Membicarakan afirmasi sosial memiliki peran dalam mengembangkan diri maupun bersosialisasi bagi kawan-kawan transgender. Tidak hanya memengaruhi kesehatan mental mereka, dalam prosesnya juga memengaruhi bagaimana mereka mengenalkan diri.
Bagi Mira, seorang transpuan yang berdomisili di Jogja mengatakan memaknai afirmasi sosial masuk dalam faktor eksternal dan internal. Bentuk rasa menghargai atau penghargaan sebagai manusia yang setara haknya sebagai manusia. Ia juga melihat afirmasi sosial sebagai proses perjalanan manusia itu sendiri. “Namun, baiknya sebelum berusaha untuk diakui secara eksternal, ada baiknya untuk mengakui diri sendiri atau coming in.”katanya saat diwawancarai melalui telepon.
Selama perjalanannya memperoleh afirmasi sosial, Mira mengalami berbagai hal. Ia kemudian menceritakan perjalanan coming in yang dilaluinya. Sejak usia 4 tahun, Mira telah merasakan dirinya berbeda. Namun, pola asuh kedua orangtuanya sangat membebaskan dan ia bisa mengeksplorasi mainan apa saja tanpa melihat gendernya. “Mulai bingung ketika masuk sekolah karena ada peraturan, laki-laki harus pakai celana dan perempuan harus pakai rok.”katanya. Ketika 2017 ia mulai merantau untuk kuliah dan memerdekakan diri dengan melakukan transisi sosial, mengenalkan diri sebagai seorang perempuan atau pribadi yang lebih feminin.
Tantangan yang ditemui selama proses transisi sosial tersebut ketika ada penolakan dari lingkungan baik keluarga maupun sosial. Orang-orang yang belum mengenalnya mencemoohnya dengan sebutan bencong atau banci. Namun, semakin orang kenal dengan dirinya lama-lama menerimanya. “Selama ini transgender ada stigma si pembuat onar, suka menganggu orang lain. Jadi, butuh proses untuk diterima. Dan yang paling penting ketika kita menerima diri kita sendiri dulu.”katanya.
Mira juga mengatakan setiap individu bisa berbeda-beda pengalaman yang dimiliki dalam proses memperoleh afirmasi sosial. Menurutnya hal ini terjadi karena adanya pergulatan atau perang batin yang melelahkan. Kemudian memiliki lingkungan terdekat yang sulit menerima. Bisa juga pernah mengalami depresi maupun gender dysphoria. “Namun, ketika diri bisa melihat sebagai pribadi yang unik yang memiliki banyak tantangan atau hambatan, akan jauh lebih mudah menghadapinya. Selain itu ada teman-teman baru yang aku ciptakan sebagai keluarga sendiri membuatku mendapat lingkungan yang baik dan mendukung. Sangat penting bagi diri kita untuk menerima diri dulu. Kalau diri kita belum utuh menerima diri nantinya akan sulit.”katanya.
Sementara itu Eki, seorang transman yang tinggal di Malang juga berpendapat tidak jauh berbeda dengan Mira mengenai afirmasi sosial. Menurutnya hal yang penting adalah menerima diri terlebih dahulu baru keluar ke masyarakat sebagai diri sendiri.
Sebagai seorang penjual jamu dan terapi pijat (massage), Eki selama ini mengenalkan dirinya sebagai seorang laki-laki. “Aku mengenalkan diri sebagai laki-laki, customer tidak mengetahui identitas asliku, aku tidak terang-terangan mengatakan aku seorang transman. Yang penting dukungan dari orang-orang yang sudah mengenalku, sedangkan orang yang gak kenal dan tahunya mereka aku laki-laki ya sudah biarkan saja.”katanya.
Eki pun mengalami pengalaman yang tidak mudah untuk mencapai kondisi saat ini. Sebelumnya ia pernah berencana untuk melakukan transisi medis dengan melakukan operasi penyesuaian tubuh. Ia berencana melakukan operasi agar bisa memperoleh pengakuan dari lingkungan. Namun, ada suatu musibah yang membuat rencana itu batal. Ia pun sempat kecewa, merasa malu ke dunia luar, tidak percaya diri bahkan mengalami krisis identitas. “Seiring berjalannya waktu, lalu ketemu banyak orang. Yang tadinya depend (bergantung) akan pengakuan orang-orang, terus semakin ke sini semakin belajar kalau ya ngerasa cukup sama diri sendiri itu lebih memudahkan, hidup jadi lebih mudah.”katanya.
Di luar (masyarakat) ternyata banyak yang mengenalinya sebagai laki-laki dan menurutnya itu sudah lebih dari cukup. Ia tak lagi memikirkan untuk melakukan operasi karena membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Ia sempat pengin melakukan terapi hormon karena lebih murah dari operasi, tetapi baginya afirmasi yang diperoleh saat ini sudah lebih dari cukup sehingga ia tak lagi memikirkannya (untuk terapi hormon).
Apalagi tanggapan keluarga juga menurutnya lebih dari cukup. Ia mengaku tidak pernah mengatakan dia itu siapa, tetapi keluarga sudah cukup tahu bahwa sejak kecil ia tak pernah mau pakai rok, teman-temannya selalu laki-laki dan ia selalu berpotongan rambut pendek. “Jadi, sepertinya keluarga sudah mulai terbiasa. Dan kalau rambutku udah mulai panjang mereka biasanya akan mengatakan mbok rambutnya dipotong biar ganteng. Menurutku itu sudah cukup ya, meskipun aku gak bilang aku transman.”katanya.
Tantangan yang dihadapi Eki, mungkin ketika di luar adakalanya masih saja ada yang memanggilnya dengan sebutan mbak. “Ya itu pasti ngaruh ke mental ya, bikin serr hati, tap ikan mereka gak ngerti aku jadi ya udah. Yang penting orang-orang terdekat. Ada dukungan dari pasangan dan diriku juga sudah berdamai dengan diriku jadi ya udah.”katanya.
Eki pun mengatakan afirmasi sosial yang selama ini diperoleh juga sudah memenuhi ekspekstasi, baik dari keluarga maupun teman terdekat atau orang-orang yang mengenalnya. Sementara kalau ada yang kontra, ia berusaha untuk kembali ke dalam dirinya.
Untuk profesi yang digeluti yang juga bisa berpengaruh pada afirmasi sosial yang diperoleh, baik Mira dan Eki memiliki profesi masing-masing yang mendukung mereka. Mira aktif pada organisasi atau gerakan ragam gender seksualitas dan keberagaman. Baginya itu penting karena tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga orang lain. Sementara Eki memiliki profesinya sebagai tukang jamu dan massage. Menurut Eki ia memilih berprofesi sebagai tukang jamu dan massage karena sebagai jalan keluar ia tidak perlu bekerja di luar atau ikut orang. “Karena kan kalau kerja di luar harus ngasih lamaran dan KTP, sebenarnya aku pernah kerja di luar di tempat yang ngerti aku maupun yang gak ngerti aku (sebagai transman) tapi untuk menyamankan diri ya aku kerja sendiri aja hehehe,”katanya.
Terkait dengan perayaan hari transgender (TDOR) menurut Mira, afirmasi sosial mengingatkan kita bersama bahwa transgender atau individu dengan ragam gender seksualitas ternyata ada dalam lingkungan masyarakat. “Bahkan memperkaya keberagaman mengajarkan untuk berefleksi dalam menjalani hidup sebagai perempuan trans membutuhkan perjuangan yang sangat luar biasa. Harus saling mendukung, saling menghargai dengan begitu bisa mencapai afirmasi sosial. Isu kesetaraan sosial, gak akan mudah yang bisa dilakukan dengan pencapaian kecil, kita gak sendiri, kita berharga.”tegasnya.

0 comments on “Afirmasi Sosial Dimulai dari Diri”