Tabumania, selama ini isu femisida tidak banyak diketahui orang. Hal tersebut karena memang masih banyak pembunuhan yang tidak ada unsur femisidanya dengan yang ada unsur femisidanya kadang-kadang sulit dibedakan orang awam. Kaitannya dengan kekerasan terhadap perempuan, femisida itu sendiri pada dasarnya penghilangan atau pembunuhan kepada para perempuan, karena ada unsur gendernya atau karena dia adalah perempuan.
Hal ini disampaikan Manager Program WCC Mawar Balqis, Sa’adah. Menurutnya belum semua orang paham akan isu femisida ini. “Kalau yang selama ini belum terpapar dengan isu kekerasan terhadap perempuan, itu juga mungkin agak asing gitu ya. Karena memang ada beberapa orang yang sama sekali tidak atau belum pernah atau sangat jarang bersinggungan dengan isu-isu kekerasan terhadap perempuan. Sehingga ketika dengar isu femisida itu enggak atau mungkin tidak paham atau mungkin baru tahu juga terkait isu ini.”katanya. Hal yang termasuk femisida ketika terjadi pembunuhan kepada perempuan karena ia perempuan.
Sa’adah memaparkan biasanya femisida berbentuk kekerasan berbasis gender di mana akan mengakibatkan kematian seorang perempuan. “Itu bisa karena diskriminasi. Lalu karena ketimpangan relasi, kemudian perendahan hak-hak dan martabat perempuan. Termasuk di dalamnya itu pemerkosaan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).” jelasnya.
Penyebab femisida biasanya selain karena pelaku melihat korban sebagai seorang perempuan. Bisa juga karena peran stereotip gender dan ketidaksetaraan gender bisa memicu femisida. “Bahwa pelaku kemudian melakukan pembunuhan pada korban itu bisa jadi awalnya dia melihat korban adalah miliknya. Pelaku merasa berhak atas apa yang terjadi pada korban. Bahwa korban iu miliknya, mau diapakan ya terserah dia. Itu banyak muncul di kepala para pelaku sehingga banyak korban dalam kondisi tidak berdaya, korban dibatasi gerak. Lalu terjadi entah eksploitasi seksual kah, perbudakan seksual kah, atau ada ketergantungan ekonomi.”katanya.
Hal-hal tersebut menyebabkan korban ketika merasa sudah tidak ada lagi yang bisa menolongnya, lalu ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Bahkan ia justru diakhiri hidupnya oleh pelaku. Kasus-kasus yang ditemui dan ditangani WCC Mawar Balqis selama ini tidak terlalu banyak keluarga korban yang mau melaporkan atau melanjutkan kasus kekerasan yang dialami korban femisida ke ranah hukum sehingga kasusnya banyak yang tidak ditindaklanjuti.
Untuk itu WCC Mawar Balqis melihat hal ini seharusnya mendapat perhatian dari banyak pihak yaitu pemerintah dan masyarakat luas. “Kenapa negara harus mengintervensi? Ini kaitannya dengan kebutuhan yang layanannya dibutuhkan korban dan keluarganya. Taruh yang paling kelihatan misalnya keadilan untuk korban dan keluarganya. Yang sering kita lihat di situ adalah negara seringkali tidak hadir untuk memberikan keadilan kepada korban dan keluarganya.”jelasnya.
Alasan-alasan yang disebutkan negara pun beragam. Mulai dari anggaran, SDM yang terbatas di lembaga layanan pemerintah misalnya Aparat Penegak Hukum (APH)nya. Bisa juga dinas terkait misalnya dinas pemberdayaan perempuan, dinas sosial, atau dinas kesehatannya. “Ini terjadi terutama di daerah-daerah pelosok. Ada daerah-daerah di mana untuk melaporkan kasus misalnya ke Polres itu mereka harus naik perahu 2 hari 2 malam. Bisa dibayangkan kan? Taruhannya nyawa itu, sehingga banyak korban atau keluarga korban yang memilih untuk tidak melaporkan kasusnya. Apalagi kalau misalnya lapor belum tentu sekali lapor akan langsung diterima atau diproses. Itu juga yang jadi alasan, karena tidak ada sarana dan prasarana yang mendukung korban dan keluarganya untuk melaporkan kasusnya, ini yang kemudian membuat kasus–kasus itu tidak terdata, tidak terdeteksi, bahkan tidak tertindaklanjuti.”tambahnya.
Kemudian selain negara, dari unsur masyarakat juga perlu hadir. Mengapa? Menurut Sa’adah, selama ini korban berbasis gender seringkali memperoleh stigma dari masyarakat sehingga menyebabkan korban banyak yang mengalami kekerasan berkali-kali. “Misalnya korban mengalami kekerasan seksual, seringkali korban mendapat stigma dan disalahkan bahwa kekerasan seksual yang terjadi itu karena salah mereka sendiri. Atau dipertanyakan mengapa baru lapor sekaranglah, kenapa dia datang ke tempat pelaku dan lain-lain. Inilah yang bisa menyebabkan korban harus berfikir berkali-kali ketika mereka mau melaporkan kasusnya. Bahkan banyak yang kemudian memilih untuk mengakhiri hidupnya.”urainya.
Inilah yang kemudian mendorong WCC Mawar Balqis saat berdiskusi dengan ibu-ibu atau teman-teman mahasiswa, mereka sampaikan ketika mendengar kasus-kasus seperti ini (femisida) bisa sebagai sebuah peringatan. “Bahwa kita mungkin kurang aware dengan lingkungan gitu. Karena kan sebenarnya yang para korban butuhkan adalah tempat di mana mereka bisa bercerita dengan aman, nyaman. Mereka merasa menemukan tempat yang aman sehingga mereka bisa keluar dari lingkaran kekerasan yang mereka alami.Namun, yang mereka temui justru sebaliknya, maka inilah yang terjadi, mereka kemudian mengalami ‘entah dibunuh atau mengakhiri hidupnya. Inilah yang berujung pada femisida.”jelasnya.
Saadah juga menyoroti persoalan sistem hukum di Indonesia yang perlu memperoleh perhatian khusus. Menurutnya dari APHnya masih banyak yang belum diperbaruhi baik sistemnya maupun SDMnya. “Perkembangan hukum yang ada di Indonesia, taruh paling gampang yaitu UU TPKS. UU ini kan sebenarnya udah sekitar tiga tahun lebih ya, tapi faktanya di lapangan masih banyak APH yang belum mengetahui informasi itu, terutama di daerah-daerah pelosok. Ada yang belum terupdate. Tahu aja belum, gimana mau mengaplikasikan.”jelasnya.
Fakta di lapangan selanjutnya, kalaupun ada APH yang sudah mengetahui UU TPKS, tapi mereka tidak mau menggunakan UU tersebut dengan berbagai alasan. Padahal UU TPKS itu kan sudah banyak terobosan di dalamnya. Misalnya dari alat bukti, kalau dulu alat bukti harus ada dua, tapi sekarang cukup satu. “Fakta di lapangan ini banyak terjadi di berbagai daerah.”jelasnya.
Lalu apa yang perlu dilakukan agar femisida tidak terjadi? Menurut Saadah banyak yang perlu dilakukan baik masyarakat maupun negara. Namun, harus saling bersinergi. WCC Mawar Balqis sering mendorong pemerintah untuk memastikan layanan-layanan yang ada untuk perempuan sudah disiapkan, dari upaya preventif maupun kuratif. “Upaya preventif misalnya terkait informasi-informasi pencegahan kekerasan berbasis gender itu kita harapkan sudah tersampaikan dengan baik mulai dari anak-anak. Dan itu harus dari segala bidang. Mulai dari dinas pemberdayaan perempuan dan anak bahkan dinas pendidikan. Misalnya temuan di lapangan, para remaja itu minim informasi terkait kesehatan reproduksi. Banyak yang gak tahu kalau misalnya ketika perempuan sudah memasuki menstruasi itu mereka ada risiko hamil. Atau tanda-tandanya ketika mereka mengalami kekerasan seksual apa yang harus dilakukan. Hal-hal seperti itu kan mereka gak tahu ya. Nah, itu kan sebenarnya bisa diintervensi oleh dinas pendidikan.”jelasnya.
Termasuk kaitannya dengan infrastruktur, terutama di daerah-daerah dengan geografis banyak ladang-ladang kecil, kemudian fasilitas penerangan yang kurang. Hal tersebut seringkali menjadikan masyarakat terutama perempuan rentan mengalami kekerasan. Selain minim penerangan juga kesulitan untuk mencari pertolongan karena harus melewati hutan-hutan. “Fasilitas-fasilitas seperti pencahayaan yang cukup dan jalan yang memadai seharusnya bisa disediakan pemerintah.”tegasnya.
Sementara itu, terkait teman-teman queer, menurut Sa’adah tidak semua orang memahami kasus-kasus yang dialami teman-teman queer. Ini yang membuat mereka kesulitan untuk mengakses layanan. “Namun, hingga saat ini kami belum ada yang meminta untuk didampingi kasusnya. Kalau secara pribadi, ada yang sharing menyampaikan situasi yang dialami dan meminta masukan.”tambah Saadah.
Dari pandangan Buka Layanan Qbukatabu, Ratih melihat femisida sebagai perilaku yang membahayakan individu karena keperempuanannya. Bagi teman-teman transpuan banyak kasus yang tidak tertangani karena jarang dilihat sebagai femisida. “Begitu pula pada teman-teman gender non-comformity juga jarang dilihat sebagai kasus femisida.”jelasnya.
Pada aspek penanganan kasus yang dialami teman-teman queer seringkali tidak melihat pengalaman teman-teman queer. “Sehingga kasus kekerasan yang dialami tidak dipertimbangkan sebagai kasus femisida yang mereka alami.”tambah Ratih.
Lalu mengapa kasus yang terjadi pada teman-teman transpuan tidak tertangani? Menurut Ratih selama ini kasus yang terjadi pada teman-teman transpuan hanya dilihat sebagai kasus kekerasan terhadap transpuan. “Seharusnya baik cis maupun bukan, kasus-kasus yang terjadi itu ditangani.”kata Ratih.
Tantangan yang dihadapi di lapangan, Ratih menambahkan adanya kesulitan untuk menghubungkan kasus-kasus yang terjadi pada teman-teman queer dengan lembaga bantuan hukum maupun psikologis untuk menangani kasus-kasus tersebut. “Agak kesulitan mencari yang capable untuk menangani kasus teman-teman queer.”jelas Ratih.
Selain itu tantangan selanjutnya adanya stigma maupun tanpa dukungan keluarga termasuk dipersulit birokrasi membuat teman-teman queer kesulitan mencari pendamping kasus-kasus mereka. “Terutama bagi teman-teman transpuan.”tutup Ratih.

0 comments on “Kasus Femisida, Negara belum hadir bagi Korban dan Keluarganya”