Trigger Warning:
“Cerita pendek ini mengandung adegan kekerasan seksual. Sebagai pengingat bahwa kekerasan seksual bisa terjadi di lingkungan mana saja. Juga sebagai pengingat untuk segera mendorong aturan turunan UU TPKS agar segera disahkan. Supaya mudah diimplementasikan terhadap kasus kekerasan seksual yang mengakibatkan trauma berkepanjangan. Jika tabumania punya kondisi trauma kekerasan seksual tidak disarankan untuk membaca cerpen ini.”
Berbicara di depan banyak orang adalah hal mudah baginya. Kata-kata mengalir mudahnya, percaya diri, dan tampil tanpa rasa gentar meskipun itu baru pertama kalinya. Apapun topik yang diberikan, dilahapnya dengan mudahnya. Ia tak pernah minder dengan penampilannya yang orang bilang tomboy. Keramahan selalu di wajahnya ketika berinteraksi dengan siapa saja. Sapaan riang selalu diucapkan kepada siapa pun yang ditemuinya. Namun, sekarang tak lagi sama. Ia menarik diri dari segala bentuk tampil di depan umum. Kepercayaan dirinya menghilang seiring kehadiran lelaki itu. Lelaki itu yang menggerogotinya perlahan. Tak ada lagi sapaan ramah menghiasi wajahnya. Ia menutup diri, menarik diri dari segala aktivitasnya. Bahkan ia terseok untuk sekadar melanjutkan hidupnya.
***
Pertemuan pertama dengan lelaki itu ketika ia pergi ke kantornya. Lelaki itu bekerja di sebuah majalah islami. Ia pergi ke sana karena ingin mengambil honorarium tulisannya. Artikel opininya diterbitkan majalah tersebut. Itu tulisan pertamanya yang dimuat media, tak sabar ia segera pergi untuk mengambil honornya sekaligus bukti terbit majalah tersebut.
“Assalamualaikum. Permisi Kak. Saya Ari, kemarin saya ditelepon kalau tulisan saya diterbitkan. Saya mau mengambil honorarium, katanya diminta ketemu dengan Kak Ahmad.”
“Wa’alaikumsalam. Saya Ahmad. Silakan duduk ya. Sebentar ya, Saya mau salat Duhur dulu.”
Begitulah percakapan pertama mereka. Tak banyak obrolan, hanya seperlunya saja, setelah honor diterima, ia pun pamit.
***
Sebulan berselang, lelaki itu mengikuti akun Faceboknya. Awalnya ia bingung karena merasa tidak mengenalnya dan mengacuhkannya. Hingga lelaki itu kemudian mengirimkan pesan di Facebooknya.
“Hai Saya Ahmad. Kita ketemu waktu kamu mengambil honorarium tulisanmu.”
Begitu katanya. Ia pun mengikuti balik karena itung-itung nambah teman pikirnya. Apalagi Ahmad juga bagian dari redaksi sebuah media, ia berharap akan membuka kesempatannya dengan hobi menulisnya.
Usut punya usut, ia pernah mengikuti workshop menulis di mana Ahmad yang mengisi. Ia baru mengingatnya setelah mengobrol via chat dengan Ahmad. Jauh sebelum mengirim tulisan ke majalah itu, ia mengikuti workshop menulis selama tiga hari dan Ahmad salah satu fasilitatornya.
***
Saat itu Ari sedang tertidur karena malam harinya, ia menyelesaikan tenggat pekerjaan lepasnya. Ia sangat mengantuk dan akhirnya tertidur. Ada Ahmad di dalam kamarnya. Ia sedang menyelesaikan pekerjaannya. Mengapa ada Ahmad di kamarnya? Mereka resmi berpacaran setelah sebulan mencoba jalan bareng, makan bareng, dan ngobrol bareng. Ini bukan pertama kalinya Ahmad masuk ke kamarnya. Biasanya ia nebeng untuk salat, beristirahat atau menyelesaikan tugas-tugas kuliahnya atau pekerjaannya. Ia tak pernah memasukkan laki-laki di kamarnya, Ahmad adalah yang pertama. Selama ini semua berjalan dengan aman dan nyaman. Mereka hanya ngobrol, nonton, atau sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Itulah mengapa, Ari mempercayainya.
***
Kepercayaan itu sangat mudah diberikan. Sayangnya untuk menjaganya itu lain cerita. Dan jangan tertipu dengan penampilan luar yang polos dan santun. Ia seringkali lebih berbahaya dari serigala itu sendiri.
***
Di tengah tidurnya, Ari tiba-tiba merasa ada badan yang menindihnya. Ia tak bisa bergerak. Dadanya berdegup kencang. Bibirnya ada yang memaksa menciumnya. Ari tak tahu apa yang harus dilakukan. Ia diam saja.
***
Ahmad tak hanya sekali melakukannya. Berkali-kali. Ari masih sama, bingung apa yang harus dilakukan. Ahmad juga semakin berani. Ia berusaha memegang payudara Ari. Ari telah berusaha melawan, tapi ia tak mampu melawan tenaga laki-laki itu. Setelah kejadian itu, dengan entengnya Ahmad mengatakan, “Payudaramu terlalu kecil, nanti setelah menikah denganku, kamu besarin ya. Kan sekarang ada teknologi untuk besarin payudara.”
Ari tak tahu harus bicara apa. Dunianya beradu satu sama lain. Pikirannya berhenti. Tangannya bergetar tanpa kendali.
Lebih parahnya lagi, Ahmad kembali berkomentar, “Jerawatmu banyak sekali, kamu sudah mencoba berbagai skin care, tapi tidak berfungsi kan. Mau tips mudah dariku? Gimana kalau kita bobok bareng, itu akan menyeimbangkan hormon, jerawatmu pasti sembuh.”katanya sambil terkekeh.
***
Rintik hujan menetes. Membasahi halaman, perlahan semakin deras, sederas air matanya. Ia telah berhasil lolos dari jeratan lelaki yang orang bilang sholeh itu, tapi biadap. Tidak ada orang lain yang tahu apa yang dilakukannya padanya. Ia harus mengumpulkan keberaniannya, kemarahannya, ketakutannya untuk lolos dari laki-laki itu.
Luka yang ditinggalkan pun tak sesederhana itu. Sekarang, setiap kali bercermin atau sedang mandi, ia mempertanyakan kondisi fisiknya, bentuk payudaranya, atau jerawat yang bermunculan di wajahnya, warna kulitnya, bahunya yang lebar, rambutnya yang tipis, ia merasa tak ada yang menarik di sana. Ia pikir dirinya mengerikan. Ia bahkan menutupi semua cermin yang ada di kamarnya.
Dan setiap kali bertemu laki-laki, ia tak bisa menahan diri untuk mencurigainya. Sebaik apapun orangnya, ia tak mempercayainya begitu saja.
***
Ia memberikan cermin pada orang yang salah. Kepercayaan yang diberikannya, justru disalahgunakan. Sekarang ia harus memungut pecahan-pecahan cermin itu, mengumpulkan setiap kepingan kepercayaan dan percaya dirinya, sehingga ia bisa melanjutkan hidupnya. Tentu saja cermin itu tak akan kembali mulus, apapun jenis perekatnya.

0 comments on “Merangkai Pecahan Cermin”