“Aku kira yang lemah hatiku, ternyata KPK juga”
“Negara tidak memfasilitasi rindu, tapi mencampuri urusan saat kita bertemu”
“Cukup chat aku aja yang diabaikan, tuntutan kami jangan.”
Tabumania pasti tidak asing dengan kalimat di atas kan? Kalimat tersebut mulai viral di media sosial setelah aksi demonstrasi mahasiswa tolak revisi UU KPK dan rencana disahkannya RKUHP. Banyak generasi Y dan generasi Z yang berpartisipasi menyampaikan hal-hal lucu dan unik, tapi sebenarnya bertujuan mengkritik kebijakan pemerintah.
Selain viralnya pesan-pesan tersebut, merhatiin juga nggak sih menjelang akhir bulan September 2019 lalu, warganet di jagad media sosial ramai-ramai mengganti foto profil mereka dengan warna hitam dan mencantumkan tagar #reformasidikorupsi.
Tagar #reformasidikorupsi jika ditilik dari Instagram sudah mencapai lebih dari 51K postingan. Artinya banyak warganet yang menggunakan tagar tersebut untuk mengutarakan aspirasi terhadap kebijakan atau sistem pemerintahan yang kurang berpihak pada kepentingan rakyat.
Kesadaran masyarakat melahirkan tagar #reformasidikorupsi untuk mengkritisi revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dan adanya rencana pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab pidana Hukum Negara (RUU KUHP). Masyarakat menilai proses pembahasan RUU tersebut terlalu cepat dan DPR tidak responsif. Masyarakat bahkan tidak diberikan waktu dan kesempatan untuk merespon kebijakan tersebut. Berangkat dari itu, masyarakat juga mulai memahami bahwa ada kebijakan yang justru berpotensi melemahkan semangat anti korupsi.
Di dalam revisi UU KPK ditemukan setidaknya 26 poin yang justru melemahkan kerja-kerja dan kewenangan KPK dalam melakukan tugasnya untuk memberantas korupsi di Indonesia. Dua diantaranya ialah pelemahan independensi KPK dan KPK hanya berkedudukan di Ibukota Negara. Dengan demikian poin-poin tersebut justru membuat KPK semakin lemah karena dengan sumber daya dan kewenangan yang terbatas harus menangani kasus korupsi yang terjadi di seluruh Indonesia. Hilangnya independensi KPK berpotensi menundukkan keputusan-keputusan tertinggi yang berada di KPK ke tangan presiden.
Hal lainnya yaitu tentang rencana pengesahan RUU KUHP yang dirasa tiba-tiba dan memuat pasal-pasal bermasalah. Seperti yang diketahui, KUHP merupakan peninggalan zaman kolonial, yang juga tak lepas dari kuasa orde baru. Dengan dalil membuat perubahan kebijakan yang selaras dengan demokrasi bangsa, pemerintah dan DPR justru menciptakan kebijakan lain yang akhirnya mencederai semangat demokrasi dan reformasi melalui pasal-pasal yang diberlakukan.
Pasal-pasal RUU KUHP yang paling disoroti ialah pasal tentang aborsi, pasal tentang gelandangan, pasal tentang pencabulan, dan terakhir yang paling sering dibuat parodinya ialah pasal RUU KUHP tentang pembiaran unggas dan hewan ternak. Pasal-pasal tersebut dirasa bermasalah karena berpotensi mengkriminalkan masyarakat, misalnya pasal tentang aborsi, korban perkosaan yang hamil dan memutuskan mengugurkan kandungan justru dikriminalkan. Di dalam pasal tentang pencabulan juga demikian, dirasa bermasalah karena terdapat penekanan kata “sesama jenis” pada pemidanaan dan pencabulan. Penekanan tersebut berpotensi mengkriminalkan masyarakat dengan Sexual Orientation, Gender Identity, Expression, Sex Characteristic (SOGIESC) yang beragam. Dampak lain yang juga ditimbulkan yaitu adanya hukum yang berdiri sendiri di tengah-tengah masyarakat, seperti penggrebekan kepada komunitas tertentu, persekusi, dan lainnya.
Oleh karena banyak pasal yang bermasalah, gerakan masyarakat sipil; baik mahasiswa, atau yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Untuk Keadilan dan Demokrasi mulai bergerak dan turun ke jalan untuk menggelar aksi agar pemerintah lebih fokus pada tuntutan masyarakat. Aksi ditujukan pada DPR yang dianggap mengkorupsi semangat reformasi karena secara diam-diam membahas berbagai paket RUU yang merugikan rakyat.
Secara serentak masyarakat kemudian menggelar aksi secara berkala untuk merespon situasi tersebut, mulai dari aksi tanggal 16, 17, 23, 24, 27 dan terakhir aksi 30 September. Aksi tersebut juga turut diramaikan dengan mobilisasi mahasiswa di seluruh Indonesia yang diramaikan dengan tagar #gejayanmemanggil untuk wilayah Yogyakarta, #surabayamenggugat untuk wilayah Surabaya, #bengawanmelawan untuk wilayah Solo, di antara semua itu tentu juga tak lepas dari semangat tagar #mahasiswabergerak untuk merespon #reformasidikorupsi.
Tabumania, sekadar mengingatkan lagi nih, dalam aksi September lalu ada tujuh tuntutan yang menjadi prioritas para demonstran, antara lain:
- Menolak RKUHP, RUU pertambangan minerba, RUU pertahanan, RUU permasyarakatan, RUU ketenagakerjaan; Mendesak pembatalan UU KPK dan UU SDA; Mendesak disahkannya RUU PKS dan RUU perlindungan pekerja rumah tangga.
- Batalkan pimpinan KPK bermasalah pilihan DPR.
- Tolak TNI dan polri menempati jabatan sipil.
- Stop Militerisme di Papua dan/ daerah lain, bebaskan tahanan politik papua segera!
- Hentikan kriminalisasi aktivis.
- Hentikan pembakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera yang dilakukan oleh korporasi, dan, pidanakan korporasi pembakar hutan, serta cabut izinnya.
- Tuntaskan pelanggaran HAM dan adili penjahat HAM; Termasuk yang duduk di lingkaran kekuasaan; pulihkan hak-hak korban segera!
Gerakan masyarakat sipil pada aksi tersebut digadang-gadang sebagai aksi yang cukup sukses karena mampu menyatukan masyarakat dari berbagai lintas isu, pulau dan provinsi, demi tujuan yang sama yaitu menjaga demokrasi dengan semangat feminisme! Semangat feminisme memang sudah dilakukan sejak masa reformasi, ketika barisan perempuan mulai turun ke jalan pada ‘98 memprotes harga susu dan sembako yang melambung tinggi. Pada masa tersebut kita sudah mulai mengenal bahwa semangat feminisme juga mempunyai kepedulian terhadap sistem kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat, atau hematnya justru mempersulit rakyat. Walau dalam praktiknya perempuan atau identitas gender lainnya yang turun ke jalan masih mendapatkan tindakan seksis, perundungan (bullying), hingga peminggiran terhadap ruang demokrasi, namun hal tersebut justru diputar sebagai ruang untuk memberikan edukasi. Warganet di media sosial ramai-ramai meneruskan informasi tentang himbauan aksi agar sesama partisipan demonstran saling menjaga, melindungi dan tidak seksis kepada identitas gender tertentu.
Dengan kesadaran tersebut, semangat feminisme dirawat hingga masa kini, dan terus digunakan melalui aksi-aksi selanjutnya. Kini dalam mimbar-mimbar aksi, perempuan memperoleh kesempatan untuk menyampaikan aspirasi bersama dengan kelompok lainnya. Kesempatan tersebut, akhirnya memancing perempuan-perempuan lain yang awalnya hanya diam, menjadi berani turun ke jalan dan bersuara. Kini sudah tidak heran kan jika dalam berbagai aksi kita juga menemukan banyak keterlibatan perempuan. Karena sejatinya semangat feminisme sama juga berkontribusi untuk meningkatan partisipasi perempuan. Semangat tersebut bahkan tertuang baik melalui media online maupun offline. Berbagai akun yang memiliki perspektif feminisme saling membantu menyebarkan informasi, membuat konten, bahkan memuat ajakan-ajakan berupa video kreatif agar terbangun solidaritas di ruang publik.
Meski demikian, keterlibatan perempuan tidak hanya sebagai pemanis lho! Tetapi memang bertujuan agar terciptanya ruang-ruang strategis untuk memperjuangkan kesetaraan, bersuara dan berpendapat, serta untuk memperjuangkan keadilan agar dapat dirasakan oleh seluruh warga negara tanpa terkecuali. Semakin banyak dan/seringnya perempuan turun ke jalan bersama gerakan masyarakat sipil lainnya dan membawa semangat feminisme, maka hal tersebut akhirnya turut menjadi nafas perjuangan. Keterlibatan perempuan tersebut bisa dilihat dari berbagai dokumentasi di media mainstream dan ramainya akun-akun feminisme yang turut bergerak melalui aksi #reformasidikorupsi
Akan tetapi, namanya perjuangan pasti ada tantangannya ya, Tabumania! Memperjuangkan cinta aja lika-likunya banyak, apalagi memperjuangkan negara.
Nah, melalui aksi #reformasidikorupsi yang lalu diketahui ada tindakan kekerasan dari aparat kepada beberapa mahasiswa yang kemudian diberitakan meninggal dunia. Ada pula yang ditangkap karena tuduhan menggelontorkan dana untuk aksi, dianggap provokator, dan lainnya. Pokoknya tuduhannya macam-macam deh, tuduhan-tuduhan yang justru membatasi gerak masyarakat sipil dengan cara-cara yang represif. Syeram kan!
Oleh karena itu Tabumania, kita harus mulai terbangun juga kesadarannya, baik laki-laki, perempuan dan identitas gender lainnya harus mulai belajar bersama-sama bahwa diperlukan solidaritas dari berbagai pihak untuk merespon isu-isu demokrasi yang lebih luas. Saling menjaga antar individu satu dan lainnya, serta tidak merendahkan dan menganggap lemah satu gender tertentu. Jadi, kalau Tabumania turun ke jalan dan turut terlibat dalam aksi, pastikan mendapatkan dan memberikan kesempatan berpartisipasi yang setara ya!
Pingback: DPR Jangan Halu Biar Nggak Makin Halu – qbukatabu.org