Buka Layar

Aku Harus Bebas

Beda zaman tentu akan beda pula pola perjuangan. Termasuk gerakan kaum perempuan dalam memperjuangkan hak-haknya dan meningkatkan kapasitas diri. Pejuang-pejuang kaum perempuan tidak mesti terlahir di kota-kota besar dan berlatar belakang dari keluarga mapan secara ekonomi. Namun, bila semangat juang sudah menggelora dalam keterbatasan bisa dilakukan meski tinggal di perkampungan.

Hal inilah yang dialami VJ (24 tahun), yang sudah sekitar 2 tahun ini memperjuangkan hak-hak kaumnya di akar rumput. Utamanya kaum ibu-ibu rumah tangga dalam banyak aspek. Selama 2 tahun yaitu 2019 – 2020 yaitu pada waktu pandemi Covid-19, banyak ibu rumah tangga yang mengalami krisis dalam hal perekonomian dan kesejahteraan dalam keluarga. Selama 2 tahun itulah, ia melakukan konsolidasi dengan Yayasan Huni Meku untuk memberdayakan potensi ibu-ibu rumah tangga lewat program pelatihan-pelatihan. Program tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan pemenuhan kebutuhan rumah tangga dan lebih khusus lagi kepada ibu rumah tangga yang hidup dengan HIV (human immunodeficiency virus).

Puan yang berdomisili di Benteng Atas, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon itu, awalnya membentuk kelompok bersama dengan kaum perempuan di kawasan tempat tinggalnya tersebut. Kelompok tersebut diberi nama Gaya Warna Lentera. Tujuannya agar bisa memecahkan problema secara bersama baik secara ekonomi dan lainnya. Kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh GWL Maluku diantaranya advokasi legislasi anti stigma dan diskriminasi. Kegiatan tersebut dilakukan dengan tiga aktivitas yaitu melakukan mediasi dan juga konsolidasi dengan beberapa stakeholder diantaranya LBH FH Unpatti, Yayasan Sagu Salempeng dan juga Komnas HAM wilayah Maluku. Selain itu juga GWL melakukan peningkatan kapasitas terhadap teman-teman LGBTIQ lewat peningkatan kapasitas pendidikan SOGIESC dan HIV dasar serta kegiatan kemanusiaan lainnya yang dilakukan GWL Maluku dalam rangka peningkatan kesejahteraan anggota komunitas.

Dalam proses pergerakan GWL Maluku, beberapa tantangan yang diterima baik internal maupun eskternal. Dalam konteks internal adalah anggota GWL Maluku yang masih banyak mendapatkan diskriminasi sehingga hal itu sangat berpengaruh terhadap mental dalam berorganisasi. Sedangkan tantangan dari eksternal yaitu masih banyak pemangku kepentingan yang masih sulit untuk dijangkau agar bisa berkonsolidasi dengan GWL Maluku. Selain itu masih banyak media yang selalu mendiskreditkan kelompok LGBTIQ dalam pemberitaannya sehingga sangat berdampak pada proses pergerakan yang dilakukan GWL Maluku.

Secara ekonomi, ia bukan seorang puan yang mapan dan mengenyam pendidikan tinggi. Rumah tempat tinggal bersama anggota keluarga pada awalnya semi permanen. Sang ayah bekerja sebagai mekanik, sedangkan sang ibu sebagai ibu rumah tangga, tetapi gerakan komunitas terus dijalaninya. Semangat untuk bergerak bersama tetap jalan sembari menata perekonomian keluarga dengan menjadi seorang Peer Educator. Sebagai Peer Educator, ia bertugas untuk membantu penjangkau lapangan dalam memberikan informasi terkait penularan dan pencegahan HIV serta membantu penjangkau lapangan dalam memberikan informasi kepada populasi kunci untuk melakukan VCT (voluntary counselling and testing).

Seiring perjalanan waktu pada Mei 2022, ia memperoleh pendampingan dari Lembaga Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Pattimura Ambon dan Yayasan Huni Meku Ambon. Pendampingan tersebut fokus dalam pemberdayaan kaum perempuan dalam memperjuangkan hak-hak ekonomi, politik, dan reproduksi serta peningkatan kapasitas. Bentuk-bentuk peningkatan kapasitas yang diberikan antara lain Pelatihan Pemberdayaan Perempuan dalam Pembangunan perdamaian dalam industry kreatif. Selain itu ada pula layanan program pelatihan UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah) terhadap perempuan dengan HIV.

Hal-hal yang dilakukan saat ini merupakan pembelajaran dari akar rumput merajut aksi menghapus kekerasan terhadap perempuan. Konstruksi sosial yang menempatkan posisi perempuan secara tidak setara dengan laki-laki merupakan akar timbulnya kekerasan terhadap perempuan. Hal ini berdasarkan pengalaman hidupnya bersama ibunya yang merupakan korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Saat ibunya mengalami KDRT ia pun merasa gelisah. Ia pun kemudian melaporkan hal tersebut ke pihak yang berwajib dan juga LBH, sehingga lewat penyelesaian itu tindakan yang dilakukan adalah mediasi.

“Masyarakat sebagai lapisan di akar rumput, menjadi kelompok terpenting dalam upaya perlindungan perempuan dan anak. Melalui kerja sama yang baik, perlindungan terhadap perempuan dan anak akan dapat terwujud.”tuturnya.

Baginya, perempuan yang merdeka adalah mereka yang merdeka mulai dari cara berpikir, cara berbicara, hingga bertindak. Merdeka adalah ketika perempuan sudah bisa mengambil keputusannya sendiri, mampu berjuang, dan membebaskan diri dari berbagai kekerasan, serta bisa keluar dari rumah dan berpartisipasi dalam pembangunan. Saat ini, menurutnya perempuan-perempuan di Ambon sudah merdeka dalam hal pengembangan diri dan potensi. Itu terbukti lewat banyak karya ibu-ibu yang pernah mendapatkan pelatihan pemberdayaan serta layanan program UMKM. Mereka sudah bisa Sejahtera dengan menghasilkan karya-karya yang luar biasa. Yang mana juga menghasilkan kestabilan perekonomian dalam keluarga, salah satunya adalah yang dilakukan Kelompok Pembuat Kain Tenun.

Artikel ini ditulis oleh VJ Rich

VJ Rich adalah peserta AKSARA (lokAKarya penuliSAn beRsama media Alternatif)

Portal pengetahuan dan layanan tentang seksualitas berbasis queer dan feminisme. Qbukatabu diinisiasi oleh 3 queer di Indonesia di bulan Maret 2017. Harapannya, Qbukatabu bisa menjadi sumber rujukan pengetahuan praktis dan layanan konseling yang ramah berbasis queer dan feminisme; dan dinikmati semua orang dan secara khusus perempuan, transgender, interseks, dan identitas non-biner lainnya.

1 comment on “Aku Harus Bebas

  1. Herga Ragellber

    Semangatt terus ya kak untuk memperjuangkan kaum perempuan dan hak-hak mereka disana

    Salam dari Palangkaraya

    Like

Leave a comment