksualnya. Etika terapis kan tidak demikian, kita ada kontrak terapis dan klien. Lagipula, orientasi seksual bukan sebuah gangguan mental yang perlu diobati.”katanya. Ia menambahkan bahwa teman-teman LGBTIQ sudah berkesadaran untuk berkonsultasi kesehatan mental, tetapi kedang-kadang mereka ragu profesional kesehatan mental yang ditemui benar-benar bisa terbuka dengan mereka.

dr. Rai mengatakan ketika bertemu dengan anggota keluarga klien LGBTIQ, pertama-tama ia akan bersikap sebagai fasilitator dibandingkan edukator agar pihak keluarga tidak bersikap defensif atau melakukan penolakan. “Dan ini justru bisa berakibat buruk. Misalnya, keluarga justru mencari tempat-tempat yang mengiklankan untuk bisa mengobati.”tuturnya. Ia mengatakan perlu mengetahui terlebih dahulu kekhawatiran pihak keluarga, kemudian pelan-pelan ia menginformasikan bahwa memiliki anak LGBTIQ tidak seburuk yang mereka duga. Lalu membuat suasana pertemuan dengan si anak dan orang tua lebih komunikatif sehingga si anak bisa jujur mengungkapkan hal-hal apa yang mereka rasakan. “Kebanyakan keluarga bertengkar justru karena persepsi dari apa yang mereka baca atau dengar dari orang lain, padahal belum tentu hal itu benar-benar terjadi.”jelasnya. Pada kasus-kasus tertentu,ada kata sepakat bahwa orientasi seksual bukanlah masalah utama dalam hidup seseorang, melainkan kualitas hidupnya, yaitu memperoleh pendidikan yang baik, pekerjaan yang bagus, dan relasi atau hubungan yang baik.

Ketika bertemu dengan orang tua yang menginginkan anaknya atau anggota keluarganya kembali “normal” yang pertama ia tanyakan adalah normal yang bagaimana. “Orang tua pengin anaknya normal tapi menderita atau LGBTIQ tapi bahagia. Orang tua pasti pengin anaknya punya kualitas hidup yang baik, punya relasi pasangan yang baik. Kemudian orang tua yang berfikir bahwa LGBTIQ lahir karena trauma padahal bukan. Kita perlu cari tahu dulu, kalapun ada trauma ya traumanya yang disembuhkan bukan LGBTIQ-nya. Orang tua sebaiknya berusaha memahami situasi bukan mencari informasi dari luar. Ini justru menjadi sarana untuk mendekatkan diri pada anak.”katanya.

Saat ditanya tips-tips yang bisa dipraktikkan teman-teman LGBTIQ yang mengalami kecemasan bahkan ketakutan terhadap penerimaan keluarga dan masyarakat sekitar, dr. Rai mengatakan kuncinya adalah mengikis stigma dari diri sendiri. “Ada yang namanya sel stigma, kalau kita takut, kalau kita malu, kalau kita merasa LGBTIQ adalah aib bagi diri sendiri, bagaimana orang lain bisa menerima kita. Kalau kita merasa tidak ada yang salah dengan hal tersebut dan berani terbuka, berani bicara hal-hal yang kita rasakan, apa yang kita pikirkan, maka hanya soal waktu orang-orang bisa melihat seperti yang kita rasakan.”urainya. Ia juga menyarankan agar teman-teman LGBTIQ memiliki sebuah komunitas yang bisa menjadi tempat untuk bersosialisasi sehingga bisa menunjukkan kualitas hidup yang baik.”Semakin sering teman-teman LGBTIQ menunjukkan bahwa meskipun memiliki orientasi yang berbeda, mereka juga memiliki kualitas hidup yang baik, semakin sering masyarakat melihat teman-teman LGBTIQ memiliki pekerjaan yang baik, relasi yang baik, mempunyai aktifitas yang sehat ya tentu lama-kelamaan pandangan masyarakat akan berubah.”pungkasnya.

Sementara itu,saat ditanya tentang banyaknya klien yang ditemui selama enam tahun menjalani profesinya sebagai psikiater, menurutnya saat ini cukup banyak remaja atau dewasa muda yang berkonsultasi. Kemudian setelah tiga kali sesi pertemuan, para remaja atau dewasa muda ini malah berpikir cara untuk memberi tahu orang tua bahwa mereka berkonsultasi dengan profesional kesehatan mental. Hal ini berkebalikan saat awal-awal dulu menjalani profesinya, yang mana kebanyakan orang tua memaksa anaknya yang remaja atau dewasa muda untuk berkonsultasi ke psikiater. “Sekarang malah terbalik, justru anak-anak muda lebih terbuka. Mungkin karena pengaruh media sosial. Apalagi edukasi kesehatan jiwa saat ini sudah diterima dengan sangat baik.”tegasnya. Itulah sebabnya ia berharap layanan kesehatan mental bisa diakses semua orang apapun latar belakang dan dimanapun berada.

Nah, Tabumania tidak perlu ragu untuk datang ke profesional kesehatan mental apabila benar-benar membutuhkan. Meskipun ada profesional kesehatan mental yang tidak terbuka dengan klien LGBTIQ, masih banyak profesional kesehatan mental seperti dr. Rai yang terbuka dengan klien LGBTIQ.

0 comments on “dr. I Gusti Rai Wiguna, SpKJ: Semua Orang Berhak Mengakses Layanan Kesehatan Mental

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: