Terinspirasi lagu: Cinta Pertama dan Terakhir – Sherina Munaf
Tuk. Tuk. Tuk.
Seseorang mengetuk jendela kamar Shaf yang berdebu. Mulanya, ia ingin mengabaikannya, tapi ketukan itu tidak kunjung berhenti. Gadis itu melirik jam dinding biru yang menunjukkan pukul tujuh pagi. Matahari pagi belum tinggi, tapi sinarnya menyeruak dari sela-sela gorden.
Shaf menghela napas panjang, lalu menyibaknya cepat. Apa pun yang dikerjakannya bisa menunggu.
“Hai!” seorang gadis sebaya dengan mata cokelat besar muncul di depan jendelanya dengan senyum lebar. Rambut cokelatnya yang panjang dan ikal senada dengan mata yang saat ini tengah menatap Shaf lekat. Sweater hitam yang dikenakannya kebesaran, tapi menurut Shaf, itu kelihatan sangat manis.
Si Gadis mengetuk lagi, membuyarkan lamunan Shaf. Tanpa disadarinya, jendela biru lapuk itu pun terbuka. Pertama kalinya setelah tiga tahun.
Yah, jika sihir itu ada, mungkin Shaf adalah orang pertama yang mempercayainya.
“Kamu sibuk?” Sepasang bola mata itu memindai keadaan kamar. Dinding yang
dipenuhi jimat, buku-buku yang berserakan di mana-mana, dan kepingan puzzle yang belum selesai. Belum lagi pakaian kotor yang ditaruh sekenanya. Shaf refleks bergerak mengikuti arah pandangannya, melindungi secuil privasi yang ia miliki—walau tahu itu sia-sia saja, karena ia tampak sudah selesai—dengan memberi perhatian lebih pada instalasi origami burung bangau di pojok ruangan.
“Eh… yah, aku punya sesuatu yang harus kukerjakan, sih.” Tangan Shaf refleks bersembunyi di balik punggung mungilnya.
“Lagi buat apa?” tanyanya antusias. “Aku boleh masuk?”
Shaf mengalihkan pandangannya. Kuku ibu jari dan telunjuknya beradu beberapa kali. Ia tidak yakin apakah ia harus membiarkannya masuk ketika orang tuanya sedang bekerja. Shaf mengetuk dahinya sendiri, merasa bodoh karena ia sudah terlalu dewasa untuk minta izin orang tua. Namun, waktu kadang tidak berjalan lurus seperti yang dikatakan semua orang. Terlebih, senyuman gadis itu membuat Shaf tidak bisa berkata tidak padanya.
Shaf pun mempersilakan gadis itu masuk.
“Kamu bukan asli pulau sini, ya? Aku belum pernah melihatmu. Namamu siapa?”
Si Gadis tersenyum dan mengulurkan tangannya. “Celestia. Aku sedang liburan.”
“Shafin. Panggil saja Shaf.” Shaf menggenggam tangannya dan berjabat. Sedikit lebih lama.
“Nama yang bagus,” ujar Celestia sambil duduk di kursi dan melihat puzzle lukisan Café Terrace at Night karya Van Gogh dan kembali menoleh. Shaf memungut satu keping puzzle dan menaruhnya di sudut. “Tidak lebih bagus dari Celestia.”
Celestia tertawa dan mencari kepingan yang cocok. “Aku serius. Aku belum pernah bertemu gadis yang bernama Shaf. Selamat, kamu Shaf pertama di hidupku!”
“Shaf itu nama yang cukup umum di sini,” jawab Shaf datar, seolah-olah gadis itu juga bukan Celestia pertama di hidupnya.
“Oh ya? Tapi aku yakin Shaf yang merangkai burung bangau sebanyak itu di pulau ini cumakamu.” Jari-jari lentik Celestia menyusuri pinggiran setiap burung kertas dengan halus, seakan mereka adalah burung sungguhan yang akan terluka jika ia menyentuhnya terlalu kasar. “Mimpi apa yang mau kamu wujudkan?”
Benar. Shaf pernah mendengar bahwa seribu burung bangau bisa mewujudkan
keinginan, jadi ia terus melipat. Melipat dan melipat. Siang dan malam. Sampai ia lupa untuk apa melakukannya. Ingatan terakhirnya tentang burung-burung itu adalah tangannya yang kebas dan kantung matanya yang menghitam. Setelah burung-burungnya selesai, ia berpindah ke jimat. Membaca buku, menyelesaikan puzzle, membuat jimat. Tidak ada yang bisa menghentikan rutinitasnya setiap hari bak ritual presisi yang tak boleh diganggu.
“Hmm…” gumam Shaf berpikir. “Banyak.”
Mana mungkin ia bilang lupa.
“Contohnya?” tantang Celestia.
“Bahagia,” jawab Shaf asal, dan ia cukup bangga dengan jawabannya. Soalnya, tidak ada orang yang tidak ingin bahagia, ‘kan?
Celestia mengangguk. “Kalau begitu, aku bisa membuatmu bahagia.”
Jawaban itu membuat Shaf terkekeh. Baru pertama kalinya ada seseorang yang
begitu percaya diri bisa membuatnya bahagia. Orang tuanya bahkan sudah lama berhenti melakukan itu. Mereka tidak menyuruhnya keluar dan hanya membiarkannya melakukan apa pun yang dia inginkan. “Coba saja kalau bisa.”
“Oke. Pertama-tama, ayo keluar dari sini. Aku yakin banyak tempat indah di sekitar sini.”
Shaf menengok ke belakang, menatap jendela kamarnya yang semakin mengecil.
“Mana bahagianya?” tagihnya. Untuk pertama kalinya, gadis dengan rambut sebahu itu tidak merasa ragu akan keputusannya menginjakkan kaki ke luar rumah. Malah, ia merasa begitu bahagia.
Ia bahkan merasa aneh dengan dirinya yang dengan lepasnya melempar candaan. Mungkin, berada bersama seseorang yang tidak mengenalmu bisa membuatmu menjadi seseorang yang baru.
“Sabar, morning glory,” ucap Celestia, yang sesaat kemudian menggamit tangan Shaf erat dan mengayunkannya. “Lihat, mereka sedang mekar.”
Celestia menunjuk bunga morning glory yang tumbuh di sepanjang pagar rumah- rumah dengan antusias. Begitu pula dengan bunga-bunga lain yang tidak kalah menawan. Langkahnya berhenti di satu lokasi. Ia memejamkan mata dan menghirup dalam-dalam harumnya morning glory yang manis menguar, bercampur dengan honeysuckle dan bunga markisa. Shaf mengikuti jejaknya dan ikut menghirup aroma yang membuat senyumnya makin mengembang. Entah kapan terakhir kali ia merasakan aroma yang begitu
dirindukannya.
Keberadaan Celestia di sampingnya, tangannya yang menggenggam erat Shaf,
jalanan yang mulai hangat—entah mengapa semuanya terasa pada tempatnya. Langkah mereka pun selalu seirama, seolah mereka sudah saling mengenal sejak lama.
“Hei, gadis kecil! Sedang lari pagi?” sapa Aidan, salah satu tetangga paruh baya yang rajin menyiram kebunnya. Shaf mengangguk dan melempar senyum kikuk. “Ya, hanya jalan-jalan biasa bersama teman!”
“Oh, siapa dia?” tanyanya heran.
Wajar bertanya begitu—hampir semua orang di pulau kecil ini saling mengenal. Hampir, karena Shaf tidak tahu apa saja yang sudah berubah selama tiga tahun di luar batas rumahnya. Ia juga tidak berani bertanya Celestia kerabat siapa, karena terasa aneh baginya jika ditanya hal serupa.
Shaf menoleh kepada Celestia, dan mewakili. “Namanya Celestia, Paman. Dia bilang katanya sedang liburan! Dah, Paman Aidan!”
Lelaki itu hanya mengernyit dan mengayunkan tangan dengan lamban.
“Sebenarnya kita ini mau ke mana?” ujar Shaf, terengah-engah. Sandal yang dipakainya bukan alas kaki yang tepat untuk berjalan sejauh ini. Tepatnya, ia tidak pernah mengira akan terus berjalan dengan medan tanjakan dan tidak pernah menoleh ke belakang. Keinginan untuk berada di balik tembok kamar itu entah kapan perlahan menghilang.
“Nah, sampai.” Celestia menunjuk bangku yang berada di posisi strategis bukit. Dari sana, kedua gadis itu bisa melihat seisi pulau dari kejauhan. Panas terik sore itu kalah oleh pepohonan yang mengelilingi mereka berdua. Mereka berada di ruang yang tidak bisa disentuh siapa pun.
“Cel, sebenarnya kamu itu siapa?” Pertanyaan yang sejak awal ditahan-tahan Shaf akhirnya mulai menelusup ke luar.
Celestia yang menyandarkan kepalanya sejak awal mereka duduk di bangku sama sekali tidak bergerak.
“Tunggu, ya. Biarkan seperti ini lebih lama.”
Hanya dengan begitu, Shaf tidak beranjak maupun mengajukan pertanyaan apa pun lagi. Matahari belum terbenam, tapi ia merasa seolah-olah kalimat apa pun yang diucapkannya bisa membuat matahari turun lebih cepat dan itu hal terakhir yang diinginkannya. Begitu pun Celestia. Setidaknya, itu yang Shaf tahu. Tanpa disadarinya, bahu Shaf sudah hangat oleh air mata.
“Untuk menjawab pertanyaanmu, aku butuh bantuan.” Celestia beranjak dan
membongkar tas punggungnya, melemparkan sekop kecil ke arah Shaf. Celestia memberi arahan untuk Shaf mulai menggali sesuatu di belakang batu besar, sementara ia sendiri mengeruk tanah tidak jauh dari sana.
“Ayo balapan. Siapa yang paling cepat menemukan sesuatu, dia yang menang,” sahut Celestia. “Tapi kamu harus kalah,” lanjutnya sambil tersenyum jahil.
Dahi Shaf mengerut. “Apa-apaan itu?” sambil mulai menggali, dengan sesekali melihat gadis yang berdekatan dengannya. Gadis yang begitu asing, sekaligus begitu familiar.
“Kan, kamu kalah.” Alis Celestia bergerak naik, seolah-olah tahu bahwa Shaf akan menghabiskan seluruh waktu yang dimilikinya untuk menatap apa pun yang ia lakukan alih-alih melakukan apa yang seharusnya. Gadis berambut ikal itu mengangkat kaleng yang ditemukannya dan membukanya.
“Selamat ulang tahun, morning glory. Senang bisa melihatmu lagi.”
Shaf tidak pernah meyakini apa pun dalam hidupnya, tapi ia bisa meyakini bahwa itu senyum terindah yang pernah dilihatnya. Celestia berdiri dan menyodorkan sebuah bingkisan pipih. Wajahnya yang ditempa cahaya
mentari terlihat keemasan.
Ulang tahun?
Shaf mendongak dan menghentikan aktivitas penggaliannya, kemudian menunduk lagi untuk membuka bungkusan yang diterimanya. Puzzle dengan bentuk utuh lukisan Almond Blossom karya Van Gogh, pelukis yang selalu dikaguminya.
“Bagaimana kamu tahu?”
Tidak ada jawaban. Shaf menoleh, tapi tidak ada siapa-siapa. Namun hangatnya keberadaan Celestia masih bisa ia rasakan di sekitar. “Cel?”
Suara Shaf malah bergema kembali masuk ke gendang telinganya.
Ia membalik bungkus puzzle dan menemukan catatan yang ditempel di sana.
Happy birthday, my morning glory. Let’s see the world and blossom together. I love you. -C
Jantung Shaf berdegup kencang. Napasnya saling memburu seolah mereka melewatkan sesuatu yang penting. Dadanya mulai sesak. Ia menutup mata dan menghela napas, membayangkan aroma bunga yang tadi ia hirup bersama Celestia hingga akhirnya ia merasa lebih tenang.
Celestia masih tidak ada di mana-mana.
Shaf memutuskan melanjutkan untuk mengeruk tanah yang sedari tadi sempat
terjeda. Sekop yang digunakannya mulai membentur sesuatu, dan itu membuat tangannya bergerak lebih cepat.
Sebuah kapsul waktu dengan inisial S & C yang sudah bernoda tanah.
Seiring jerih payahnya membuka kapsul waktu yang ditutup rapat itu terbayar, semua ingatan mulai memenuhi Shaf. Seolah-olah bendungan yang selama ini menahan kini dibiarkan terbuka, lolos begitu saja.
Ia mengingat semuanya. Kenapa bisa Shaf melupakan semuanya?
Gemetaran, ia menyusuri satu demi satu lembar fotonya bersama Celestia. Dua anak yang lahir di pulau dan tumbuh bersama. Pergi ke sekolah yang sama. Menyelesaikan teka-teki bersama. Satu-satunya perbedaan di antara mereka adalah Shaf ingin tinggal di pulau selamanya bersama Celestia, sementara gadis itu ingin keluar menjelajahi dunia.
Berkali-kali Celestia meyakinkannya untuk pergi dari sini. Shaf selalu merasa aneh, memangnya di mana lagi matahari terbenam bisa seindah ini?
“Percayalah, Shaf, di belahan dunia lain, matahari bahkan bisa muncul tengah
malam. Memangnya kamu tidak penasaran?” suara Celestia pada hari itu yang berusaha meyakinkan masih terputar di belakang kepala Shaf. Bukan hanya satu, tapi tumpukan suara yang membuat kepalanya bergerak. Semua suara Celestia. Semua ajakan itu seakan tidak pernah cukup, dan Celestia memutuskan pergi sendirian ke luar pulau untuk belajar di kampus impiannya. Ia berjanji akan mengunjungi Shaf setiap kali liburan.
Sampai hari itu.
Hari itu, Celestia berjanji akan tiba sebelum matahari terbenam di dermaga. Namun hingga waktu sudah kelewat gelap dan dingin mulai merasuki tubuhnya, Shaf masih menunggu.
Ia sudah membuat banyak jimat perlindungan.
Celestia akan baik-baik saja.
Celestia akan baik-baik saja.
Celestia akan baik-baik saja.
Setidaknya, itu yang diyakininya.
Semua orang bilang jimat-jimat itu tidak bekerja.
Ada badai yang mengalahkan jimat perlindungannya dan membuat kapal yang
ditumpangi Celestia tenggelam. Ia tidak pernah sampai. Janji keduanya untuk bertemu seolah terputus di malam itu, digantikan oleh ketakutan-ketakutan yang menghantui Shaf kala tidur maupun terjaga. Sejak saat itu ia memutuskan tidak akan meninggalkan rumah, satu-satunya tempat aman yang tidak akan menenggelamkannya seperti laut menenggelamkan Shaf. Hari-hari dihabiskan Shaf untuk membuat burung bangau dan meminta untuk menemui Celestia sekali lagi. Menemui cinta pertama dan terakhir yang selalu dirindukannya.
Semesta berbaik hati dan mengabulkan keinginannya—meski ada harga yang harus ia bayar mahal.
Di hari kamu kembali, laut dan langit berseteru siapa yang akan memilikimu lebih dulu.
Kurasa, langit sudah menang walau laut yakin ia sudah memeluk ragamu.
Tapi aku tahu, kamu ingin selalu melihat dunia, Celestia.
Maka selama aku tetap berjalan, kamu akan terus berjalan bersamaku.
Oleh Midsummerrain, juara 3 Short Story Writing Contest yang diselenggarakan Leccica x Qbukatabu.

0 comments on “The Sky Swallows Her”