RUU Penyiaran yang isinya kontroversial ditunda untuk dibahas setelah sebelumnya mendapatkan banyak kecaman dari berbagai pihak. Dalam draf revisi UU Penyiaran tersebut isinya dinilai publik akan dapat mengancam kebebasan pers; membatasi informasi publik; membatasi kebebasan kreativitas; membatasi keberagaman konten termasuk di ruang digital terutama bagi kelompok minoritas seksual dan gender.Penundaan RUU Penyiaran adalah kabar baik untuk kita bersama. Meski begitu, kita tetap harus mengawal agar RUU ini tidak berlanjut dan disahkan di kemudian hari.
Dalam draf revisi UU penyiaran Pasal 56 ayat (2) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendorong untuk diberlakukannya larangan-larangan tayangan terkait narkoba, perjudian, rokok, alkohol, aksi kekerasan, mengandung unsur mistik, hingga perilaku lesbian, homoseksual, biseksual, dan transgender. Tidak cukup kontroversial untuk menyensor kelompok minoritas seksual dan gender, larangan bagi kelompok LGBTQ+ ini juga digabungkan ke dalam larangan aktivitas-aktivitas berisiko yang mana hal ini akan semakin mempertebal stigma kepada LGBTQ+.
Revisi UU Penyiaran juga akan membuat Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tidak hanya berwenang dalam penyiaran konvensional saja, tetapi melalui revisi ini KPI juga akan memiliki kewenangan dalam konten ranah digital. Seperti yang sudah terjadi selama ini, KPI melakukan diskriminasi berupa penyensoran terhadap kelompok minoritas seksual dan gender baik pada produk jurnalistik maupun non-jurnalistik dalam media konvensional. Maka disahkannya revisi UU Penyiaran akan mempertebal diskriminasi terhadap LGBTQ+ dan membatasi publik untuk memperoleh tayangan yang beragam tidak hanya pada media konvensional tapi juga hingga media digital.
Penyensoran LGBTQ+ melalui revisi UU ini dapat terjadi dalam bentuk pembatasan konten yang berkaitan dengan isu-isu LGBTQ+. Hal ini akan berdampak pada pengucilan kelompok minoritas seksual dan gender pada ruang publik maupun ruang publik virtual. Kelompok minoritas gender dan seksual akhirnya pun tidak akan dapat memiliki akses yang setara terhadap media dikarenakan adanya ketentuan aturan-aturan yang represif.
Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) menyatakan bahwa Revisi UU Penyiaran tersebut secara nyata membatasi kerja-kerja jurnalistik maupun kebebasan berekspresi secara umum. Di mana hal ini merupakan bentuk over controlling terhadap ruang gerak warga negaranya yang merupakan pelanggaran terhadap hak atas kemerdekaan pers dan hak publik atas informasi.
Kerentanan Berlapis LGBTQ+ Dampak Revisi UU Penyiaran
Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) menilai revisi UU Peyiaran akan melanggengkan marjinalisasi terhadap LGBTQ+. Terlebih ketika dalam draf ini LGBTQ+ yang merupakan minoritas dikecualikan dalam kelompok marjinal. Dalam revisi UU Penyiaran, SAFEnet menemukan berbagai kontradiksi, di mana negara menaruh perhatian untuk melindungi perempuan, anak, lansia, dan disabilitas yang merupakan kelompok marjinal. Namun, dalam revisi tersebut, negara juga turut melanggengkan marjinalisasi terhadap minoritas gender dan seksual.
Kelompok LGBTQ+ adalah kelompok “doubly marginalized,” yang mana ia berisiko dapat memiliki keberlapisan beban marjinal. Ia dapat merupakan individu lansia dan juga LGBTQ+; ia dapat juga merupakan individu disabilitas dan juga LGBTQ+; ia dapat juga merupakan individu miskin, lansia, disabilitas, dan juga LGBTQ+. Maka kerentanan individu tersebut juga akan semakin besar sehingga “pengecualian” kelompok LGBTQ+ sebagai kelompok marjinal dalam revisi UU Penyiaran akan berbahaya karena mempertebal kerentanan hidupnya dan menginvalidasi pengalaman dan kesulitan yang dihadapi. LGBTQ+ sebagai kelompok marjinal juga seharusnya justru mendapatkan perhatian yang lebih secara empatik guna mengurangi beban berlapis yang ada.
Pada penelitian mengenai LGBTQ+ sebagai “doubly marginalized” ditemukan bahwa kelompok LGBTQ+ mengalami tingkat stres yang jauh lebih tinggi akibat diskriminasi, stigma, dan marjinalisasi dibandingkan kelompok heteroseksual cisgender. Tingkat stres ini berpengaruh kepada risiko kesehatan dan kesejahteraan LGBTQ+. Dengan ini berlebihan jika menyebut revisi UU Penyiaran tidak berpihak kepada isu dan kelompok marjinal.
SAFEnet juga menilai bahwa pada pasal yang melarang materi iklan dengan model LGBTQ+, kelompok LGBTQ+ akan terampas haknya untuk bekerja. Akhirnya jika disahkan, revisi UU Penyiaran akan berisiko memiskinkan kelompok LGBTQ+ dengan memutus kesempatannya untuk mendapatkan kerja di media.
Ancaman Terenggutnya Ruang Aman LGBTQ+ pada Media Digital
Kebencian akan kelompok LGBTQ+ terus diproduksi oleh institusi negara kita sejak sebelum draf revisi ini keluar. Kementerian Komunikasi dan Informatika (KOMINFO) serta KPI mereproduksi pandangan bahwa penyensoran LGBTQ+ dilakukan merupakan bentuk perlindungan terhadap anak dan remaja yang rentan menduplikasi perilaku menyimpang. Namun, selama ini juga konten-konten yang memuat LGBTQ+ terus direproduksi dan banyak diantaranya justru menggunakan kacamata heteroseksual yang heteronormatif. Beberapa juga justru malah mengeksploitasi kelompok LGBTQ+ pada media konvensional. Meski memuat LGBTQ+, hal itu tetap ditoleransi selama isinya tidak berpihak kepada kelompok LGBTQ+ dan merentankan kelompok LGBTQ+.
Dalam media digital, kita bisa menemukan banyak konten-konten bermuatan LGBTQ+ yang bentuknya sama dengan yang ada pada konvensional—yang mana tetap menggunakan kacamata heteroseksual, heteronormatif, dan eksploitatif—tapi kita juga bisa menemukan media-media yang berpihak kepada kelompok LGBTQ+ dan memuat suara individu LGBTQ+ yang otentik karena penyensoran pada ruang digital kita tidak seperti pada media konvensional.
Pada buku Global LGBTQ+ Activism, Paromita Pain membahas penelitiannya tentang kompleksitas aktivisme LGBTQ+ lintas budaya di era digital. Kelompok LGBTQ+ menemukan ruang digital atau media baru sebagai ruang yang bisa mereka manfaatkan untuk gerakan aktivisme. Kehadiran ruang digital berkontribusi dalam memberikan ruang untuk ekspresi diri dan protes serta mendorong advokasi dan pemberdayaan gerakan LGBTQ+. Ruang digital membuka kesempatan bagi kelompok LGBTQ+ dalam membangun jaringan hingga mengakses informasi dan memperoleh pengetahuan tentang isu-isu penting yang selama ini terbatas seperti isu-isu hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR) serta layanan kesehatan.
Dengan didorongnya penyensoran melalui revisi UU Penyiaran ini, merupakan waktu yang tepat bagi kita untuk refleksi. Konten LGBTQ+ seperti apa yang selama ini disensor? Bagaimana dengan pemberitaan yang mengkriminalisasi kelompok LGBTQ+? Bagaimana dengan konten yang berupa ujaran kebencian kepada LGBTQ+? Bagaimana dengan berita yang didalamnya terdapat framing negatif soal LGBTQ+? Apakah itu semua akan kena penyensoran atau yang akan disensor hanya ketika konten-konten tersebut memiliki keberpihakan kepada kelompok minoritas seksual dan gender? Lalu, bagaimana dengan suara kelompok LGBTQ+ yang menggunakan perspektif individunya yang secara otentik menggambarkan hidupnya di luar stigma yang selama ini dilekatkan? Juga, apakah kedepannya tulisan ini (yang sedang dibaca), yang menyuarakan aturan diskriminasi akan dilarang dan disensor juga?
Akankah konten-konten otentik kelompok LGBTQ+ saja yang akan dengan ketat dan semakin ketat terus disensor, sedangkan konten-konten LGBTQ+ yang menggunakan pandangan heteronormatif bahkan menyerukan ujaran kebencian dan mempertebal stigma dibiarkan seperti yang terjadi selama ini?
Jika revisi UU Penyensoran disahkan dan dapat mengatur ruang digital, ini dapat mengurangi kesempatan bagi individu minoritas seksual dan gender untuk menceritakan pengalaman hidup mereka secara otentik, serta dapat berdampak negatif terhadap upaya untuk mendorong inklusi dan kesetaraan hak bagi kelompok LGBTQ+. Media digital kedepannya juga tidak akan lagi bisa mewadahi suara kelompok LGBTQ+ yang selama ini terpinggirkan. Jika revisi UU penyiaran disahkan, media online seperti qbukatabu akan terkena sensor.
Pusat Kajian Media dan Komunikasi Remotivi bersama koalisi masyarakat sipil berpendapat bahwa draf RUU Penyiaran tersebut harus ditolak karena cacat secara prosedur dan substansi. Aturan yang bermasalah ini jelas perlu untuk kita tolak bersama. Maka penting bagi publik untuk bersama-sama menolak revisi UU Penyiaran yang akan memengaruhi kehidupan kita sehari-hari ini.
Disahkannya revisi UU Penyiaran kedepannya akan berdampak pada terenggutnya hak-hak publik dalam mengasup semua konten yang disiarkan di Indonesia, termasuk platform streaming online, film, situs web, dan artikel. Terutama ketika membahas tema LGBTQ+ atau mendukung hak-hak LGBTQ+ yang akan dibatasi langsung oleh undang-undang yang dinilai sah.
Artikel ini ditulis oleh Yuviniar Ekawati, lulusan kejurnalistikan dan seorang penulis lepas pada beberapa media massa yang memiliki fokus pada isu gender dan anak.

0 comments on “LGBTQ+ dalam Pusaran Kerentanan Revisi UU Penyiaran”