Buka Akses Buka Ruang

Rumah Tak Terhingga Komunitas Rumah Bambu

“Sepi ini Rumah Bambu, nggak ada mamaknya. Kami kayak nggak tahu arah.”

Ucapan ini terlontar berulang dari teman-teman komunitas LBQ+ di Makassar ketika Cung, salah satu pendiri Komunitas Rumah Bambu, bekerja di Jakarta. Di saat bersamaan, penggerak aktif lainnya – salah satunya Buubu, tengah berproses bersama Komunitas Sehati Makassar (KSM).

“Kami jarang ngumpul, tapi teman-teman (Rumah Bambu) masih ikut kegiatan, misalnya ada diskusi atau pelatihan dengan KSM atau komunitas lainnya,” cerita Buubu.

Antara tahun 2012-2014, Rumah Bambu berangsur senyap tanpa kegiatan yang terorganisir. Mereka menjadi jarang berjumpa satu sama lain, memilih untuk fokus pada kerja-kerja individual.

Tahun 2104, Cung mendapatkan sebuah pertanyaan dari partner kerjanya.

“Tidak mau jadikan Rumah Bambu jadi organisasi?”

Meski pendek, pertanyaan ini mengganggu Cung dan akhirnya mendorongnya untuk pulang ke Makassar, lantas terhubung kembali dengan teman-teman di Rumah Bambu. Cung melontarkan pertanyaan yang sama ketika kembali ke Makassar kepada teman-teman di Rumah Bambu.

Keputusan untuk menginisiasi sebuah organisasi tidak dilakukan sendirian. Cung menyadari Rumah Bambu dimiliki bersama oleh teman lainnya, dengan alasan masing-masing. Ia kemudian menyambung tawarannya untuk memikirkan ulang bentuk komunitas dari Rumah Bambu dengan memberi contoh ragamnya komunitas di isu LGBTQAI+ di Makassar.

Kala itu, di wilayah Makassar tumbuh beberapa basis komunitas untuk keberagaman gender dan seksualitas, misalnya Komunitas Perempuan Serumpun (KIPAS) – yang fokus pada kelompok LBT buruh dan KSM. Teman-teman lantas menyusuri kembali makna organisasi yang ingin mereka hadirkan sebagai Rumah Bambu.

Kilas Balik Komunitas

Saat itu, kata Rumah Bambu belum tercetus. Pada kisaran tahun 2000an, individu lesbian saling menemukan dan bertaut melalui jaring digital. Salah satu medium yang digunakan adalah mIRC, sebuah layanan untuk berkomunikasi melalui chat secara online (daring). Bermula dari tak saling mengenal satu sama lain, antar pengguna dapat terhubung secara maya. Mereka akan menggunakan username, kemudian masuk ke kanal atau room (ruang) tertentu sesuai minat atau keinginannya, lalu memperkenalkan diri.

“Biasanya pakai asl pls, artinya asal please. Jadi kita menyebutkan nama, umur, dan identitas. Dulu kita di Makassar masih panggil butchi-butchi gitu kan… Aku kenalannya (dengan mengetik) Buubu, 17, B, Mks. Langsung tahu kalau (menampilkan inisial B) pasti komunitas (lesbian).” Buubu memberi contoh.

Pertemuan virtual pun berlanjut menjadi realitas (nyata). Mereka mulai berkumpul di warung kopi, bertemu di warnet (warung internet) yang dikelola oleh Cung. Bangunan rumah bambu yang difungsikan sebagai warnet menjadi tempat rujukan berkumpul. Namun lingkaran ini tidak sepenuhnya terdiri dari individu LBQ+, juga teman cis laki-laki sebaya.

Lantaran belum adanya pengetahuan soal seksualitas yang utuh, sementara heteronormativitas mengakar kuat dalam kehidupan sehari-hari, kelompok LBQ+ saat itu mengadopsi perangkat identitas dan perilaku cis laki-laki. Buubu mengakui, mereka memaknai peran butchi sebagai sosok individu yang bebas dan dapat bertindak vulgar, seperti merokok di area publik atau melakukan catcalling pada perempuan pelajar universitas yang kerap lalu-lalang di hadapan mereka. Sebaliknya, individu femme menyembunyikan tindakan-tindakan lugas dan menghidupi peran pasif.

Di kisaran tahun 2009, Cung berjumpa dengan KSM yang tengah menjangkau individu lesbian. Ia mengikuti kegiatan diskusi dan terlibat dalam pengorganisiran komunitas. Bak efek domino, Cung membangkitkan minat teman-teman LBQ+ untuk terlibat. Ia memulainya dengan obrolan-obrolan sederhana.

“Eh, ternyata tu ada teman-teman lainnya. Ada teman-teman transpuan, ada teman-teman gay,” kata Cung.

Dalam suatu diskusi yang digagas oleh KIPAS, Cung mengajak teman-teman LBQ di Rumah Bambu untuk hadir.

Buubu mempertanyakan, “Apa ini, kak Cung nawarin diskusi soal gender. Apa itu gender? Tapi pas di sana, ketemu dengan butchi-butchi semua. Ih.. seneng!”

Kendati muncul kekhawatiran dan kebingungan menjelang pertemuan, Buubu merasakan keterhubungan seiring berinteraksi dengan teman LBQ+ lainnya dari KIPAS. Berhadapan dengan kelompok yang tampak serupa secara fisik mematahkan ketidakamanan Buubu, bahwa ia dan teman-teman Rumah Bambu bukan satu-satunya.

Dalam kesempatan ini, mereka juga menyadari perilaku ganjil dan “alamiah” yang sering didapatkan, seperti penolakan untuk memotong pendek rambut adalah bentuk kekerasan. Individu dengan keberagaman gender dan seksualitas rentan mengalami kekerasan dari lingkungan terdekat, mulai dari keluarga. Tanpa kehadiran narasi tandingan, teman-teman di Rumah Bambu ikut mengadopsi praktik-praktik diskriminatif, bahkan terhadap dirinya.

Kebiasaan terdahulu, apabila salah satu diantaranya bercerita tentang pengalamannya kekerasan dari anggota keluarga maka teman lainnya secara tidak sadar ikut mengamini bahwa ia berhak mendapatkannya. Sebab, mereka masih merasa bersalah dengan identitas gender dan seksualitas. Mereka masih mewarisi konstruksi sosial yang biner, yakni sistem kultural yang hanya memperbolehkan kehadiran individu betina sebagai perempuan feminin dan individu jantan berwujud laki-laki maskulin. Meskipun dalam penubuhan, mereka memungkinkan dirinya untuk melakukan negosiasi lintas batas. 

Bersua dengan kelompok LBQ+ lainnya dan mendiskusikan pengetahuan spesifik tentang ketubuhan dan kekerasan, teman-teman Komunitas Rumah Bambu menyemai pola-pola baru dan memaknai kehadiran komunitas dengan nilai-nilai yang dikreasikan secara personal maupun kolektif.

Proses Menemukan

Shita, bergabung di Komunitas Rumah Bambu pada tahun 2022. Mulanya ia hanya berniat berkunjung ke Makassar, untuk menghibur diri lantaran mengalami patah hati. Menapak di Komunitas Rumah Bambu menimbulkan rasa aman dan nyaman yang belum pernah ia rasakan. Ucapnya, ia menjadi dirinya sendiri.

Cung menjadi salah satu pembisik terdekat, mendukung dengan cara mengajak Shita bergabung dalam kegiatan-kegiatan Komunitas Rumah Bambu. Prosesnya amat bertahap, pertama ia menjadi partisipan dalam kegiatan. Setelah beberapa kali, Cung seolah menantangnya untuk meningkatkan kemampuan dengan menawarkan peran master of ceremony (MC).

“[Ketika ditawari menjadi MC] untuk kegiatan Sikula Sipakatau, awalnya khawatir berlebihan. Nanti ngomong apa, bagaimana. Kak Cung kasih tahu, nanti salam saja. Sapa peserta, “Selamat pagi,” lalu begini-begini.”

Dukungan dan kepercayaan teman-teman Komunitas Rumah Bambu menguatkan keberanian Shita menghadapi rasa khawatirnya. Seolah ada nota kesepahaman di antara mereka, bahwa Komunitas Rumah Bambu menjadi ruang untuk saling belajar. Bukan sekadar belajar mengasah keterampilan baru, tetapi juga memungkinkan tiap individu untuk menyadari kekuatannya.

Kekuatan kolektif yang saling melengkapi dan mengafirmasi turut membentuk otoritas diri Shita. Di tempat tinggal sebelumnya, Shita harus mengikuti kaidah-kaidah sosial yang diciptakan tanpa kesepakatannya, sehingga ia merasa tubuhnya terkungkung karena harus menggunakan pakaian panjang dan jilbab. Apabila Shita melawan, tentu hukuman dan sanksi sosial akan didapatkan.

Di Komunitas Rumah Bambu, ia menemukan kebebasan atas tubuhnya. Shita menemukan makna kenyamanan melalui tubuhnya, bukan hanya menyoal cara berpakaian tetapi juga berpikir dan berpendapat. Shita tak menemukan keterpaksaan ketika berkumpul, apabila ia hanya ingin mendengar tidak satu pun memaksanya untuk ikut berbicara.

Melestarikan Kebebasan Diri

Dalam tulisannya berjudul Etika Lesbian, Gadis Arivia berpendapat bahwa komunitas lesbian memungkinkan individu-individu di dalamnya untuk menemukan dirinya sebagai subyek, karena terlepas dari norma yang dianut cis heteroseksual. Kepercayaan dan kenyamanan Shita terhadap dirinya merupakan wujud dari perebutan subjektivitas. Hal ini turut dirasakan oleh Bhete, yang terlibat di Komunitas Rumah Bambu sejak tahun 2019.

Bhete berkenalan dengan Komunitas Rumah Bambu melalui Gege Hansu, salah satu anggota Komunitas Rumah Bambu. Ia tertarik mendengarkan edukasi SOGIESC, seolah membebaskannya dari tuntutan-tuntutan patriarki yang paten. Pengetahuan yang Bhete dapatkan menjadi sumber bagi individu LBQ+ lainnya. Ia berkomitmen untuk membantu mereka agar tidak lagi merasakan apa yang Bhete alami, belum melela secara personal dan menyalahkan diri sendiri.

Di sisi lain, Bhete yang lahir di urutan pertama dalam keluarga kerap mendapatkan citra tangguh, kuat, dan dapat diandalkan.

Kayak semua tanggung jawab ada di aku [dalam keluarga]. Kalau di Komunitas Rumah Bambu ini aku menemukan saudara yang setidaknya memperbolehkan aku untuk mengeluh, didengarkan,” papar Bhete.

Bentuk kekerasan dalam keluarga nyatanya bukan hanya disebabkan oleh kemauan anak menjadi dirinya, bahkan ketika Bhete menampilkan dirinya “sewajarnya” anak perempuan, ia tetap diabaikan untuk boleh menjadi lemah. Saat berduka karena kematian sang ibu, Bhete menekan rasa sedih dan tangisnya karena takut dianggap berlebihan. Namun oleh teman-teman di Komunitas Rumah Bambu, Bhete justru mendapat ruang seluas-luasnya untuk bersedih. Maka memaknai Rumah Bambu sebagai rumah yang padat persaudaraan adalah upaya Bhete untuk melestarikan dirinya, mengurai jalan keluar emosi-emosinya.

Anti Kekerasan

“Komunitas Rumah Bambu adalah rumah.”

Secara harfiah, rumah merupakan bangunan untuk berlindung dari hujan, terik matahari maupun beristirahat dari multi realitas di luar sana. Makna ini diduplikasi utuh oleh Komunitas Rumah Bambu ketika bersepakat meresmikan diri di tanggal 27 Juli 2014 menjadi organisasi. Komunitas Rumah Bambu lahir sebagai rumah untuk menyediakan diri bagi individu LBQ+ yang mengalami kekerasan, baik dalam keluarga maupun lembaga sosial lainnya.

Kehidupan yang sarat akan kekerasan bukan rutinitas teman-teman di Komunitas Rumah Bambu. Buubu bercerita, persoalan relasi yang kompleks dan tidak sehat kerap menyulut pertengkaran antar komunitas LBQ+ di Makassar. Mereka dapat melakukannya secara terang-terangan di publik dan membawa perangkat, misalnya kayu. Menyaksikan pertengkaran ini, Komunitas Rumah Bambu bertekad untuk melerai, berupaya memecah amarah.

“Penyebabnya bisa karena pacarnya diambil atau persaingan antar komunitas. Aku pernah sampai gendong salah satu, terus kita dudukkan di mejanya Rumah Bambu. Kita biasanya tanya, kenapa berantem? Jago? Kamu gak mikir dampaknya kalau berantem?,” ungkap Buubu.

Komunitas Rumah Bambu mendorong rekonsiliasi konflik melalui obrolan sederhana dengan mendengarkan cerita dari dua pihak yang bertengkar. Mereka lalu diajak untuk memikirkan dampak tindakan kekerasan yang dilakukan dan mengupayakan penyelesaian masalah dengan berbicara, bukan tindakan kekerasan. Sikap ini merupakan komitmen yang dilatih secara internal dalam Komunitas Rumah Bambu.

Buubu mengibaratkan, mereka menghadapi kekerasan berulang dari keluarga, sekolah maupun lembaga sosial lainnya di luar sana sehingga ketika mereka masuk ke dalam Rumah Bambu, mereka ingin kedamaian. Tentu berkomitmen bersama mewujudkan nilai dan makna anti kekerasan bukan seperti membalikkan telapak tangan, butuh latihan berulang.

Ketika masalah terjadi dalam badan pengurus, mereka bersepakat berkumpul dan berdiskusi apa dan bagaimana langkah selanjutnya. Siapapun boleh memulai dan memimpin ruang temu tersebut. Dalam situasi pelik, sebagai koordinator, Cung akan memanggil individu yang bersangkutan secara personal dan mengajaknya berdiskusi. Ia kerap mengingatkan satu sama lain dalam kepengurusan untuk mengevaluasi antara satu dan lain dan saling memberikan apresiasi, terutama kepada diri sendiri.

Asa merawat kolektivitas butuh kreativitas. Ketika penat berkarya dalam organisasi, Komunitas Rumah Bambu menyalakan roh komunitas dengan bepergian bersama. Mereka meluangkan waktu, menyediakan energi, dan menyisihkan dana untuk piknik atau sekadar duduk di ruang publik. Syaratnya, walau terdengar sederhana tapi sulit dilakukan dengan teguh, yakni berjeda membicarakan program-program organisasi dan mengaktifkan gawai. Cung sering keceplosan, tak urung teman lainnya menyela.

Cung berefleksi,

“Yang bikin Komunitas Rumah Bambu kuat itu bukan soal program-program, tapi sebenarnya kedekatan emosional kami.”

Ada satu momen yang paling mengena buat Cung, terkait kesetiakawanan, adalah ketika teman-teman Komunitas Rumah Bambu menempuh perjalanan selama 16 jam menuju kampung halamannya di Sulawesi Tenggara. Saat itu, Cung hilang kabar. Pamit terakhir, ia pulang untuk menjenguk sang ibu yang sakit.

“Mereka kira mamaku meninggal. Hahaha,” tawa Cung.

Baik Cung maupun teman-teman Rumah Bambu yang datang saling terkejut. Namun mereka kembali diingatkan makna komunitas, perkawanan, dan solidaritas. 

Strategi lainnya untuk meminimalisir konflik adalah saling mempelajari zodiak dan enneagram tiap personel dalam Komunitas Rumah Bambu. Dua perangkat untuk mengetahui kepribadian seseorang, mereka gunakan sebagai panduan mengelola relasi diantaranya. Namun yang terutama, rutinitas berkumpul, memasak bersama, dan saling terbuka memungkinkan mereka untuk bertukar informasi-informasi sederhana. Buubu bisa menghafal makanan kesukaan dan rasa favorit dari teman-teman pengurus Komunitas Rumah Bambu.

Membangun komunitas lesbian yang dilakukan oleh Komunitas Rumah Bambu bermula dari keinginan individu-individu LBQ+ untuk memaknai, melakoni, dan melestarikan kehidupan tanpa kekerasan. Seiring bertumbuh bersama dalam Komunitas Rumah Bambu, para anggotanya mampu membongkar pengetahuan-pengetahuan umum yang dirasa bukan bagian dari penubuhannya, bahwa “perempuan begini-begitu” dan “relasi lesbian begini-begitu”, serta memproduksi konsep-konsep baru.

“Kalau di luar sana sulit banget, kembali ke Komunitas Rumah Bambu membuatku merasa baik-baik saja,” tutup Buubu.

Artikel ditulis oleh Nar.

Nar, individu queer yang bekerja untuk isu HKSR, suka menulis dan membaca. Kini sedang tinggal di Jayapura, terlibat merawat perpustakaan komunitas.

Unknown's avatar

Portal pengetahuan dan layanan tentang seksualitas berbasis queer dan feminisme. Qbukatabu diinisiasi oleh 3 queer di Indonesia di bulan Maret 2017. Harapannya, Qbukatabu bisa menjadi sumber rujukan pengetahuan praktis dan layanan konseling yang ramah berbasis queer dan feminisme; dan dinikmati semua orang dan secara khusus perempuan, transgender, interseks, dan identitas non-biner lainnya.

0 comments on “Rumah Tak Terhingga Komunitas Rumah Bambu

Leave a comment