Terinspirasi dari lagu Melawan Dunia – RAN ft Yura Yunita
Di bawah kubah langit ungu,, berdiri sebuah kota terapung bernama Aurealis — tempat sihir adalah napas kehidupan. Di sini, setiap orang dilahirkan dengan Segel Roh, suatu tanda sihir yang mengikat takdir hidup pemiliknya. Tapi ada dua gadis yang berani menentang hukum itu. Mereka adalah perwujudan takdir yang menolak dijinakkan.
Namanya Lyra, murid terbaik di Akademi Arkanum. Gadis dengan rambut perak yang berkilau seperti debu bintang dan mata ungu menyala seperti langit senja. Ia dijuluki ‘Cahaya Penuntun’. Seorang gadis yang digadang-gadang akan menjadi penerus Archmage tertinggi, calon pemimpin dunia sihir berikutnya. Dan di seberang takdirnya, ada Eira — gadis pembuat ramuan dari distrik bawah yang hidup dari menjual ramuan penyembuh dan menyelundupkan sihir terlarang dari pasar hitam. Eira lahir tanpa segel roh. “Non-marked,” begitu orang menyebut mereka. Makhluk yang dianggap cacat oleh sistem magis yang menjadi pondasi kehidupan di Aurealis.
Keduanya tak seharusnya bertemu. Tapi malam itu, di festival bulan merah, dua dunia yang berbeda bertabrakan.
Ini adalah kisah paling terkenal di Aurealis, kisah cinta yang indah dan melambangkan keberanian, namun terlalu tabu untuk dibicarakan terang-terangan.
***
Festival Bulan Merah adalah hari di mana elemental sihir meningkat. Langit malam dipenuhi serpihan cahaya aurora berwarna hijau. Setiap orang menyalakan lentera untuk merayakan festival. Di tengah keramaian, Lyra berjalan diam-diam, menyamar di balik jubah ungu tua. Ia kabur dari pesta para bangsawan sihir. Ia muak berada di sana, di pusat semua kepalsuan penuh kepura-puraan.
Di satu sudut pasar, Lyra melihat seorang gadis berambut hitam dengan mata biru tajam tengah berdiri di depan lapak kecil, menjual ramuan yang menyala dalam botol-botol kaca. Ada sesuatu dalam cara gadis itu tersenyum. Di mata Lyra, senyumnya terlihat liar, bebas, dan menantang.
Lyra menatap terlalu lama.
Gadis itu sadar.
“Kalau mau beli, jangan cuma menatap,” ucap gadis itu dengan nada menggoda tanpa menoleh. “Atau kau hanya suka cahaya biru di mataku?”
Lyra tersentak, wajahnya memanas. “Aku… aku tidak sedang —”
“Tentu saja tidak,” potong gadis itu cepat. Ia menyeringai, lalu menyodorkan satu botol kecil berisi cairan berpendar lembut. “Ramuan Keberanian. Gratis untuk gadis yang berani menatap seseorang terlalu lama namun tergagap ketika tertangkap basah.”
Lyra bersungut. “Hei, lancang sekali. Kau tahu siapa aku?”
“Tidak,” jawabnya, “dan aku tidak peduli. Yang aku tahu, kau hanyalah seorang gadis yang menatapku diam-diam.”
Sihir di udara tiba-tiba terasa berbeda. Untuk pertama kalinya, Lyra merasa dilihat bukan sebagai simbol, bukan pewaris, tapi sebagai dirinya sendiri. Gadis itu pergi, meninggalkan Lyra yang masih diam mematung sambil memandangi punggungnya yang perlahan ditelan oleh keramaian festival.
***
Hari-hari setelah itu, Lyra selalu menemukan alasan untuk pergi ke pasar bawah. Kadang katanya untuk mempelajari sihir rakyat, kadang untuk membeli ramuan, tapi alasan sebenarnya… adalah Eira—nama gadis yang ditemuinya saat malam festival. Nama yang akhirnya diketahui Lyra setelah beberapa kali usahanya menemui gadis itu.
Eira tinggal di distrik bawah kota, tempat para buangan Aurealis. Gadis itu ternyata seorang non-marked—orang yang lahir tanpa segel roh. Suatu fakta yang sangat mengejutkan Lyra.
Di Aurealis, status sosial seseorang ditentukan dengan segel roh. Seperti dirinya yang lahir dengan segel roh ungu bercahaya yang dianggap memiliki kedudukan tertinggi dan dijuluki ‘Cahaya Penuntun’. Itulah kenapa ia disebut sebagai penerus Archmage tertinggi, calon pemimpin dunia sihir berikutnya.
Eira yang seorang non-marked adalah sosok yang harus dijauhi oleh Lyra, begitulah ajaran dari keluarga, akademi, dan semua orang yang berstatus tinggi di Aurealis. Kalau dulu sebelum bertemu Eira, maka Lyra dengan patuh akan mengikutinya, namun tidak kali ini. Eira terlalu menarik untuk tidak didekati. Gadis itu seperti gravitasi yang terus menarik Lyra untuk berada di sekitarnya.
Seringnya mereka bertemu membuat mereka mulai berbagi rahasia kecil. Tentang ramuan, mantra, bahkan cerita-cerita lucu mengundang tawa. Eira memperkenalkan Lyra pada sihir tanpa aturan, sihir yang lahir dari hati, bukan dari buku. Sihir alami—sihir yang digunakan oleh para non-marked. Sihir yang cara kerjanya berbeda dari sistem sihir Aurealis. Sihir yang katanya sesat dan tabu. Salah satu alasan kenapa non-marked tak punya tempat di Aurealis karena dianggap melanggar tabu pada sistem sihir yang berlaku.
Contoh sihir alami beberapa di antanya tentang tanaman yang bisa merasakan perasaan manusia, tentang sungai yang menyimpan kenangan, tentang api yang menyala hanya dengan satu bisikan kejujuran, dan masih banyak lainnya.
Lyra yang seorang pecinta sihir, untuk pertama kalinya mempertanyakan tentang sistem sihir Aurealis yang kini menurutnya begitu kaku. Sihir alami sangat menakjubkan, terasa bebas, liar, dan tanpa formula sihir aturan baku. Sebagai balasan, Lyra mengajari Eira membaca simbol-simbol kuno yang hanya diajarkan di akademi tertinggi dan berbagai sihir umum yang digunakan di Aurealis.
***
Suatu malam, di bawah langit penuh bintang, mereka duduk di tepi menara terbengkalai di dekat hutan.
“Di dunia atas,” kata Eira suatu kali sambil menatap langit, “mereka percaya sihir adalah aturan. Di sini, kami percaya sihir adalah perasaan.”
Dunia atas —sebutan untuk Aurealis dari para non-marked dan orang buangan lainnya yang tinggal di distrik bawah.
Lyra tersenyum samar. “Mungkin karena di atas, kami terlalu sibuk menunduk pada hukum.”
Eira menatap kota Aurealis yang berkilau di bawah sana. “Kau tahu, kadang aku ingin menjatuhkan semua ini. Dunia yang hanya memuja segel, darah bangsawan, dan membuang semua yang lahir berbeda.”
Lyra menatapnya. “Kau bicara seperti penyihir pemberontak.”
Eira tersenyum getir. “Mungkin aku memang begitu.”
“Dan aku… calon pemimpin mereka,” balas Lyra pelan.
“Lalu kita berdua apa?” tanya Eira, menoleh padanya. “Musuh?”
Hening.
Lyra hanya diam berpikir, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Benarkah mereka harusnya jadi musuh? Sungguh Lyra tidak ingin memusuhi Eira. Tapi bagi gadis itu, dunia atas dan seluruh penghuninya pasti sangat memuakkan karena memaksanya hidup sulit di distrik bawah sepanjang hidupnya.
Eira tiba-tiba menggenggam tangannya, menatapnya dalam. Mata birunya lembut tapi menusuk. “Kau tidak seperti mereka, Lyra. Kau berbeda. Di matamu, aku melihat seseorang yang ingin meledakkan dunia. Hanya saja terlalu takut untuk sekedar memegang korek api.”
Kalimat itu menancap di dada Lyra, lebih dalam dari mantra mana pun. Malam itu, di bawah cahaya lentera pasar yang berpendar lembut, Lyra menyadari sesuatu yang berbahaya: ia sedang jatuh cinta.
Lyra berbisik, “Aku rasa kita berdua bukan musuh. Mungkin kita berdua adalah bintang yang salah orbit.”
Eira tertawa pelan. “Kalau begitu, biarkan kita saling bertabrakan.”
Dan malam itu, bintang-bintang seolah bergetar ketika mereka saling mendekat, ketika bibir Lyra akhirnya menemukan bibir Eira — lembut dan hangat. Dunia di bawah mereka tetap berputar, tapi di menara itu, waktu terasa berhenti. Untuk sesaat, hanya ada dua jiwa menabrakkan dua dunia dan membuat takdir menjadi porak poranda.
Hubungan mereka tumbuh seperti api di bawah salju. Panas yang membara dari dinginnya musim, namun perlahan melelehkan sekitarnya dengan pasti. Setiap pertemuan adalah rahasia. Setiap sentuhan adalah dosa. Namun sayangnya, dunia tak suka diserang cinta yang berbeda.
Yang tak mereka sadari, dunia sihir selalu punya mata.
Kabar tentang “pewaris Archmage yang mencintai Non-marked” menyebar secepat sambaran petir. Dewan Sihir menganggap hubungan itu penghinaan terhadap tatanan. Lyra dipanggil, diinterogasi, dan diancam akan dicabut segelnya. Para bangsawan menuduh Lyra “terkutuk”, “tercemar”.
Dewan sihir mengadakan sidang tertutup. Archmage — gurunya, yang baginya seperti ayah — memanggilnya.
“Lyra,” suaranya berat, penuh kekecewaan. “Kau mengotori darah murni kita. Gadis itu bukan penyihir, ia makhluk liar. Sistem sihir kita akan ternoda olehnya.”
Lyra menggenggam erat jubahnya. “Kau bilang darah murni, tapi siapa yang memutuskan kemurnian itu? Sihir seharusnya menyatukan, bukan memisahkan.”
“Cukup!” bentak sang Archmage. “Takdirmu adalah menggantikanku menjadi Archmage tertinggi, kau tak boleh merusaknya. Putuskan hubungan dengan gadis itu, atau kau bukan lagi bagian dari Aurealis. Jika kau terus bersamanya, aku akan mencabut segelmu dan menghapus namamu dari sejarah.”
Lyra menunduk. Tapi di dalam dirinya, badai mulai meledak. Pikirannya berkecamuk. Ketika ia menutup mata, yang muncul bukan wajah gurunya, melainkan Eira. Senyumnya yang berani, matanya yang percaya, suaranya yang selalu berkata, “Jadilah dirimu sendiri.”
“Jika sejarah menolak cinta kami,” jawab Lyra pelan, “maka biar aku yang menulis ulang sejarah.”
***
Dua hari kemudian, Eira ditangkap.
Mereka menyebutnya penyihir gelap. Mereka menyeretnya ke penjara bawah menara, tempat hukuman bagi mereka yang akan dimusnahkan menjadi debu.
Ketika Lyra mendengar kabar itu, ia berlari ke ruang istana dan memohon pada Archmage.
“Bebaskan dia.”
“Tidak, Lyra. Ia berbahaya,” ucap Archmage tegas.
“Berbahaya bagi siapa? Bagi sistemmu yang takut pada cinta?!” Lyra berteriak marah.
“Cukup!” Archmage balas berteriak. Suaranya bergema seperti petir. “Jika kau memilihnya, kau akan kehilangan segalanya.”
Lyra menatapnya lalu tersenyum dengan tenang. “Kalau begitu, aku memilihnya.”
Dan malam itu, dengan air mata dan darahnya sendiri, Lyra menghancurkan segel roh miliknya. Segel itu retak di kulitnya, cahaya ungu meledak dari tubuhnya dan menggetarkan langit Aurealis. Setelahnya, Lyra terbang menembus menara penjaga, membakar jaring-jaring mantra yang melindungi penjara.
“Lyra!” Eira berteriak panik dari balik jeruji. “Apa yang kau lakukan?!”
Lyra tersenyum. Ia tak peduli pada darah yang menetes dari pelipisnya. “Melawan dunia, bersamamu.”
“Lyra! Kau gila! Mereka akan membunuhmu!”
Lyra kembali tersenyum. “Mereka sudah melakukannya sejak lama, Eira. Hanya saja aku baru sadar sekarang.”
Dengan mantra kuno yang bahkan Archmage pun takut menyebutnya, Lyra menghancurkan dinding penjara. Menara bergetar, langit memekik, dan kilat ungu menyambar setiap penjaga. Mereka berlari dengan tangan saling menggenggam di bawah sirene magis dan kilat sihir yang menghujani kota. Lyra dan Eira memilih meninggalkan Aurealis dan segalanya.
Di atas jembatan udara terakhir sebelum gerbang dimensi, Archmage muncul. Tubuhnya diselimuti api biru yang membara. Wajahnya menampakkan murka.
“Kau pikir cinta bisa menyelamatkanmu, Lyra?”
“Tidak,” jawab Lyra, menatapnya tanpa takut. “Tapi cinta memberiku alasan untuk hidup.”
“Dan untuk mati?”
Lyra menatap Eira, menggenggam tangannya. “Kalau itu harga untuk kebebasan, maka artinya iya.”
Archmage semakin murka. Ia menembakkan mantra pemusnah ke arah mereka berdua. Lyra membalikkan tubuhnya, membentuk perisai sihir. Dengan sisa tenaganya, Lyra menembakkan mantra yang sama kuatnya. Sihir mereka bertabrakan. Ledakan besar meruntuhkan jembatan. Jurang dimensi terbuka akibat benturan dua sihir tingkat tinggi. Lyra mendekap tubuh Eira, melindunginya dari ledakan dan bersama-sama, mereka jatuh ke dalam jurang dimensi.
Setelah pertarungan magis yang dahsyat malam itu, berbagai teori dan opini mulai menyebar. Banyak yang bilang mereka mati. Banyak pula yang percaya mereka hidup dan terlempar ke dunia lain. Orang-orang memanggil mereka “Dua Nyala”. Kisah mereka sangat terkenal, namun tak ada yang berani menceritakannya terang-terangan di bawah langit Aurealis.
***
Beberapa tahun kemudian, di lembah terpencil di bawah langit hijau zamrud, ada desa kecil yang aneh. Tanaman tumbuh tanpa sihir, tapi berpendar lembut setiap kali matahari terbenam. Dan di tengah desa itu, ada dua wanita yang membuka bengkel ramuan dan sihir. Satu berambut hitam, satu berambut perak. Mereka hidup tenang, tertawa di bawah cahaya senja, seperti dua api kecil yang pernah membakar langit dunia.
Lyra duduk di teras, menatap Eira yang sedang mencampur ramuan.
“Aku masih sering bermimpi tentang Aurealis,” katanya pelan. “Tentang menara, tentang cahaya ungu yang pecah.”
Eira mendekat, mengusap tangannya. “Dan kau menyesal?”
Lyra menggeleng. “Tidak. Aku hanya takut dunia tak akan berubah meski kita sudah pergi,” katanya pelan dan lirih.
Eira menatapnya lama, lalu tersenyum lembut. “Kau tahu Lyra, dunia tak harus berubah seluruhnya. Cukup sebagian kecil di mana kita bisa hidup tanpa takut.”
Lyra menghela napas, lalu menyandarkan kepala di bahu Eira. “Kau masih percaya kita bisa melawan dunia?”
Eira membelai rambut peraknya. “Aku tak perlu melawannya lagi. Karena aku sudah menang saat kau memilihku.”
Mereka berdiam lama, menatap senja yang turun seperti mantra lembut. Cahaya sore memantul di kulit mereka, membentuk warna keemasan di atas perak dan hitam. Dua jiwa yang pernah ditolak dunia kini menyalakan dunia kecilnya sendiri. Tanpa Segel. Tanpa aturan. Tanpa hierarki.
Selesai
Oleh Aksa Rapita, Juara 1 Short Story Writing Contest yang diselenggarakan Leccica x Qbukatabu.

0 comments on “Dua Nyala Jiwa”