Buka Layar

Upaya Mengubah Paksa SOGIESC: Ketika Penyiksaan berkedok Pemulihan

Peringatan pemicu: artikel berikut mungkin akan memicu trauma khususnya bagi penyintas kekerasan seksual

Sebagai individu Lesbian, Biseksual, Queer, Transgender, dan Interseks (LBQTI) selama ini masih dianggap sebagai penyakit yang menular, kerasukan jin, atau anggapan lain yang membuat mereka harus mengalami tindakan “terapi” untuk menyembuhkan mereka. Istilah yang lebih dikenal dengan “terapi konversi”. Terapi yang bukan memulihkan, karena justru penyiksaan yang diperoleh.

Misalnya mereka diruqyah karena dianggap kerasukan jin, dimasukkan pesantren atau asrama Kristen, dibawa ke “orang pintar” atau dukun, bahkan ada yang mengalami pernikahan paksa. Tindakan-tindakan tersebut dilakukan agar individu LBTIQ+ “sembuh” dan kembali “normal”. Tindakan-tindakan yang bisa menimbulkan trauma berkepanjangan. Sedihnya tindakan-tindakan tersebut dilakukan keluarga, pemuka agama, psikiater, bahkan negara, yang biasanya dianggap orang terdekat dan ruang aman yang seharusnya melindungi. 

Oleh karena itu tim peneliti Qbukatabu yaitu Rainbow, Edith, dan Vica melakukan penelitian terhadap individu dengan keragaman SOGIESC di Indonesia terkait “terapi konversi”. Penelitian dilakukan sejak 2023 hingga 2024. Fokus penelitian terhadap mereka yang terlahir sebagai perempuan atau laki-laki dan mengidentifikasi sebagai lesbian, biseksual, queer, transgender, interseks, atau non-biner. Penelitian tersebut juga melihat “terapi konversi” sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kekerasan seksual. Penelitian ini didukung oleh Komnas Perempuan sebagai bagian dari laporan 25 tahun implementasi ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dalam UU No. 5 tahun 1998.

“Penelitian yang dilakukan memperoleh data dari narasumber dengan wawancara 4 penyintas, 2 organisasi LBQT, 2 organisasi pengada layanan yang tidak spesifik bergiat di isu LBQT. Lalu ada pula ekspertis yaitu 2 orang psikolog dan akademisi.”kata Rainbow saat pra-launching penelitian upaya mengubah paksa SOGIESC pada 1 Juni 2025 lalu. Fokus penelitian ini menggali pengalaman, perasaan, dan pengetahuan teman-teman penyintas dalam kekerasan upaya mengubah paksa SOGIESC.

Penelitian tersebut merekomendasikan untuk tidak menggunakan “terapi konversi” tetapi dengan istilah upaya mengubah paksa SOGIESC. Meskipun upaya tersebut bukan sesuatu yang diinginkan dan disetujui para penyintas. Hal ini dikarenakan ada unsur paksaan dalam upaya mengubah paksa SOGIESC ini. Baik secara halus maupun terang-terangan, maksudnya walaupun penyintas tampak dengan “sadar” bersedia menjalani ruqyah, pemaksaan ekspresi/busana, masuk pesantren, dinikahkan, maupun upaya paksa lainnya, tetapi kesadaran tersebut bukanlah kesadaran yang sejati. Hal yang dilakukan tersebut adalah kesadaran yang berdasar dari keterpaksaan, dan tidak ada pilihan lain. Kerterpaksaan harus menjalani upaya paksa karena ingin diterima dan tidak berkonflik dengan keluarga, lingkaran terdekat maupun masyarakat. Keterpaksaan untuk bertahan hidup, karena jika tidak “memilih” untuk menjalani upaya paksa, tidak mendapat penghidupan layak, dan keterpaksaan-keterpaksaan yang lain. Dalam kasus upaya paksa mengubah SOGIESC yang dimaksud “pilihan” adalah hal yang semu, yang sebenarnya tidak ada. Hal ini dikarenakan pandangan masyarakat yang tidak bisa menerima keberagaman SOGIESC. 

Kisah selanjutnya mungkin akan memicu trauma atau memicu kecemasan lainnya, Tabumania bisa berjeda sejenak ketika membacanya. Bisa berhenti membacanya dan dilanjutkan lain waktu.

Menurut Panjul dari Talita Kum bentuk upaya paksa mengubah SOGIESC yang paling besar tentang kepatuhan untuk mengikuti orang tua. “Kewajiban patuh bagi seseorang untuk mengikuti kemauan orang tua, mereka tidak diberi kesempatan untuk berkehendak atas dirinya sendiri.”katanya. Pun demikian saat di tempat kerja, pemaksaan agar berpakaian perempuan. Hal ini dilakukan agar korban menyadari siapa dia dari perspektif masyarakat bukan atas kehendak mereka. Banyak yang tidak menyadari ini bagian dari kekerasan, karena hal tersebut dinormalisasi.

Bagi korban pernikahan paksa, dalam perjalanannya ketika mereka menikah, mereka mengalami pemaksaan untuk melakukan hubungan seksual setiap hari. “Sampai luka bagian kelamin. Mereka juga dipukul dan disaksikan kedua orang tuanya.” papar Panjul.

Ada juga kawan yang diseret dari bandara ketika memutuskan untuk pergi dari rumah. Lalu dia diseret ke rumah sakit jiwa. “Masyarakat sekitar hanya melihat, ketika dia dipertontonkan hingga dibuka, ditelanjangi ditunjukkan kelaminnya apa dia laki-laki apa perempuan agar dia sadar siapa dirinya,” kata Panjul. Peristiwa-peristiwa tersebut menimbulkan trauma pada para penyintas. Bahkan ada penyintas yang mengalami fase melakukan percobaan mengakhiri hidup.

Untuk kasus-kasus upaya paksa mengubah SOGIESC, Talita Kum melakukan pendampingan terhadap penyintas dan menyediakan konseling secara berkala sesuai kebutuhan dan kesiapan penyintas. Begitu pula apakah penyintas ingin menggunakan hukum dengan melaporkan kasus yang dialami (litigasi) atau tidak (non-litigasi), sesuai keinginan penyintas.

Talita Kum juga membentuk kelompok dukungan antar penyintas. “Karena selama ini para penyintas tidak pernah menemukan pendukung. Jadi, dari kelompok-kelompok kecil ini dibentuk komunitas. Meskipun dari awal perkenalan masing-masing, tidak disebutkan bahwa mereka sama-sama penyintas.”kata Panjul.

Sementara itu Gupta dari Komunitas Bambu mengisahkan temuannya bahwa dalam proses-proses yang mereka lakukan ada upaya dari masyarakat untuk mengubah apa yang dianggap keluar dari norma. Dan segala upaya yang dilakukan itu dikategorikan dalam proses yang benar. Padahal itu sebuah pelanggaran.

Gupta mencontohkan ada seorang kawan yang tidak mau shalat karena dia merasa salah jadi pasti akan masuk neraka. Lalu ada pula yang merasa tidak apa-apa mengalami kekerasan dan ia mengamini kekerasan yang dialami tersebut. “Ia merasa kekerasan yang dialaminya itu hal yang normal.”katanya.

Ada pula seseorang biseksual, menikah, kemudian bercerai lalu ia berpasangan dengan seorang transman. Keluarganya merasa ia kerasukan jin, diguna-guna. Lalu membawanya ke dukun, dimandiin segala rupa. “Gak manjur, dibanya ke ustaz. Keluarganya juga menganggap ia tertular pasangan transmannya. Lalu ia bilang ke saya, ya aku ikut-ikut aja (dibawa ke dukun, dll) karena aku tahu siapa aku (biseksual)” katanya.

Menurut Gupta, apa yang dirasakan mereka karena belum adanya penerimaan diri. Selain itu dampak setiap hari keluarga, orang sekitar, media yang mengatakan bahwa apa yang mereka lalui adalah hal yang salah, membuat mereka mengamini hal tersebut. Bahkan ketika mengalami kekerasan.

Untuk itu Komunitas Bambu melakukan pengorganisasian sejak 2019, dimulai dari kost ke kost, tempat nongkrong, spot olahraga melakukan diskusi soal kekerasan apa yang dialami kawan-kawan. Lalu pada 2014 kami membuat modul SOGIESC dan HAM. Isinya tentang SOGIESC, HAM, dan penerimaan diri.

Gupta berharap dengan pengorganisasian tersebut mulai ada penerimaan diri di antara teman-teman. “Bagaimana teman-teman dapat menerima dirinya, dan bisa melihat bahwa kekerasan yang dialaminya adalah benar-benar pelanggaran.”tegas Gupta.

Berbagai kisah yang disampaikan Panjul dan Gupta merupakan kisah nyata yang dialami kawan-kawan LBQTI yang mengalami kekerasan seksual karena upaya mengubah paksa SOGIESC. Baik dilakukan yang keluarga, rekan kerja, masyarakat, tokoh agama, maupun negara.

Berdasarkan penelitian tersebut, ada beberapa hal yang direkomendasikan antara lain, agar mulai saat ini mulai menggunakan istilah upaya mengubah paksa SOGIESC dibandingkan “terapi konversi”, karena “terapi konversi” adalah penghalusan istilah dalam bentuk penyiksaan dan kekerasan, yang dapat berdampak normalisasi tindakan tersebut. Kemudian mendorong pendidikan di segala level tentang tindakan penyiksaan terhadap kelompok keragaman gender dan seksualitas. Selain itu juga mendorong untuk memberikan layanan pendampingan dan penanganan yang inklusif dan ramah terhadap individu dengan keragaman orientasi seksual, identitas gender, ekspresi, dan karakteristik seks.

Rekomendasi juga diberikan kepada negara agar menghapus kebijakan di tingkat lokal, daerah, dan nasional, baik di institusi negara maupun non-negara yang mempromosikan dan melakukan upaya mengubah paksa SOGIESC. Juga mendorong negara untuk melakukan tugas dan tanggung jawabnya untuk penegahan, perlindungan korban, pengadilan dan penghukuman bagi pelaku, serta pemulihan bagi penyintas. 

Tabumania, apa yang dituliskan di artikel ini mungkin ada yang membuat tidak nyaman. Jika ada perasaan tidak nyaman dalam waktu lama, disarankan untuk bercerita dengan orang terdekat atau mengakses tenaga ahli. Tabumania juga bisa menghubungi Buka Layanan Qbukatabu ya.


Buka Layanan WA Chat 0811-1014-519 | Email bukalayanan@protonmamil.com
Waktu Selasa-Jumat 09.00 WIB – 17.00 WIB | Minggu 10.00 WIB – 15.00 WIB

0 comments on “Upaya Mengubah Paksa SOGIESC: Ketika Penyiksaan berkedok Pemulihan

Leave a comment