Dia lupa kapan persisnya, mulai tidak menyukai hujan. Seingatnya waktu dia masih kecil, dia tidak mengalaminya. Kemungkinan ketika dia mulai masuk kuliah dia membenci hujan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan hujan. Mendung, gerimis, hujan, petir semua tidak disukainya. Orang bilang suara hujan dapat menimbulkan kondisi yang rileks dan menenangkan, baginya suara hujan menimbulkan jantung berdebar kencang. Awalnya dia mengacuhkannya, tak menceritakan kesulitan yang ditemuinya ketika musim penghujan tiba kepada siapa pun. Bahkan dia merasa itu bagian dari dirinya yang mungkin saja orang lain juga memilikinya.
***
Taukah tentang petrikor? bau tanah yang muncul sesaat setelah hujan. Konon, ada senyawa kimia bernama geosmin yang terlibat pada aroma hujan yang muncul setelah kemarau panjang. Senyawa kimia yang memengaruhi bau hujan yang disukai banyak orang. Namun, bagi dia, bau itu sungguh menyiksanya. Dia akan bersin-bersin, pusing, bahkan mual ketika membauinya. Dia akan berusaha mencari cara untuk mengurangi efek bau itu, meskipun itu membuatnya harus memutar otak.
***
Parahnya lagi ketika musim hujan tiba, dia akan berusaha menghindarinya. Dia selalu mengecek aplikasi cuaca di telepon pintarnya. Apakah hari itu akan turun hujan atau tidak. Meskipun hal itu tidak selalu tepat, tetapi setidaknya dia cukup bisa menghindarinya. Bagaimana jika tidak bisa menghindarinya? Seperti terjebak hujan di bus, kereta, atau motor? Jika di dalam kendaraan umum, dia akan menggunakan penyuara telinga atau penyuara jemala untuk mengurangi suara hujan. Dia juga akan menutup mata agar tidak melihat hujan. Jika menggunakan motor, dia akan menepi, karena pernah suatu kali dia nekat menerobos hujan, hampir saja mengalami kecelakaan karena tangannya bergetar hebat dan badannya pun menggigil. Belum lagi sepanjang jalan dia merasa deg-degan. Dia benar-benar tidak bisa bersahabat dengan hujan.
***
Adakalanya saat dia sudah tertidur lelap di kamarnya, ketika hujan deras, petir menyambar-nyambar bisa membuatnya terbangun. Cemas pun menyerangnya. Setiap kali musim hujan tiba, di dekat tempat tidurnya selalu ada penyumbat telinga, air minum, dan buku catatan yang digunakannya untuk menumpahkan segala yang dirasakannya ketika cemas menyerang. Meskipun tidak melulu bisa menghilangkan efek hujan yang dirasakannya, setidaknya cara tersebut bisa mengurangi apa yang dirasakannya. Ya, walaupun untuk bisa tidur lagi rasanya sungguh mustahil. Kurang tidur di musim penghujan, menjadi sahabat karibnya.
***
Setiap kali teman-temannya bertanya, “Mengapa kamu begitu membenci hujan?”. Dia pun bingung mau menjelaskannya dari mana. Tidak satu atau dua orang saja yang bertanya-tanya ketika dia sudah mulai ribet melihat aplikasi cuaca, melihat mendung atau tidak, akan hujan atau tidak. Belum lagi jika dia tiba-tiba membatalkan janji karena turun hujan. Dia seringkali merasa tidak enak, tapi dia tidak bisa memaksakan dirinya untuk tetap pergi. Dilema, tapi mau bagaimana lagi.
***
Pernah suatu ketika dia menceritakan masalah yang dialaminya dengan saudaranya, Zea. Namun, responnya membuatnya ragu-ragu untuk menceritakan masalah itu ke orang lain. Zea bilang, “Ah, itu cuma karena kamu gak terbiasa aja. Coba, biasakan ketemu hujan, kamu akan baik-baik saja.” Padahal dia juga sudah menceritakan pengalamnya saat beberapa kali nekat menembus hujan, tapi tetap saja Zea bilang karena dia tidak terbiasa. Dia pun sempat berpikir apakah dia menceritakan masalah ini bukan ke orang yang tepat? Sehingga responnya pun seperti itu? Namun, pengalamannya itu membuatnya semakin menutup diri untuk terbuka akan masalah yang dialaminya.
***
Hingga suatu ketika dia bertemu Rea seorang psikolog yang ditemuinya secara tidak sengaja. Waktu itu mendung bergulung, mendung yang begitu menyesakkan, petir mulai menyambar meskipun hujan belum deras. Dia tidak bisa menahan diri. Tangannya bergetar hebat, badannya menggigil. Rea yang juga sedang berteduh membantunya untuk menenangkan diri. Perempuan itu membantunya untuk kembali sadar dengan sekelilingnya dan bisa bernafas lebih lega. Rea tidak banyak bertanya mengapa dan apa yang sedang terjadi. Rea membelikannya minum, membantunya untuk tetap menyadari setiap tarikan nafas. Dan itu sangat membantunya.
***
Saat itu hujan mendung hitam, hujan deras, petir menyambar. Tiba-tiba dua orang temannya datang, dua teman yang tidak diharapkannya datang karena sering mengejeknya dan meremehkan apa yang dia lakukan. Itu saja? Bukan. Dia malu karena kamarnya bocor. Itu saja yang terjadi.
Tapi mengapa kejadian itu menimbulkan trauma pada hujan. Bahkan bertahun-tahun setelah kejadian itu. Dia bahkan hampir tidak mengingatnya. Rea membantunya menelusuri trauma yang terjadi hingga ingatannya melayang pada kejadian ini. Dia tidak habis pikir.
***
“Sekecil apapun kejadian atau pengalaman yang terjadi bisa saja menimbulkan trauma. Trauma bisa disadari atau tidak disadari seperti yang terjadi padamu.” kata Rea. Dia pun bertanya apa yang perlu dilakukan. Rea pun menjelaskan, “Pertama, kamu tidak perlu malu mengakuinya. Kedua, trauma-trauma yang kamu alami perlu diproses. Hasilnya tentu tidak instan. Perlu proses.”
Dia pun terdiam, mencoba memproses setiap penjelasan. Namun, dalam diam dia pun berharap selanjutnya dia akan baik-baik saja.

0 comments on “Memendam Hujan”