Tabumania, sejak disahkan kemudian diundangkan, bagaimana pelaksanaan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) selama ini tentu menjadi perhatian. Implementasi UU TPKS belum sepenuhnya terlaksana karena berbagai hal yang menjadi tantangan. Padahal kasus kekerasan seksual bisa dialami siapa saja, apalagi bagi kawan-kawan queer, tantangannya bisa berlapis-lapis.
Bagi kawan-kawan queer tantangan semakin berlapis karena tidak hanya kekerasan seksual yang dialami, tetapi ketika melakukan pelaporan kemudian penanganan maupun ketika pemulihan mereka mengalami stigma, sehingga beban yang dialami pun berlapis. “Hal ini terjadi karena masyarakat masing menganggap kanan dan kiri saja, cis perempuan dan cis laki-laki. Sementara di luar itu dianggap bukan golongan mereka. Akhirnya ini membuat kawan-kawan queer pun semakin menutup diri.”kata Novita, anggota Seknas Forum Pengada Layanan (FPL) ketika dihubungi Redaksi Qbukatabu melalui telepon.
Lebih lanjut Novita menuturkan mereka yang memiliki kuasa yang lebih besar akhirnya merasa bisa melakukan kekerasan terhadap kawan-kawan queer. “Kawan-kawan queer yang mengalami kekerasan seksual pun ketika melaporkan kasus yang dialaminya juga mengalami kesulitan. Hal ini dikarenakan mereka tidak hanya melaporkan kasus yang dialami, tetapi juga menyampaikan terkait identitas gendernya maupun orientasi seksualnya. Padahal tidak semua lembaga tempat mereka melaporkan kasus tersebut berspekstif Sexual Orientation Gender Identity Expression and Sex Characteristic (SOGIESC).”jelasnya.
Hal ini merupakan PR besar. Menurut Novita masih perlu banyak edukasi terkait SOGIESC agar lebih banyak lembaga-lembaga yang berspektif SOGIESC. “Sayangnya saat ini masih belum ke arah sana. Padahal kerentanan yang terjadi pada kawan-kawan queer tidak bisa dipandang sebelah mata. Stigma yang berlapis memengaruhi proses pelaporan, penanganan, dan pemulihan korban KS kawan-kawan queer.”kata Novita. Proses penanganan KS bagi kawan-kawan queer bisa dikatakan bagian dari tantangan yang terjadi dalam penerapan UU TPKS.
Tantangan lain yang dihadapi yaitu masih belum terpenuhinya peraturan pelaksana yang harus ditetapkan setelah UU TPKS disahkan. Novita mengatakan mandat peraturan pelaksana yang harus dibentuk pascapengesahan UU TPKS ada 10. Namun, dipadatkan hanya 7 peraturan pelaksana saja, dan dari 7 peraturan pelaksana, baru ada 4 yang disahkan. Peraturan pelaksana tersebut diperlukan untuk memberikan detail implementasi UU TPKS. “Nah, sebenarnya ruhnya UU TPKS ini bagaimana korban mendapatkan penanganan komprehensif yang terpadu dan tidak membuat korban riweh (kesulitan) mengakses haknya.”tegas Novita.
Empat peraturan pelaksana yang sudah disahkan diantaranya PP Nomor 27 Tahun 2024 tentang Koordinasi dan Pemantauan Pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan TPKS; Perpres Nomor 9 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Diklat Pencegahan dan Penanganan TPKS; Perpres Nomor 55 Tahun 2024 tentang Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA); dan Perpres Nomor 98 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu dalam Penanganan Perlindungan dan Pemulihan TPKS. Sedangkan peraturan pelaksana yang belum disahkan diantaranya Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Dana Bantuan Korban TPKS; RPP Pencegahan, Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RPP 4PTPKS); dan Rancangan Perpres (RPerpres) Kebijakan Nasional Pemberantasan TPKS.
“Nah, ini dari peraturan pelaksana itu RPP pencegahan, penanganan, perlindungan dan pemulihan TPKS harusnya PP pencegahan sendiri, PP perlindungan sendiri dan PP pemulihan sendiri, tapi dijadikan satu. Dijadikan satu ini terlalu besar akhirnya sampai saat ini belum disahkan.”jelas Novita.
Dari sini sebanarnya dari catatan FPL adalah baik dari Aparat Penegah Hukum (APH), UPT DPPA ataupun lembaga layanan masyarakat lainnya masih menunggu peraturan-peraturan pelaksana tersebut. “Nah, ini juga menjadi hal yang ketika teman-teman pendamping berkomunikasi dengan APH dalam hal ini penyidik ya banyak penyidik yang bilang ini peraturan pelaksana belum disahkan semua, padahal sebenarnya ketika UU TPKS disahkan sebenarnya itu yang cukup progresif, tetapi karena tidak ada panduannya jadi belum sepenuhnya bisa digunakan secara maksimal.”kata Novita.
PR lainnya meskipun sudah ada Perpres Nomor 9 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Diklat Pencegahan dan Penanganan TPKS untuk APH, petugas UPT DPPA dan juga pendamping lainnya, tapi sampai saat ini belum dibuat pelatihannya. Ini artinya menurut Novita, APH-APH harus belajar mandiri. SDM-SDM APH maupun UPT DPPA harus juga berspektif gender. “Menangani korban KS perempuan aja masih susah, apalagi yang lain seperti disabilitas, maupun kawan-kawan minoritas gender dan seksualitas. Itu masih jauh sekali. Mungkin ada 1 atau 2 kasus yang menggunakan UU TPKS, tapi jika dibandingkan keseluruhan kasus-kasus yang ada selama ini, ya ini masih jauh. Implementasi masih belum maksimal.”jelasnya.
Membicarakan UU TPKS juga tidak bisa lepas dengan Permenkes No. 2 tahun 2025 yang mengatur tentang Layanan Kesehatan Reproduksi. Keduanya saling berkaitan, tetapi sayangnya dalam Permenkes tersebut terdapat pasal-pasal diskriminatif. Selain itu dalam proses penyusunannya tidak melibatkan partisipasi dari kelompok terdampak.
Beberapa pasal diskriminatif diantaranya pada pasal 52 Permenkes menempatkan kembali orientasi seksual sebagai disfungsi dan gangguan. Tentu saja hal ini berlawanan dengan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III yang menyatakan orientasi seksual bukanlah gangguan jiwa. Selain itu pada pasal 54 yang mempromosikan upaya korektif paksa terhadap orientasi seksual yang dianggap sebagai kelainan melalui deteksi dini. Lalu pasal 56 tentang upaya rehabilitatif. Padahal upaya korektif yang sebelumnya dikenal sebagai “terapi konversi” telah dinyatakan Komite Anti Penyiksaan sebagai tindakan penyiksaan yang harus dihentikan.
Menangggapi hal ini Novita mengatakan bahwa Permenkes ini meskipun ada beberapa hal baik, tetapi juga merupakan bagian dari kemunduran, apalagi seharusnya permenkes disusun melibatkan masyarakat agar bisa melakukan pengawasan termasuk menyampaikan pendapat mereka. “Teman-teman komunitas harus saling menguatkan untuk mengadvokasi perubahan permenkes. Kita perlu menguatkan ke dalam dulu, kalau tidak bergerak takutnya permenkes ini banyak disosialisasikan semakin parah. Banyak peraturan versi pemerintah yang dalam penyusunannya tidak melibatkan kita. Perlu memperkuat ke dalam, sambil memperbanyak proses advokasi.”tegasnya.
Terkait upaya korektif pun FPL selama ini menurut Novita juga sering menyampaikan kalau hal tersebut termasuk dalam tindakan kekerasan. Apalagi dalam proses advokasi jangan sampai menghilangkan data bahwa “terapi konversi”itu memang ada. “Kita harus terus bersuara. Kalau hanya menggantungkan pada pemerintah ya mereka akan diam saja. Tetap menyuarakan data-data korban.”tegas Novita.

0 comments on “Tantangan Kasus Kekerasan Seksual bagi Komunitas Queer Berlapis”