Tabumania, efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintah membawa kekhawatiran-kekhawatiran. Kekhawatiran efisiensi anggaran akan memengaruhi program-program yang akan dijalankan berbagai organisasi atau lembaga layanan.
Setidaknya inilah yang saya rasakan ketika melakukan obrolan dengan Lilis Sumila, Kepala Divisi Program Kekerasan Berbasis Gender Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) dan Novita, Seknas Forum Pengada Layanan (FPL).
Hingga kini, IPPI menurut Lilis masih memetakan hal-hal terkena dampak efisiensi baru nanti akan ditemukan strategi apa yang akan dilakukan untuk mengantisipasi hal tersebut. “Karena ini masih baru banget, belum kebaca banget, mau dilihatin dulu apa saja yang dipangkasin, yang jelas saat ini kami deg-degan juga.”katanya.
Hal yang ia khawatirkan dan teman-temannya adalah ketakutan-ketakutan kalau nantinya ARV (Antiretroviral) tidak di-cover dan jadi berbayar. Ini menjadi ketakutan karena bisa menimbulkan putusnya pengobatan HIV menggunakan ARV. “Karena mahal juga jika bayar tiap bulan. Orang yang gak mampu, pasti akan mikir, lebih penting mana antara makan atau bayar ARV untuk pengobatan.”urainya.
Program-program yang sebelumnya dilakukan yaitu pendampingan untuk ibu hamil dengan HIV yang harus didampingi hingga anaknya dinyatakan atau ketahuan hasil tes HIVnya. Program selanjutnya pengaduan kekerasan berbasis gender untuk perempuan dengan HIV. Keduanya bisa saja nanti juga akan terpengaruh dampaknya dari program efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintah.
Belum lagi program untuk peningkatan kapasitas dokter-dokter atau nakes di daerah-daerah. Hal ini diperlukan agar dokter yang bisa dan mau menangani atau membantu proses melahirkan ibu-ibu hamil dengan HIV semakin merata. “Selama ini dokter-dokter yang sudah bagus, dirolling (dipindah tugas ke daerah lain) padahal orang baru belum tentu sebagus orang lama. Apalagi di daerah gak semua dokter-dokter anak mau pegang anak dengan HIV, gak semua layanan kesehatan mau menerima proses melahirkan dengan HIV, biasanya dirujuk ke rumah sakit di provinsi, karena puskesmas gak mau menerima.”tambahnya.
Hanya saja untuk pelatihan bagi dokter atau nakes di lapangan juga menemui berbagai hambatan. Ini sebelum efisiensi anggaran pun sudah dialami, bagaimana nanti dengan efisiensi anggaran dilakukan? “Pelatihan untuk nakes yang bayar negara kan, dulu aja masih susah. Pelatihan untuk dokter dilakukan setahun sekali, itu pun terbatas yang dilatih, apalagi sekarang kan? Setelah pemangkasan anggaran kita gak tahu bisa dilatih atau tidak. Ini penting untuk dokter-dokter, nakes-nakes di seluruh Indonesia. Pada kasus yang ditemui di lapangan ketika proses melahirkan, banyak pasien yang harus bolak-balik provinsi di daerah atau kepulauan untuk akses obat. Kalau di Jakarta akses gampang, bagaimana di daerah, mau akses obat atau melahirkan mesti ke provinsi.”katanya.
Lilis berharap kebijakan efisiensi anggaran ini bisa berubah. “Bukannya dikurangin akses ke publiknya, tapi ke pejabat, yang harusnya dipotong itu yang atas bukan yang bawah, kenapa sih buat layanan publik malah dipangkas, bukan fasilitas pejabat yang dikurangi. Anggaran jangan dipotong untuk layanan publik, paling nggak kalau dipotong fasilitas pejabat negara.”harapnya.
Sementara itu Novita menceritakan dampak efisiensi anggaran pada FPL salah satunya berkaitan dengan pendidikan pelatihan. Menurutnya masih ada PR dari UU TPKS untuk pendidikan dan pelatihan bagi APH (Aparat Penegah Hukum) maupun tenaga layanan baik pemerintah maupun masyarakat. “Aturan sudah terbit di tahun kemarin, harusnya tahun ini mulai biki pelatihan-pelatihan untuk implementasi UU TPKS.”ujarnya.
Selain memengaruhi program peningkatan kapasitas, efisiensi anggaran juga berpengaruh terhadap pelaksanaan rapat-rapat koordinasi kasus. “Ini (rapat-rapat) mungkin ada berkurang juga. Padahal Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) punya mandat untuk berkoordinasi dengan pengada layanan masyarakat maupun pemerintah, ini kalau tidak ada atau kalau salah satu rapat dikurangi ya maka otomatis koordinasi-koordinasi berkaitan dengan kasus juga akan sangat mungkin berbeda secara kuantitas maupun kualitas.”urainya.
Untuk merespon efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintah, FPL kemudian mencoba untuk mengkomunikasikan berbagai situasi yang dihadapi FPL selama ini termasuk ketika efisiensi anggaran dilakukan dengan kementerian terkait. Salah satunya dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA). “Kami mencoba mengkomunikasikan situasi yang ada, misalnya meskipun tidak ada efisiensi anggaran saja layanan belum maksimal, lha ini apalagi kalau ada efisiensi anggaran.”kataya.
Selain itu FPL juga membuat survey dengan anggotanya terkait bagaimana implementasi UU TPKS sambil dikaitkan juga dengan situasi efisiensi saat ini. “Mungkin baru itu yang dilakukan karena saat ini semuanya kayaknya lagi berusaha untuk survive dulu ni masing-masing, karena anggota FPL secara jumlah sudah tidak sebanyak dulu ya, artinya peluang-peluang untuk kerja sama semakin kecil ya. Kalau sebenarnya di daerah teman-teman bisa swakelola tipe 3 tapi faktanya swakelola tipe 3 di daerah itu cukup susah dilakukan apalagi untuk isu penanganan perempuan korban kekerasan.”tambahnya.
Novita pun juga mengkhawatirkan dampak efisiensi anggaran pada layanan kesehatan terhadap korban-korban yang membutuhkan layanan keberlanjutan untuk kesehatannya ke depan. “Untuk upaya visum gratis aja di beberapa daerah masih berusaha, untuk upaya layanan yang berkelanjutan. Nah, selama ini masih bergantung pakai jaminan kesehatan yang dari daerah, kalau ini juga dipangkas berdampak juga pada kualitas layanan yang diterima oleh korban.”urainya.
Adanya pemangkasan anggaran juga memberikan tantangan pada pelaksanaan layanan FPL itu sendiri. Menurut Novita tantangan yang muncul pun bisa double-double yaitu bagaimana bisa menghasilkan layanan yang berkualitas, komprehensif, dan benar-benar berdasarkan kebutuhan korban. “Bukan hanya sesuai menurut pandangan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD), tetapi para penegak hukum juga. Ya otomatis bagaimana korban bisa mendapatkan keadilan mendapatkan haknya, jadi tantangan kuadrat.”katanya.
Tabumania, dampak efisiensi anggaran tidak bisa dipandang sebelah mata, karena berdampak pada layanan publik, pendidikan atau peningkatan kapasitas, dan kesejahteraan masyarakat. Efisiensi anggaran bisa memengaruhi keberlanjutan program-program penting bagi masyarakat. Yuk, jangan tutup mata, dan terus kritisi kebijakan ini.

0 comments on “Kekhawatiran-kekhawatiran di tengah Efisiensi Anggaran”