Buka Cerita

Serpihan Kenangan

Kita tak pernah tahu dengan siapa akan bertemu. Bertemu dengan seseorang yang akan memberikan kesan seumur hidup. Seseorang yang bisa memberikan kenangan baik ataupun buruk. Sebuah jalan semesta yang tidak bisa dihindari. Awal dan akhir yang tidak bisa ditebak ujungnya. Suka atau tidak, hanya ada satu jalan yaitu menjalaninya.

***

“Aku udah perhatiin kamu dari pertama kali melihatmu.”dia bilang sambil tersenyum. “Oh, iyakah?”aku masih gak percaya.

Kami bertemu dalam sebuah diskusi buku. Sebagai jurnalis aku mendapat tugas untuk meliputnya. Sementara dia sebagai Liasion Officer di acara tersebut. Aku bertemu dan menanyakan di mana toiletnya dan dia menunjukkan arahnya. Kukira ini adalah pertama kali dia melihatku. Ternyata tidak. Dia sudah melihatku sebelum acara diskusi buku tersebut. Dia bilang, “Aku suka melihat outfitmu saat itu, jadi penasaran ingin kenalan. Dan ternyata semesta menyambut keinginanku, kita bertemu di acara itu. Tentu saja aku tidak melepas kesempatan itu.”

Ya. Dialah yang pertama kali menanyakan nama dan juga nomor kontakku juga akun media sosialku. Namun, justru aku yang pertama kali merespon postingan atau story di Instagramnya yang berujung pada obrolan panjang. Ya, begitulah awal mula kedekatan kami.

***

Dia menawan. Tidak banyak bicara, tetapi sekali bicara akan membuat orang memperhatikannya. Hal yang paling aku suka adalah suara tawanya. Suara tawanya bisa membuatku lupa kalau sedang menyetrika. Hampir saja bajuku gosong, dia semakin tertawa melihat kebodohanku. Oh dan senyumnya. Kalian tahu bulan purnama saat bersinar tanpa ada awan yang menghalanginya? Yah, kira-kira seperti itu. Aku suka sekali melihat senyumnya, mendengar suaranya. Ah, apakah ini yang namanya jatuh hati. Semua hal tentangnya membuat hati berseri-seri. Rasanya hangat, sehangat matahari saat terbenam.

Sayangnya dia tipe yang tidak suka ngobrol lewat telepon. Dia hanya merespon telpon yang benar-benar penting. Ketika kami sedang tidak bersama, kami jarang menelpon, sesekali bertukar pesan suara, paling sering kami berkirim pesan singkat, tapi bisa berjam-jam. Kami bisa ngobrol banyak hal. Mulai dari kopi, buku, film dan rokok. Kami menyukainya. Ya, kami dua perempuan yang sama-sama suka merokok saat ngobrol, sesekali sambil minum bir. Dua kebiasaan yang akan membuat orang tua kami atau orang-orang kebanyakan akan menganggap kami sebagai perempuan tidak benar. Yah, begitulah konstruksi sosial masyarakat kita. Perempuan tidak boleh merokok, tidak boleh minum-minuman beralkohol, dstnya. 

Oh, sedangkan kopi kesukaannya adalah dua sendok teh kopi, dua sendok teh gula, dan dua sendok teh krimer. Dia sama sekali tidak mau mencoba kopi kesukaanku, kopi hitam tanpa gula. Berbeda tapi kami suka mengawali pagi dengan minum kopi kesukaan kami. Biasanya kami saling membuatkan kopi kesukaan masing-masing dan menikmatinya bersama-sama. Tentu saja sambil merokok.

***

Namun, selama apakah hal-hal di dunia ini mampu bertahan? Baik dan buruk selalu bergantian. Begitu pula dengan aku dan dia. Hangat yang perlahan senyap. Seiring pesannya yang semakin sepi. Cerita-cerita yang semakin menepi. Kenangan indah semakin memudar, segalanya begitu samar, begitu menyakitkan. Ajaibnya, aku tak mengerti juga apa yang penyebabnya, siapa yang memulai, dan segala pertanyaan saling menyeruak di kepalaku. 

Aku terhanyut dalam pikiran-pikiran tak disengaja, sampai-sampai tak menyadari kopiku telah dingin. Aku menanti dirinya dengan pesan-pesan singkatnya. Padahal dia tak akan pernah kembali. Aku begitu merana dan membenci diriku yang tak bisa melepas ingatan dan kenangan tentangnya. Aku merasa baik-baik saja, tetapi mengapa aku meneteskan air mata?

***

Aku menyalahkan segala nilai dan norma yang menentang hubungan kami, dua orang perempuan. Kami tidak bisa sewajarnya orang pacaran yang dengan bisa dengan mudahnya menunjukkan sayang ke pasangannya, terutama di tempat umum. Kami harus berhati-hati jangan sampai teman sekantor mengetahui hubungan kami. Kami harus hati-hati ketika sedang berada di tempat umum, di kafe-kafe favorit kami, atau bahkan saat boncengan di motor. Kami harus berhati-hati di manapun kami berada.

Apakah ini yang membuatnya berfikir dua kali dengan hubungan kami ini? Teman sekantornya curiga? Keluarganya curiga? Kakaknya atau adeknya curiga? Entah, aku sama sekali tidak tahu jawabannya. Dia sama sekali tidak menjawab dengan lugas apa masalahnya, apa penyebabnya. Diamnya yang membawa banyak pertanyaan.

***

Sebuah hubungan ada awal dan akhir. Selalu. Awal bertemu dan akhir kisahnya, bisa karena berpisah untuk jalannya masing-masing atau berpisah karena kematian. Kami pun begitu. Sayangnya tidak dengan baik-baik karena masih timbul banyak pertanyaan di kepalaku. Pertanyaan-pertanyaan yang membuatku bertanya mengapa aku ditinggalkan? Anehnya, aku tidak menyalahkannya. Hanya kesal dan marah pada diri sendiri. Aku lebih banyak menyalahkan diri sendiri.

Tiap kali ada nama yang mirip dengannya jantungku berdegup, tiap kali dengar lagu kesukaannya air mataku menetes. Begitulah yang terjadi ketika ingatan dan kenangan tentangnya menghampiri. Orang bilang waktu akan menyembuhkan kenangan yang menyakitkan, tetapi menurutku waktu akan semakin memeluk kenangan yang tidak jua dilepaskan. 

Dan aku belum bisa melepas kenangan itu.

0 comments on “Serpihan Kenangan

Leave a comment