Tabumania, dalam keseharian kita mengalami ketidakpastian emosi, kita bisa marah, sedih, senang tanpa bisa diprediksi. Kita juga tidak bisa menghindari stres. Ketidakpastian emosi maupun stres yang terjadi bisa disebabkan banyak hal. Mulai dari pekerjaan, keluarga, pertemanan, dll. Untuk mengelola emosi tersebut agar tetap bisa menjalankan aktivitas dengan lancar bisa dilakukan dengan beragam cara, salah satunya dengan art therapy.
Art therapy merupakan sebuah terapi yang dilakukan melalui seni. Seni bisa bermacam-macam; visual, audio, maupun gerak. Bahkan bisa juga kombinasi ketiganya. Hal ini disampaikan oleh praktisi kesehatan mental Intan Darmawati atau biasa disapa Kak Hung. Menurutnya kalau ingin menerapkan art therapy kita harus kenal diri sendiri. “Tiap orang tipenya beda-beda, ada yang cenderung visual, kinestetik, atau audio. Kalau kinestetik mungkin lebih cocok gerak, kalau visual mungkin lebih cocok menggambar atau journaling lalu audio lebih ke musik.”katanya.
Hanya saja tidak semua orang hanya cocok satu jenis terapi saja. Bisa saja malah gabungan dari dua jenis terapi, misalnya audio dan kinestetik yaitu dalam bentuk gerak dan musik. “Musiknya pun perlu dipilih. Kadang-kadang ada jenis musik yang justru bikin kita makin stres, sedih, atau kalem. Kita mesti tahu kondisi kita yang bagaimana, cocok dalam suasana apa.”jelas Kak Hung.
Saat memutar musik dan bergerak pun kita tak perlu memikirkan apakah gerakannya indah, sesuai dengan musik atau tidak, karena hal tersebut justru akan semakin membuat kita stres. “Putar aja musiknya terus bergeraklah, menarilah. Gak harus indah, gak harus sesuai ritme musik, yang penting bisa melepaskan (emosi) yang dirasakan. Bergerak sesuai suasana hati saja. Karena terkadang kita tidak bisa mengekspresikan apa yang kita rasakan, tapi bisa dicoba dengan musik dan gerak. Musik dan gerak hanyalah alat untuk mengeluarkan (emosi) yang dirasakan.”katanya.
Meskipun kita bisa bergerak bebas sesuai suasana hati, ada pula jenis terapi gerak dan audio yang terstruktur. Biasanya jenis ini menerapkan gerakan-gerakan yang dipandu terapis atau fasilitator. Gerakan yang terstruktur misalnya gerakan mulai dari kepala kemudian berurutan hingga kaki atau sebaliknya dari kaki hingga kepala. “Gerakan-gerakan yang pada dasarnya merupakan peregangan yang membuat badan kita lebih relaks dan lepas. Trauma-trauma, depresi, maupun emosi-emosi yang berada di sendi-sendi, otot-otot tubuh kita bisa lepas atau release. Nah, mau pilih yang mana? Gerak terstruktur atau bebas? Atau mencoba keduanya?”tambah Kak Hung.
Art therapy lainnya yang bisa diterapkan yaitu visual. Bisa dengan menggambar atau yang paling sederhana dengan mewarnai. Kata Kak Hung, mewarnai bisa digunakan sebagai terapi. Apalagi saat ini banyak buku-buku mewarnai yang bisa ditemui di pasaran. Buku-buku mewarnai tidak hanya untuk anak-anak, melainkan ada juga yang untuk dewasa. “Ini sangat cocok bagi siapa saja, terlebih yang tidak pede menggambar. Tinggal mewarnai pola yang sudah ada, dan gak ada pakemnya juga misalnya gunung atau laut harus diwarnai dengan warna tertentu. Tergantung suasana hati saja.”jelas Kak Hung.
Ngomong-ngomong soal mewarnai, Tabumania masih ingat gak? Qbukatabu juga pernah mengeluarkan buku mewarnai lho. Itu lho buku “Tutur Feminis: Meluruhkan yang Biner”. Tabumania ada yang punya belum? Buku itu juga bisa digunakan untuk art therapy. Dengan mewarnai bisa membuat kita relaks dan bisa juga menjadi media pemulihan.
Melalui gambar, warna, atau karya yang dibuat, kita bisa analisis sendiri misalnya sedang merasa banyak pikiran, stres, merasa kacau, tapi tidak bisa mengungkapkan dengan lisan. Nah, media yang digunakan untuk berkarya bisa membantu melepaskannya lalu dianalisis. “Misalnya dengan melihat hasil akhirnya, warna-warna yang dipilih. Oh ternyata warna yang dipilih adalah warna-warna yang lebih gelap. Bisa jadi di alam bawah sadar ada kesedihan. Bisa juga ketika menggambar orang kok tidak ada mulutnya atau gak ada tangannya. Bisa jadi bukan karena gak bisa gambar mulut, tapi itu terjadi karena kamu gak bisa menyuarakan apa yang kamu rasakan. Meskipun tidak selalu demikian, tapi hal ini (seni yang dibuat) bisa mengindikasikan sesuatu.”urai Kak Hung.
Art therapy tidak melulu berkaitan dengan menerapkan misalnya bergerak atau menghasilkan karya seperti menggambar atau mewarnai. Art therapy tidak selalu harus menjadi pelaku utama. Namun, bisa juga dengan menikmati seni yang dihasilkan orang lain misalnya mendengarkan orang mendongeng, baca puisi, orang menyanyi, orang memainkan alat musik, dan lainnya. “Apalagi kalau pelaku seninya menghasilkan karyanya dari hasil refleksi yang mendalam, biasanya akan beresonansi dengan penikmat karyanya. Seni tidak hanya sebagai terapi untuk diri sendiri, tetapi juga orang lain. “jelasnya.
Nah, mengapa art therapy bisa menjadi media untuk melepas emosi? Kak Hung menjelaskannya lebih lanjut, dalam otak manusia ada yang namanya conscious mind (pikiran sadar) dan subconscious mind (pikiran bawah sadar}. Dalam kondisi sadar, kita menggunakan conscious mind yang memakai otak kiri atau otak logika. Sementara yang subconscious mind merupakan pikiran bawah sadar yang di dalamnya terdapat tumpukan trauma-trauma maupun emosi-emosi negatif. “Terjadi terus menerus dan menyimpannya dalam banget.”katanya.
Lalu untuk mengeluarkan atau bisa masuk ke subconscious mind, kita perlu membukanya yang artinya harus menutup conscious mind atau membuat pikiran logika kita tidak dominan terlebih dahulu. Nah, caranya dengan menggunakan segala sesuatu yang memakai otak kanan, salah satunya dengan seni. “Seni itu karena pakai otak kanan, conscious mind jadi gak terlalu aktif, penutup antara conscious dan subconscious terbuka, makanya kita bisa akses ke subconscious mind. Di sinilah lalu emosi-emosi kita bisa keluar.”urainya lebih lanjut.
Kak Hung juga menjelaskan kapan waktu terbaik untuk menerapkan art therapy. Secara garis besar, bisa dilakukan ketika ketidakstabilan emosi terjadi, misalnya saat stres, kacau, depresi, tertrigger trauma tertentu dan lainnya. “Segera lakukan terapi ini, itu akan sangat membantu ketika itu terjadi.”katanya.
Hanya saja, tidak semua kasus yang terjadi sesederhana itu. Kadang-kadang, saking parahnya emosi yang dirasakan membuat orang tidak bisa berbuat apa-apa, tidak ingat satu pun metode penyembuhan yang telah dipelajari. Atau yang kadang dibilang nge-freez. “Kalau ini terjadi, berarti mungkin butuh jeda, setelah kejadian itu, pasca trauma baru menerapkan art therapy.”jelasnya.
Hal lain yang bisa dilakukan yaitu menerapkan art therapy sebagai metode untuk mengelola emosi. Artinya tidak menunggu hingga sesuatu men-trigger tetapi dilakukan dalam keseharian agar pikiran lebih tenang dan lancar dalam menjalankan aktivitas.
Bagi individu LBTIQ, Kak Hung juga berpesan agar kawan-kawan bisa menemukan art therapy yang paling cocok. Hal ini karena bisa jadi metode-metode art therapy yang ada mungkin berbeda dengan art therapy yang dilakukan kelompok hetero bahkan laki-laki. “Teman-teman memiliki pengalaman keberagaman yang mungkin berbeda sehingga teman-teman bisa menggali sendiri mana yang pas dan cocok.”pesan Kak Hung.
Metode art therapy juga diterapkan Qbukatabu saat pra launching penelitan Upaya Mengubah Paksa SOGIESC yang lalu. Saat itu metode difasilitasi Rainbow dilakukan setelah sesi yang cukup berat sehingga peserta kegiatan bisa merelease emosi-emosi yang dirasakan.
Peserta dibagikan kertas dan alat warna mulai dari pensil warna, spidol dan cat air. Peserta diminta untuk menggambar bebas tanpa aturan. Hasilnya pun beragam, lukisan yang dihasilkan pun beragam, ada yang menggambar gambar tertentu, ada yang menggambar abstrak. Ada yang menggunakan warna gelap, ada yang menggunakan warna-warna cerah. Setiap orang menggambar sesuai yang dirasakan. Suasana yang ada di ruangan pun berubah, yang awalnya terasa cukup berat jadi semakin terasa lebih santai dengan riuh kelegaan peserta kegiatan.
Nah, Tabumania ada yang sudah nerapin art therapy belum? Atau setelah membaca artikel ini justru terinspirasi untuk mempraktikkannya?

0 comments on “Lepaskan Emosi dengan Art Therapy”